MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Calon Petahana Walikota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto (Danny) dinilai gagal membangun Kota Makassar dalam 5 tahun masa kepemimpinannya.

Bahkan fakta menunjukkan indeks layak huni Kota Makassar semakin mundur di era kekuasaan arsitek bangunan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penyebabnya tak lain karena ketidakpedulian Danny terhadap kesinambungan pembangunan yang tertuang dalam dokumen Perda Nomor 13 Tahun 2006 tentang rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD) Kota Makassar Tahun 2005-2025 serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Makassar.

“Memilih calon walikota itu sederhana. Kalau memang Pak Danny Pomanto masih kita anggap baik, tentu keliru kalau tidak dipilih lagi. Tapi kalau memang Pak Danny Pomanto dianggap gagal, maka keliru kalau kita pilih kembali!” tandas pakar politik dari Universitas Hasanuddin, Dr Jayadi Nas dalam diskusi bertema “Bedah Pembangunan Kota Makassar” di Warkop Aleta, Makassar, Sabtu (22/2/2020).

Jayadi yang juga merupakan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulsel menyayangkan gaya kepemimpinan Danny yang terkesan ‘tiba masa, tiba akal’. Sehingga tampak jelas tidak ada perencanaan yang matang dalam membangun Kota Makassar.

Ia mencontohkan struktur birokrasi di era Danny yang gemuk lantaran mengakomodasi tim-tim suksesnya untuk menempati struktur organisasi pemerintahan daerah sebagai bentuk balas jasa.

“Birokrasi di Kota Makassar ini sudah over kapasistas. Terlalu gemuk sehingga susah goyang untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Banyak bagian-bagian yang dibuat bukan untuk bekerja, tapi untuk mengakomodasi kepentingan para tim sukses. Sehingga OPD-OPD itu dapat saya katakana ‘jauh panggang dari api’,” beber Jayadi.

Ia menyesalkan dana APBD Kota Makassar yang mencapai Rp4,2 trilyun tidak mampu dikelola dengan baik oleh Danny. Sementara, Gubenur Sulsel, Nurdin Abdullah pada saat masih menjabat bupati, mampu membangun Kabupaten Bantaeng menjadi kabupaten tersukses di Kawasan Timur Indonesia hanya dengan APBD Rp800 miliar.

“Kenapa dana APBD sebesar itu tidak ngefek? Karena organisasi birokrasi Makassar terlalu besar, terlalu gemuk, sehingga tidak lincah dan membebani keuangan daerah. Jadinya antara belanja rutin dan belanja publik tidak imbang. Danny Pomanto mungkin tercatat sebagai pemimpin dengan tenaga honorer paling banyak di Indonesia. Menghabiskan sampai Rp3,4 miliar per bulan untuk menggaji honorer,” tambah pakar kebijakan publik Politeknik STIA LAN Makassar, Dr Alam Tauhid Syukur.

Alam menilai tata kelola pemerintahan era Danny Pomanto gagal dalam perencanaan, penganggaran dan pengawasan. Banyak program yang terlanjur dibangun, seperti halte smart dan tong sampah gendang dua, tetapi menjadi mubazir karena tidak difungsikan.

Akibatnya menimbulkan kerugian negara yang mencapai ratusan miliar. Dengan kata lain pemborosan anggaran.

“Saya sebenarnya sangat berharap, bagi seorang walikota yang tidak bisa menepati janji-janjinya, itu harusnya didiskualifikasi saja. Tetapi sekarang banyak petahana yang notabene gagal, kemudian maju lagi dengan alasan janjinya belum tuntas,” kesalnya. (**)