MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Stunting adalah pengerdilan atau suatu kondisi gagal tumbuh pada anak balita (dibawah lima tahun). Kondisi ini ditandai dengan tinggi badan tidak normal atau lebih pendek dari anak seusianya. Penyebab kondisi stunting ini adalah karena kekurangan gizi yang sangat kronis.
Soal stunting ini menjadi masalah kronis di Indonesia. Secara nasional anak penderita stunting masih di atas angka 21 persen, padahal pemerintah secara nasional telah mengeluarkan target penurunan hingga 14 persen. Namun upaya ini belum mendekati hasil atau target. Bahkan kasusnya makin mendominasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukti riil misalnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Justru angka stunting di provinsi ini bahkan masih lebih tinggi dari angka nasional yakni 27,4 persen. Namun pada tahun 2023, angka ini melorot pada 23,3 persen. Meski turun, namun secara angka, masih di atas angka nasional 21 persen.
Pemerintah Provinsi Sulsel pun berupaya keras untuk menurunkan lebih besar lagi. Bahkan seperti dikatakan Kadis Kesehatan Provinsi Sulsel Dr dr Ishaq Iskandar, untuk tahun 2025 ini menargetkan turun dibawah 20 persen atau hingga 18 persen.
Hal itu dikatakan Ishaq Iskandar saat hadir dan jadi salah satu narasumber pada dialog interaktif Gizi dan Pencegahan Stunting Bersama Media se-Sulawesi Selatan yang digelar Unicef dan Jenewa Institute bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan didukung oleh Tanoto Foundation. Dialod ini berlangsung di Hotel Grand Town Makassar pada Kamis (17/4) siang.
Menurut Ishaq, turunnya kasus stunting di Sulsel ke angka 23 persen itu karena adanya kolaborasi berbagai pihak.
“Alhamdulillah dengan kolaborasi pihak terkait Semua pihak dari Pemkot, Pemkab, Pemprov dan Pusat, Kemenkes dan Dinas Kementrian terkait yang lain, kita sudah mendapatkan hasil yang baik. Mudah-mudahan ke depannya lebih baik lagi. Semua harus terlibat termasuk media. Namun intinya sebenarnya pada kesadaran masyarakat. Bagaimana partisipasi masyarakat bisa menjaga pola asuh untuk anak-anaknya. Bagaimana ibu hamilnya bisa Periksa kesehatan dengan teratur, terus bagaimana remaja putrinya bisa mempersiapkan pernikahannya dan kehamilannya dengan baik, memberikan vitamin dan tablet tambah darah dan juga mengatur makanannya sayur dan protein, seimbang gizi, pola hidupnya juga harus sehat. Sejauh ini kita dari kesehatan turun terus ke masyarakat mulai posyandu dan puskesmas melakukan penyuluhan dan edukasi untuk pola hidup sehat masyarakat. Perilaku hidup sehat masyarakat memang berat. Jadi harus butuh kolaborasi dan kerjasama. Apalagi dari media sangat membantu kita mengedukasi masyarakat. Kita berharap penurunan stunting di Sulsel ini bisa pada angka 18 persen lah, ” kata Ishaq.
Sementara Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulsel Dr Setiawan Aswad juga selaku narasumber dalam dialog interaktif ini menjelaskan bahwa masalah stunting itu sangat kompleks sehingga membutuhkan penanganan yang terencana secara baik.
Selama ini kata Setiawan, pemerintah telah melakukan penanganan stunting secara terakomodir melalui perencanaan penganggaran.
Diakuinya, penanganan stunting berupaya dilakukan pemerintah sebaik mungkin meski pada akhirnya harus selalu terkendala soal anggaran. Apalagi tahun 2025 ini pemerintah kembali melakukan efisiensi.
“Bappeda itu adalah perencanaan pembangunan yang melaksanakan monitoring dan pelaksanaan data. Bagaimana perencanaan dalam stunting bisa dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Alokasi anggaran untuk stunting ini harus direncanakan dengan baik sebab stunting itu sebuah masalah yang sifatnya sangat kompleks sehingga harus dilakukan penanganan secara divergen atau harus meluas. Karena kompleks, maka semua pihak harus terlibat didalamnya, termasuk media. Media punya posisi penting dalam mengedukasi dan memberikan informasi yang tepat agar masyarakat bisa paham tentang stunting itu, ” jelas Setiawan.
Hal senada dikatakan dr Djunaidi M Dachlan dari Tim Ahli Percepatan Penurunan Stunting Sulsel. Sosok tokoh yang lebih akrab disapa dokter Dedi ini justru mengatakan penuntasan stunting itu harus dimulai dari ibu hamil, pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat.
Menurutnya, saatnya pencegahan dilakukan sebab untuk penanganan kepada penderita yang sudah telanjur stunting itu sangat susah.
“Mencegah yang paling tepat dan itu dimulai dari awal ibu hamil. Berikan makanan bergizi sebagai pondasi kuat agar anak yang dilahirkan tidak stunting. Kita perbaiki saja makanan ibu hamil. Harus bergizi sebab kita tidak tahu apakah anaknya yang lahir nanti stunting atau tidak. Pokoknya kasi makanan bergizi dan berprotein. Kemudian ketika anaknya lahir, kawal asupan gizinya dengan baik. Pastikan ibu dan anaknya makan makanan bergizi. Dan itu harus telaten. Tidak bisa hanya diberi bahan makanan begitu saja. Harus dipastikan si ibu hamil yang makan atau si anak yang makan? Kan tidak bisa kita lihat. Makanya pastikan si ibu hamil dan si anak yang berusia 6-24 bulan dan anak 5 tahun yang menikmati makan bergizi itu. Kalau bisa mata kita jangan berkedip mengawalnya makan. Ini cara pasti dan jelas, tapi kan susah dilakukan cara begitu. Butuh ketelatenan. Sambil kita kawal sambil kita edukasi rutin. Ini tantangan berat tapi harus dilakukan agar stunting betul-betul hilang sama sekali, ” papar gamblang dokter Dedi.
Dikatakan dokter Dedi, pemerintah saat ini memang melakukan efisiensi anggaran, namun gizi tidak termasuk yang diefisiensi. Semua pihak harus bekerja kolaboratif dan penanganan stunting perlu berkesinambungan.
“Saya salut cara Pemkab Gowa menurunkan stunting karena Gowa fokus pada pencegahan dengan menjaga ibu-ibu hamilnya agar tidak lahirkan anak stunting baru. Gizi ibu hamil dijaga dengan baik. Patutlah stunting di Gowa bisa turun 12 persen pada dua tahun lalu. Demikian juga dengan Barru, bisa turun hingga 14 persen karena Bupatinya ulet turun langsung ke desa-desa mengedukasi masyarakatnya. Hal sama juga dilakukan pemerintah Luwu Utara. Kalau Luwu Utara yang dia jaga adalah pangannya. Biarpun getol mengedukasi masyarakat kalau pangannya kurang maka itu juga menjadi faktor penyebab. Saya salut dengan cara Gowa, Barru dan Luwu Utara berjuang menurunkan stunting dan semoga cara-cara itu terus dilakukan. Dan memang sebaiknya pencegahan menjadi hal penting mengurangi stunting, ” tandas dokter Dedi.
Nutrition Officer Unicef Nike Frans menjelaskan, masalah gizi Indonesia itu jika dibiarkan akan mengancam kesejahteraan anak-anak, kesejahteraan masyarakat bahkan mengancam kualitas sumber daya manusia (SDM) itu sendiri.
Nike mengatakan, stunting itu sebenarnya disebabkan karena perilaku gizi, kesehatan dan lain sebagainya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menetapkan salah satu strategi untuk mencegah dan menurunkan stunting Indonesia adalah melalui pendekatan komunikasi perubahan perilaku (KPP) yang tujuannya untuk mengubah perilaku masyarakat yang masih kurang paham tentang stunting, tentang gizi dan tentang kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
“Terdapat pilar perubahan perilaku dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting yang sudah kita aplikasikan kurang lebih lima tahun lamanya dan pilar ini didalamnya menentukan komunikasi perubahan perilaku sebagai salah satu pendekatan. Pendekatan ini memiliki beberapa komponen, pertama yakni advokasi, mobilisasi masyarakat, kampanye publik salah satunya adalah peran media yang sangat besar untuk menyampaikan pesan-pesan pencegahan stunting dan komponen komunikasi antar pribadi, konseling dan edukasi. Dasar perubahan perilaku itu adalah informasi dan pengetahuan yang benar tentang sesuatu masalah. Maka disinilah peran besar media-media tersebut,” ulas Nike.
Dialog interaktif ini diakui sangat tepat, apalagi menggandeng media. Keseriusan Unicef dan Jenewa Institute membantu Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan itu diharapkan mampu mengerdilkan angka stunting kedepannya.
“Kami melaksanakan kegiatan ini untuk mendorong sinergitas media beserta pemerintah dan lembaga mitra pembangunan dalam upaya, pencegahan dan penurunan stunting di Sulawesi Selatan,” imbuhnya.
Sementara Surahmansah Said, Direktur Jenewa Institute selaku panitia pelaksana mengatakan jika berbicara cita-cita Indonesia Emas 2045 maka bahasan utama adalah SDM.
“Ketika berbicara SDM maka tentu tidak jauh dari masalah gizi masyarakat untuk mencegah stunting. Dan berbicara stunting tentunya dibutuhkan intervensi dan kolaborasi. Dan kalau kita merujuk pada stragnas (strategi nasional) percepatan penurunan atau pencegahan stunting itu ada lima pilar utama diantaranya adalah KPP atau komunikasi perubahan perilaku. Maka disitu terkait bagaimana kita mengkampanyekan, bagaimana memberikan edukasi yang benar, bagaimana kita memberikan informasi yang benar dan bagaimana memberikan upaya-upaya dalam mencegah stunting itu, ” papar Surahmansah.
Dia pun mengakui bahwa selama kurang lebih 3-4 tahun terakhir melalui program Unicef Indonesia di Sulsel ternyata sangat aktif dalam hal mendukung KPP ini.
“Dan kami membuat tiga pesan kunci pencegahan stunting. Tiga pesan kunci yang simple dan mudah diingat masyarakat itu yakni ibu hamil, baduta (anak usia 6-24 bulan) dan balita (anak 5 tahun). Ini adalah salah satu upaya yang dilakukan Unicef Indonesia. Dan salah satu upaya yang kita lakukan hari ini adalah pelibatan media sebagai sumber edukasi dan informasi terbaik. Kita rangkul media, kita hadirkan untuk sharing bersama, berdialog bersama agar ada solusi baru cara mencegah dan menangani stunting ini. Kita hadirkan media cetak, online, radio hingga media televisi. Harapan kami media-media ini tentu memiliki peran strategis bagaimana menyebarluaskan informasi yang akurat dan ini tentunya bisa membantu program pencegahan stunting di Sulsel, ” kata Surahmansah. –
Komentar 2
Stunting dpt dicegah dgn kerjasama diseluruh pihak.. Baik pemerintah dan msy. dgn ditunjang media elektronik dan media cetak. Yg saat ini sgt dibutuhkan.. Dgn program pemerintah khususnya BKKBN dgn program. Quik win nya . Tentunya dgn adanya MOU. Kita dpt bergerak serentak. Tanpa ragu dlm bertindak… 🤲🏼🤲🏼💪🏼💪🏼🥰
Terimakasih Ibu Dra Hj Rufiat Usman atensinya 🙏