MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Pengamat Tata Kelola Keuangan Negara, Bastian Lubis menyoroti program yang ditawarkan salah satu pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Yansen Tipa Padan dan Suratno.

Pasangan dengan tagline YESS menjanjikan setiap RT di Kaltara akan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp100 juta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bastian Lubis menilai program ini bisa menjadi jebakan Batman bagi para ketua RT di provinsi tersebut.

“Itu tidak realistis dan rentan terhadap penyalahgunaan keuangan negara. Itu tidak sejalan dengan prinsip keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pertanggungjawaban Keuangan Negara,” ungkap Bastian, saat diwawancarai, Sabtu (23/11).

Menurutnya, RT bukan badan hukum resmi sehingga tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dana besar secara langsung.

“RT itu tidak memiliki status hukum seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdaftar resmi. Kalau dana sebesar Rp100 juta diberikan langsung, siapa yang bertanggung jawab? Bagaimana pertanggungjawabannya? Hal ini melanggar asas kepatutan dan kewajaran,” ujar Bastia yang juga peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha.

Bastian menilai bahwa program tersebut akan menimbulkan berbagai persoalan terkait asas kepatutan, kewajaran, dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Dia memaparkan, RT sah-sah saja dapat bantuan (Insentif, honor dan biaya operasional) tapi jumlahnya harus mengikuti asas kepatutan dan wajar besarannya.

“Kalau alokasi dana tersebut langsung dimasukkan ke rekeningnnya RT, tidak memiliki dasar hukum, apakah sebagai badan atau institusi resmi untuk menerima alokasi uang dari APBD. Akan sulit untuk pengalokasian dan pertanggungjawaban dari organisasi RT,” tutur Bastian.

Karena setiap uang negara/ daerah yg keluar harus ada mekanisme dan harus dipertanggungjawabkan.

Kalaupun alokasi dana RT melalui desa, ini akan menimbulkan masalah baru untuk kepala desanya.

“Apakah rela alokasi dana desa yang berasal dari APBD peruntukkannya oleh RT tapi dipertanggunjawabkan oleh kepala desa sebagai penerima alokasi dana desa atau ADD tersebut,” ungkap Bastian.

Kompleksitas pengelolaan Dana Desa baik yg berasal dari pusat maupun daerah harus transparan, akuntabel, patisipatif, tertib dan disiplin anggaran dalam hal mencapi kinerja dan kebijakan yg telah ditentukan di pusat.

Lebih lanjut, Bastian menjelaskan bahwa pengelolaan dana sebesar itu membutuhkan sistem yang dapat memastikan dana digunakan sesuai peruntukan.

Dalam konteks desa, jika dana tersebut diberikan melalui kepala desa untuk disalurkan ke RT, akan terjadi beban ganda bagi kepala desa dalam mempertanggungjawabkan anggaran.

“Kalau dana ini masuk melalui desa dan disalurkan ke RT, kepala desa bisa menghadapi risiko hukum. Misalnya, ada anggaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka kepala desa akan menjadi sasaran pemeriksaan,”ujarnya.

Bastian menyoroti perbedaan signifikan alokasi anggaran ini dengan wilayah lain, seperti DKI Jakarta dan Makassar, di mana insentif untuk RT diberikan dalam bentuk honorarium sesuai kinerja.

Kata dia, di DKI Jakarta, misalnya, honor RT adalah Rp2,4 juta per bulan dengan kewajiban pelaporan tugas, sementara di Makassar hanya Rp1.750.000 per bulan.

“Kalau RT diberi Rp100 juta per tahun, tapi tidak ada sistem pertanggungjawaban yang jelas, ini dapat menjadi celah korupsi. Harus ada aturan main yang tegas agar dana negara tidak disalahgunakan,” tegasnya.

Bastian menilai bahwa memberikan dana sebesar Rp100 juta per RT tanpa mekanisme kontrol yang jelas melanggar asas kepatutan dan kewajaran.

Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa penggunaan dana sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas penerima.

“Setiap uang negara berasal dari pajak rakyat, sehingga penggunaannya harus jelas dan dipertanggungjawabkan. Jika tidak, ini melanggar prinsip dasar keuangan negara,”katanya.

Bastian menyarankan agar program ini dikaji ulang dan dirancang dengan lebih matang. Jika ingin memberikan manfaat langsung ke RT, lebih baik dalam bentuk insentif atau honor sesuai kinerja, bukan alokasi dana sebesar Rp100jt yang akan sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan.

“Dana Rp100 juta per RT bisa menjadi jebakan Batman bagi kades dan RT sendiri. Program ini, meskipun berniat baik, harus disesuaikan dengan prinsip kepatutan, kewajaran, dan tata kelola keuangan yang baik,”pungkasnya. (rhm)