KETERBELAKANGAN
pendidikan masih banyak terjadi di republik ini terutama di pelosok-pelosok yang akses informasinya sangat terbatas. Satu dari sekian banyak kawasan tertinggal itu adalah Dusun Bahonglangi di Desa Bontojai, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Masyarakat di wilayah ini terbelakang pendidikannya. Anak-anak sekolah putus sekolah. Setamat sekolah dasar, kebanyakan dari mereka “dipaksa” menjadi petani. Mengikuti tradisi turun-temurun orang tua. Tak ada yang kuasa melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama.

Keterpaksaan tidak lanjut sekolah antara lain disebabkan oleh minimnya kesadaran mereka akan arti pendidikan. Juga karena terbatasnya literasi pendidikan yang diperoleh. Kondisi itu diperparah oleh keinginan orang tua terutama sang ibu yang lebih memilih mempekerjakan anaknya membantu sang ayah bekerja di kebun atau di sawah.
Memang, mayoritas ibu-ibu di kampung ini buta aksara. Jangankan membaca, mengenali huruf pun tidak. Juga angka-angka. Kondisi ini berlangsung sudah cukup lama. Puluhan tahun. Sepanjang tahun itu pula, nyaris tak ada yang peduli dengan kehidupan mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kehidupan mereka perlahan berubah pada 2019. Senyum anak-anak di kampung ini mulai merekah. Begitu juga perempuan-perempuan Bahonglangi. Sebagian dari mereka sudah bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya meskipun sekolahnya di kampung tetangga. Ibu-ibu yang sebelumnya tidak mengenal aksara dan angka, kini mulai tahu membaca, menulis, dan menghitung secara perlahan.

Adalah Andi Appi Patongai yang berjasa dalam mengubah nasib anak-anak dan perempuan-perempuan Bahonglangi. Melalui program (RWE) atau pemberdayaan perempuan di pedalaman, Appi melaksanakan pendampingan kaum perempuan khususnya dalam bidang pendidikan mencakup kemampuan baca, tulis, dan hitung serta pengembangan kewirausahaan.

Bersama beberapa rekannya, alumni Akuntansi Universitas Hasanuddin ini rela berjalan kaki belasan kilometer menembus Bahonglangi. Perjalanan memakan waktu empat sampai lima jam. Meski berada di Kabupaten Bone, akses yang lebih mudah cepat justru lewat Tombolo, Kabupaten Gowa. Dusun Bahonglangi memang berada berbatasan dengan tiga kabupaten tetangga. Selain Gowa, Bahonglangi juga berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Maros.

Appi bukan penduduk Bahonglangi. Pria kelahiran Mualla, Wajo, 20 Desember 1989 ini hanya peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di kampung ini. Setelah melakukan survei, pria yang juga inisiator gerakan 1.000 guru di Sulsel itu lalu mencetuskan program ini.

Program ini dilakukan melalui beberapa fase. Fase pertama, pengenalan program Rural Women Empowerment dan mengurangi tingkat buta aksara di Bahonglangi khususnya untuk kaum perempuan. Fase kedua, pelatihan manajemen keuangan keluarga dan keterampilan kewirausahaan bagi kaum perempuan. Fase ketiga pemasaran produk asli yang dikelola oleh kaum perempuan Bahonglangi, dan fase keempat mendorong terbentuknya kelompok usaha kecil yang melibatkan perempuan dan masyarakat.

Pelaksanaan program ini akan melibatkan relawan dari Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Awalnya, setiap relawan akan berkontribusi secara finansial dalam membiayai seluruh akomodasi dan media pembelajaran dalam program. Appi dan relawan lainnya patungan dan harus merogoh kocek pribadinya masing-masing 250 ribu untuk membiayai program. Belakangan, beberapa pihak tertarik dan memberi bantuan. Salah satunya adalah Konsulat Jenderal Australia di Makassar pada 2018 memberikan hibah melalui program Direct Aid Program Australian Government. Belakangan program ini terus dikembangkan dengan melibatkan lebih banyak relawan untuk terlibat langsung.

Berdasarkan hasil assessment yang dilaksanakan sejak 2016, dari 100 jumlah perempuan yang menjadi sasaran pelaksanaan proyek ini adalah perempuan dewasa yang berusia 18 hingga 45 tahun. Fakta menunjukkan hampir seluruh perempuan di dusun ini melakoni beban ganda dalam keluarga: melakukan pekerjaan rumah dan umumnya ikut membantu suami di hutan, sawah, maupun di kebun.

“Alhamdulillah pada akhir September 2019, sebanyak 19 orang anak berhasil untuk melanjutkan ke kelas berikutnya dengan indikator mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung,” katanya.

Selama proses ini dilaksanakan sebanyak 31 relawan yang konsisten untuk berkunjung dalam dua kali sebulan yang biasanya terdiri dari 3-6 orang dalam sekali kunjungan. Selain di Bahonglangi, program ini juga melakukan beberapa kegiatan di Makassar untuk mendukung pelaksanaan kegiatan proyek di Bahonglangi. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan program pemberdayaan ini kepada masyarakat luas sekaligus sebagai advokasi kegiatan.

Selain bisa membaca, menulis, dan menghitung, perempuan-perempuan Bahonglangi juga mulai berwirausaha. Itu setelah mereka mengikuti program financial literasi dan pengelolaan bisnis yang dilakukan Appi dan rekannya. Madu hutan dan beras merah yang menjadi komoditas warga Bahonglangi kini sudah bisa dipasarkan. Tidak hanya di Bone dan daerah sekitarnya. Beras merah dan madu hutan juga sudah dikirim ke Makassar dan beberapa kota di Jawa.

Appi juga berhasil mengorbitkan beberapa tokoh perempuan di Bahonglangi. Mereka antara lain Ibu Anti dan Ibu Oppeng. Dua perempuan itu kini menjadi penggerak di kampungnya. Ibu Anti piawai dalam mengadvokasi kepentingan warga, sedangkan Oppeng memotivasi warga dalam berwirausaha terutama dalam memasarkan madu hutan dan beras merah.

Tidak hanya Anti dan Oppeng. Senyum perempuan-perempuan lain di Bahonglangi juga kini merekah. Mereka yang dahulu terbelakang, kini mulai bangkit menatap masa depannya. Remaja-remaja perempuan juga terus tersenyum setiap pagi saat berangkat sekolah sekalipun jarak sekolah dari rumahnya cukup jauh. Program Rural Women Empowerment yang digagas Appi Patongai memang menginginkan senyum perempuan-perempuan di kampung ini.

Sekretaris Desa Bantojai, Nasruddin mengapresiasi kinerja Appi dan rekannya dalam menjalankan program Rural Women Empowerment di Bahonglangi. “Ada perubahan yang terjadi pada ibu-ibu. Biasanya warga menggunakan cap jempol sebagai tanda tangan, kini sudah bisa bertanda tangan sendiri,” katanya.

Selain itu, kata Nasruddin masih karena masalah literasi yang terbatas, dahulu para ibu-ibu ini harus didampingi kepala dusun untuk mengurus keperluan administrasi di kantor desa. Namun saat ini para ibu-ibu ini sudah mau pergi ke desa sendiri untuk mengurus berbagai hal.

Bahonglangi yang semula terasing, kini mulai dikenal. Beberapa pejabat dari pemerintah kabupaten Bone juga mulai berkunjung ke kampung ini. Bahkan menurut Appi, Bupati Bone, HA Fahsar Padjalangi juga sudah pernah berkunjung dan memantau langsung aktivitas Rural Women Empowermennt di Bahonglangi. Bahonglangi juga semakin populer setelah penggagas program ini, Andi Appi Patongai masuk nominasi Satu Indonesia Award 2020.

Kita tentu berharap program ini terus berkelanjutan. Jika sudah tuntas di Bahonglangi, mungkin perlu diduplikasi di daerah lain. Sebab bukan tidak mungkin masih banyak kampung bernasib sama dengan Bahonglangi. Iya kan! (fachruddin palapa)