JAKARTA, UJUNGJARI.COM — Sejak dilantik Presiden Joko Widodo pada awal November 2019 lalu, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis langsung menunjukkan karakternya yang tegas kepada personilnya.

Gebrakan demi gebrakan internal terus dilakukan oleh Jenderal Idham Azis untuk melanjutkan reformasi struktural terutama kultural di tubuh Polri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akhir tahun, tepatnya pada 31 Desember 2019, Jenderal Idham Azis mengeluarkan perintah strategis ke seluruh personil Polri sebagaimana tertuang dalam Surat Telegram No 3388. Perintah tertulis ini disampaikan Kapolri selaras dengan kebijakan Presiden Jokowi yang disampaikan saat Rakornas Forkopimda Desember 2019 lalu untuk percepatan pembangunan dan kemajuan di desa dan kabupaten/kota di Indonesia.

Ada 15 instruksi penting Kapolri terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi pada pemerintah daerah yang dibagi dalam tiga hal.

Pertama, terkait dengan penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintah daerah. Kedua, terkait dengan pelaksanaan pencegahan, pengawasan dan penanganan permasalahan dana desa.

Ketiga, instruksi dalam melaksanakan upaya pencegahan, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang lebih profesional dan berintegritas. Instruksi Kapolri ini terlihat dengan jelas dan tegas kepada personilnya untuk mengedepankan upaya koordinatif dengan semua stakeholders.

Kemudian menyusul ketegasan Kapolri yang mengingatkan jajarannya untuk tidak meminta atau menerima pemberian terkait penyelenggaraan proyek atau pekerjaan  apapun sehubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Termasuk sikap Polisi dalam hal ketegasan untuk para penghambat investasi.

Surat Kapolri ini pun diapresiasi oleh pakar hukum tata negara, Ibnu Sina Chandranegara, terutama terkait dengan pengawasan dana desa, yang di era Presiden Joko Widodo ini sangat besar untuk membangun Indonesia. 

Menurut Ibnu Sina, ketegasan Kapolri ini menunjukkan bahwa Kapolri Idham Azis menjadi salah satu pilar dalam menyukseskan program Jokowi dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan gagasan Indonesia sentrisnya.

Ia pun menjelaskan bahwa potensi korupsi dana desa ditenggarai dimungkinkan dalam beberapa tahapan, antara lain tahap pendistribusian hingga tahap pertanggungjawaban.

Pada tahap pendistrisbusian, kata Ibnu Sina, potensi permasalahan yang muncul dari pemerintah kabupaten/kota kepada kepala desa, antara lain adanya pemotongan, proyek-proyek pesanan atau hanya dibagikan kepada para pendukung bupati atau partai politik tertentu. 

Pada tahap pengelolaan, antara lain dana desa dikelola sendiri oleh kepala desa.

Dana desa itu, sambungnya, dikelola sendiri oleh kepala desa tanpa melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di desa, atau hanya melibatkan kepentingan tim sukses kepala desa.

Sedang pada tahap pemanfaatan, antara lain terjadi mark-up di sana-sini yaitu, mark-up biaya honorarium, proyek fiktif, pengurangan volume pekerjaan, proyek asal jadi atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat.

Begitu pula, pada tahapan pertanggungjawaban keuangan, dimana antara lain keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban, laporan pertanggungjawaban tanpa dilengkapi bukti dan dokumentasi.

Berbagai faktor inilah yang menjadi pemicu tingginya probabilitas korupsi di sektor dana desa. 

Kenapa demikian? Sebut Ibnu Sina,  arena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya lembaga-lembaga desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa dan tingginya biaya politik pemilihan kepala desa.

“Oleh karena itu, Surat Telegram Kapolri yang ditujukan untuk seluruh Kapolda merupakan tindakan konsolidasi yang perlu diapresiasi. Utamanya dalam hal pencegahan korupsi dana desa, sekaligus hal tersebut membantu proses pengawasan pembangunan daerah dalam hal pemanfaatan dana desa secara optimal,” ungkap Ibnu Sina, Sabtu (11/1/2020).

Menurut Ibnu Sina, surat telegram Kapolri tersebut harus dipahami sebagai bentuk konsolidasi kelembagaan dan turut serta dalam pencegahan tindak pidana korupsi dana desa itu sendiri. Tindakan konsolidasi kelembagaan perlu dilakukan untuk menyamakan persepsi dan dalam rangka penegakkan hukum yang tetap dalam koridor menyesuaikan dan menyeimbangkan tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan.

“Di saat yang bersamaan, surat telegram tersebut juga bermanfaat sebagai suatu sosialisasi tentang kegiatan pengawasan agar terhindar dari niat jahat pelaku yang ingin korupsi dana desa itu sendiri,” ungkapnya.

Lain halnya dengan Dahroni Agung Prasetyo, Direktur Ekseskutif Aufklarung Institute. Dahroni menilai bahwa prestasi Kapolri dalam dua bulan ini sangat bagus. Tidak heran bila Komisi III DPR RI pun secara aklamasi menyetujui bila Idham Azis menjadi Kapolri.

Menurut Dahroni, Idham Azis bukan semata memiliki rekam jejak dalam memberantas terorisme seperti Operasi Camar Maleo hingga Operasi Tinombala di Poso untuk menangkap kelompok teroris Santoso. 

” Idham, terbukti bukan hanya mampu melumpuhkan gembong teroris Azhari dan kelompoknya, namun juga mampu menata jajaran Polri dengan revolusi mental. Misalnya dengan instruksinya agar Polri tak memamerkan gaya hidup secara berlebihan, termasuk di medsos. Ini terlihat sederhana, namun sebenarnya sedang melakukan perubahan besar soal mental,” ungkap Dahroni. (sari)