MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Karena kerinduan terhadap dunia kampus yang selama ini tempat membentuk diri dan mengabdi, pekan lalu saya sambangi kampus UIN Alauddin.
Sekian lama tidak terlibat dalam perbincangan koridor, saya sempat nongkrong di kantin belakang Fakultas Syariah dan Hukum dan melibatkan diri dalam diskusi dengan para mahasiswa senior, diantaranya terdapat mahasiswa yang terbilang enggan untuk menyelesaikan masa studi dengan berbagai alasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seorang mahasiswa menyodorkan pertanyaan. Bang, apa bedanya pemilu dan pemilihan?. Mahasiswa ini melayangkan pertanyaan demikian mungkin karena mengetahui aktifitasku saat ini sebagai komisioner Bawaslu Kota Makassar.
Walau sekedar pertanyaan pembuka wawasan, namun dalam benakku memuji kecerdasan mahasiswa ini, teringat akan sosok aku dahulu.
Namun pertanyaan ini terdapat banyak orang tak mampu membedakan antara pemilu dan pemilihan khususnya pemilihan kepala daerah.
Berupaya memancing nalar mereka, aku menjawab: pemilu calon legislatif dan calon presiden serta calon wakil presiden dilaksanakan secara serentak yang lalu itu disebut pemilu, sementara pemilihan Calon walikota dan Calon Wakil Walikota Makassar 2020 yang akan datang disebut pemilihan.
Artinya, dalam sistem demokrasi kita mengenal resim pemilu dan rezim pemilihan, bahkan keduanya diatur dengan regulasi yang berbeda.
Sistem pemilu diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, sementara pemilihan diatur dalam undang-undang No. 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
Yang membuatku terhenyak ketika mahasiswa itu menyambung pertanyaannya terkait suksesi kepemimpinan universitas, dan berkata: Apakah proses dan mekanisme penetapan rektor/dekan di UIN Alauddin dapat disebut pemilihan atau penunjukan?.
Sambil menghirup nafas panjang ku coba menjawab, serta berharap untuk tidak terlibat dalam pusaran kepentingan, walau sekedar diskusi koridor, namun perlu menunjukkan eksistensi diri yang imparsial.
Rektor/dekan/ dan pejabat lainnya, terpilih melalui serangkaian proses yang diatur dalam regulasi khusus. Walau demikian tak dapat disebut dengan pemilihian karena pemilihan mensyaratkat aktifitas politik, disisi lain juga tidak dapat disebut sebagai penunjukan, karena proses penunjukan oleh jabatan yang lebih tinggi dibatasi kewenangannya dengan syarat- tertentu untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean and good government).
Oleh karena itu, tidak terasa tepat disebut pemilihan atau penunjukan.
Akan tetapi lebih tepat disebut pengangkatan sebagaimana secara jelas disebut dalam PMA 68 tahun 2015 tentang pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan.
Lain halnya dengan pejabat struktural dalam lingkup tertentu, semisal Wakil rektor/dekan yang diatur khusus untuk UIN Alauddin dalam PMA 20 Tahun 2014 tentang Statuta UIN Alauddin, walau disebut dengan kata pemilihan namun dalam prosesnya tidak terdapat syarat kebebasan individu sebagai salah satu prinsip demokrasi.
Singkatnya, pemerintah mendesain hal ini agar kampus tidak menjadi area pelaksanaan politik praktis.
Namun patut untuk dicatat, bahwa semua jabatan ini adalah jabatan publik untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean and good government).
Oleh karena itu, dalam prosesnya harus terbuka dan akuntabel. Karena jabatan ini dinginkan oleh beberap pihak, maka sebagai lembaga yang mengedepankan moralitas dan rasionalitas, maka teramat penting untuk tidak dilakukan dengan cara-cara immoral dan irrasional.
Terlebih universitas ini menjadi kebanggan umat Islam, maka diharapkan setiap prosesnya mendatangkan keberkahan Allah, karena tidak akan ada keberkahan bila dihiasi dengan kemungkaran, semisal sogok menyogok (money politic).
Intinya, semua orang harus patuh pada aturan yang telah ditetapkan, dan tidak perlu melakukan interpretasi pada norma yang telah jelas unsurnya.
Contoh, dalam PMA 20/2014 ayat 43 yang mensyaratkan calon dekan antara lain, berstatus PNS; berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat berakhirnya masa jabatan Dekan yang sedang menjabat; d. lulusan program Doktor (S3), jabatan fungsional paling rendah Lektor Kepala; pernah memangku jabatan tambahan sebagai Wakil Rektor/Ketua Lembaga/Kepala Pusat/Wakil Dekan/Ketua Jurusan atau jabatan yang setara.
Kata setara dalam klausul ini tidak dapat dimaknai jabatan di luar kampus untuk jabatan dekan, terkecuali untuk jabatan wakil rektor dan Direktur Pascasarjana yang mengakomodir secara jelas pernah menjabat di dalam dan di luar universitas.
Nah ketika ada Dekan yang diangkat dengan tidak memenuhi syarat ini, adalah bentuk kesewenang-wenangan dan melampaui batas kewenangan.
Bila hal ini terjadi, stakeholder universitas atau kelompok masyarakat lain dapat mengajukan class action dan menuntut ganti rugi, semisal alumni merasa dirugikan oleh dekan yang tidak memenuhi syarat itu menandatangani ijazahnya.
Yang paling menarik perhatianku ketika seorang mahasiswa nyelutuk mengemukakan permasalahan, dan bertanya: bagaimana pengangkatan Ketua Jurusan, mungkinkan di UIN Alauddin jabatan Ketua dan Sekretaris Jurusan dijabat oleh Dosen Non PNS?.
Dengan menjawab seadanya untuk menghindar dari pertanyaan berkelanjutan terlebih belum mengetahui fakta yang sebenarnya.
Tetapi hal ini teramat mengusik nalarku, sembari bergurau bahwa kampusmu ternyata menyimpang banyak masalah sembari menyeruput kopiku yang tersisa.
Beberapa hari setelah diskusi jalanan itu, kucoba untuk mencari informasi tentang telah dilantiknya Ketua dan Sekretaris Jurusan dari unsur Non PNS khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum dengan tidak sekedar membaca berita online.
Ternyata benar adanya, sesuai SK Dekan No. 3248 Tahun 2019 tentang pengangkatan Ketua dan Sekretaris Jurusan pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin periode 2019-2023 tanggal 4 Oktober 2019, terdapat dua orang yang dilantik tidak memenuhi syarat Pasal 53 PMA No. 20 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar menyebutkan:
“Persyaratan calon Ketua dan calon Sekretaris Jurusan: a. berstatus PNS; b. beragama Islam dan berakhlak mulia; c. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; d. lulusan paling rendah program Magister (S2); e. memiliki jabatan fungsional paling rendah Lektor; f. berlatar belakang pendidikan sesuai dengan jurusan yang terkait; dan g. bersedia dicalonkan menjadi Ketua Jurusan atau Sekretaris Jurusan.
Melihat fakta kucoba mengkomunikasikannya melalu grup WA fakultas, yang anehnya wakil dekan bidang Akademik mendasar keputusan dekan pada PMA 3 tahun 2016 tentang Pengangkatan Dosen tetap bukan PNS PTKN dan Dosen Tetap PTKS, serta menafikkan PMA No. 20 2014 tentang Statuta UIN Alauddin sebagai acuan pengelolaan dan penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di lingkungan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Selanjutnya, sebagai alumni dan pengguna lulusan segera kulayangkan keberatan kepada dekan Fakultas Syariah dan Hukum pada tanggal 9 Oktober 2019 yang saat ini belum mendapatkan jawaban perihal itu.
Ternyata kejadian di Fakultas Syariah dan Hukum juga terjadi di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, Dr. Dewi Anggraini, M.Si yang telah dilantik menjadi Sekretaris Jurusan Sosiologi Agama menyatakan pengunduran dirinya karena dilantik tanpa konfirmasi dan kesediaan menjadi sekretaris jurusan serta merasa bertentangan dengan PMA 20 Tahun 2014, karena dirinya telah melaksanakan 2 kali masa jabatan itu.
● Abdillah Mustari (Komisioner Bawaslu Kota Makassar/Alumni 91 Fakultas Syariah dan Hukum)