GOWA, UJUNGJARI.COM — Aset wisata budaya di Indonesia sangat beragam. Salah satunya di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Gowa. Di Kabupaten Gowa terdapat satu kebiasaan atau tradisi masyarakat yang sangat potensi menjadi kunjungan wisata.
Tradisi menumbuk bulir padi dalam lesung di Dusun Lantaboko, Desa Bontokassi, Kecamatan Parangloe, hingga kini masih tetap dipertahankan warga kampung yang berada di lereng pegunungan di kecamatan dataran tinggi Gowa ini. Addengka ase lolo namanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Warisan leluhur ini ternyata masih dipertahankan masyarakat Lantaboko, hingga kini. Ritual acara syukuran panenan padi ini menjadi tradisi yang turun temurun dilakukan warga Lantaboko.
Addengka ase lolo atau dalam bahasa Indonesia adalah menumbuk padi muda ini sudah berabad dilakukan warga dan dilakukan rutin setiap tahun bahkan protap dilaksanakan pada akhir Mei usai panen awal tahun.
Sebagai ritual, setiap habis panen meski hasil panenan kurang atau tidak berkualitas apalagi hasilnya melimpah ruah, maka warga Lantaboko ini pun tetap menjalankan tradisi pesta syukuran tersebut.
Tapi uniknya, pesta syukuran ini ditandai dengan menumbuk padi dengan prosesi khusus dan istimewa. Padi yang ditumbuk pun bukan padi tua. Padi yang ditumbuk adalah jenis padi pulut (ketan) yang masih muda.
Padi ini sengaja dipanen saat masih muda dengan warna kulit sekamnya masih hijau kekuningan. Padi ini lalu dipanen di awal masa panen. Biji padi muda ini kemudian disangrai lebih dahulu hingga kondisi biji padi agak sedikit gosong alias sudah kering. Biji padi ini kemudian ditumbuk beramai-ramai warga bertetangga dalam lesung panjang yang dibuat khusus. Lesung panjang dan pipih berisi satu lubang besar memanjang dan satu lubang kecil bulat di samping ini pun tak diletakkan di tanah. Tapi digantung menggunakan penyanggah dan diikat tali dari tanaman rambat yang diambil dalam hutan. Tanaman rambat ini memang sangat kuat sehingga mampu menopang lesung panjang yang beratnya lebih 100 kilogram ini. Soalnya kayu lesung kayu ini terbuat dari batang pohon yang kuat.
Kepala Dusun Lantaboko Haeruddin Dg Tojeng mengatakan, tradisi ini sudah ada sejak dirinya masih kecil bahkan belum dilahirkan.
” Tradisi addengka ase lolo ini sudah lama di kampung kami. Bahkan ketika saya belum lahir, bahkan ketika orangtua juga masih kecil. Jadi sudah berabad lah. Dan tradisi ini tetap kita pertahankan sampai sekarang. Alasan kami bukan hanya karena bisa memperkaya aset wisata budaya kita tapi karena memang tradisi ini menjadi salah satu keyakinan masyarakat disini untuk kemakmuran hidup saat ini hingga di mada yang akan datang, dimana cucu cicit kami yang akan mengisi kehidupan kelak. Jadi tradisi ini juga menjadi komitmen diri kami sebagai hamba Allah yang senantiasa bersyukur atas nikmat dan berkah yang diberikan sang pencipta kepada kami, ” papar Haeruddin Dg Tojeng ditemui di sela keseruan warganya melakukan paddekko di halaman rumahnya, Senin (31/5/2021) siang.
Dijelaskannya, hal yang paling dijaga dalam tradisi ini adalah rasa persaudaraan dan kegotongroyongan yang cukup kental. Menumbuk padi secara bersama adalah ciri khas gotong royong yang dirasakan.
Selainitu, kata Haeruddin Dg Tojeng, ciri lainny dari menumbuk padi bersama-sama adalah makan hasil tumbukan juga bersama-sama.
” Jadi momen kebersamaan inilah yang sebenarnya kami pertahankan selain dari rirual tradisiini sendiri. Dimana ritual yang kami maksud itu adalah pasca addengka ase lolo ini, beras yang dihasilkan dari penumbukan padi muda itu kita olah jadi makanan dan dimakan bersama-sama. Makanan yang terbuat dari ketan yang ditumbuk muda ini diolah dengan cara disiram air mendidih lalu diaduk dan dicampur dengan kelapa parut dan diberi sedikit gula pasir atau garam. Rasanya memang gurih meski makanan tersebut sangat sederhana sekali. Rasa ketannya legit dan kenyal dan gurih. Cocok dijadikan panganan dengan minum kopi panas hitam tanpa gula. Itulah panganan istimewa kami setiap kali pesta syukuran panen dilakukan, ” papar kepala dusun yang berusia kisaran 50 tahun lebih ini.
Dikatakan Haeruddin Dg Tojeng, tradisi pesta syukuran panen ini dilakukan selama dua hari. Dimana dalam hari pertama adalah prosesi penumbukan padi muda atau addengka ase lolo yang dilakukan sejumlah ibu-ibu dan bapak-bapak di kampung Lantaboko itu. Dalam satu lesung ditempati sekira enam orang penumbuk padi muda sedang selebihnya yakni sekitar tiga sampai empat orang berperan menghibur disebut padekko dengan menumbukkan atau memukul-mukulkan alu (batang penumbuk yang terbuat dari dahan kayu yang berbentuk bulat panjang) ke lesung kayu sehingga menimbulkan suara-suara teratur menjadi musik indah. Itulah sebabnya tradisi addengka ase lolo ini menjadi tradisi yang ditunggu-tunggu masyarakat setempat.
Hasmiah, salah seorang ibu rumahtangga berusia 45 tahun yang ikut menjadi salah satu penumbuk dalam proses addengka ase lolo ini mengatakan, tradisi addengka ini mulai diikutinya sejak usia 18 tahun. Ketika itu dirinya masih gadis, belum menikah.
” Anak saya sudah dua orang dan sekarang anak saya juga mulai belajar addengka ase lolo. Karena memang kita semua ibu-ibu disini mengajarkan budaya ini turun temurun kepada anak-anak kami. Saya sudah 45 tahun dan ketika saya belum lahir, orangtua saya sudah menjalankan tradisi ini, ” jelas Hasmiah kembali menyemangati ibu-ibu lainnya untuk addengka lagi.
Daeng Tanang, salah seorang warga Lantaboko juga mengatakan, tradisi ini secara perlahan sudah diketahui banyak orang. Bahkan jika sudah tiba waktu untuk pelaksanaan addengka ase lolo ini, banyak orang luar kampung yang datang baik karena diundang langsung para keluarga mereka yang tinggal di Lantaboko maupun yang diundang sekadar untuk melihat dan menyaksikan diniamis dan energiknya para kaum ibu dan bapak-bapak Lantaboko dalam memukulkan alu ke lesung yang menghasilkan paduan suara indah.
” Iye memang seru sekali. Jika para padengka ase lolo sudah mulai menumbuk maka yang menjadi paddekonya pun mulai beraksi, memukulkan alu dengan cara tumbuk yang variatif sehingga menghasilkan suara musik yang indah. Seru memang tradisi ini jika sudah digelar karena satu kampung saling berkelompok melakukan addengka ase lolo ini. Dan karen Lantaboko ini berada di antara lembah dan tebing gunung maka disaat dilakukan tradisi addengka ase lolo ini maka suara musik yang tercipta dari tumbukan alu akan menggema ke mana-mana dan indah didengar,” kata Dg Tanang.-