MAKASSAR, UJUNGJARI.COM –Di akhir periodenya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Periode 2014 -2019, inisiatif melakukan revisi terhadap Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Badan Legislasi (Baleg) sudah menyetujui draft Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut dan telah disetujui semua fraksi pada tingkat paripurna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan tersebut telah menimbulkan reaksi dari semua elemen masyarakat. Termasuk pegiat anti korupsi di Sulsel.
Bastian Lubis, peneliti senior dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha meminta Presiden Joko menegaskan kedudukan KPK sebagai lembaga negara yang independen di bawah Presiden, bertanggung jawab kepada Presiden, dengan memberikan kekhususan tersendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal itu sesuai dengan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 Tentang KPK.
Bastian juga meminta agar presiden
menyetujui Dewan Pengawas KPK sebagai upaya check and balance dengan kewenangan terbatas hanya untuk mengawasi kode etik pimpinan dan pegawai KPK dalam menjalankan tugasnya.
Untuk penyadapan cukup izin pimpinan KPK dalam menghindari kebocoran kepentingan penindakan perkara korupsi.
Rektor Universitas Patria Artha itu juga menyoroti dan tidak menyetujui adanya SP3 di KPK. Hal ini dimaksudkan supaya penyidik KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka lebih hati-hati dan cermat serta tidak tergesa-gesa.
“Tidak adanya SP3 akan menjadi pembeda dari penegak hukum lainnya,” ungkap Bastian yang juga pengamat Tata Kelola Keuangan Negara itu.
Dia juga berharap pemerintah menyetujui perihal penuntutan KPK untuk di koordinasikan kepada Kejaksaan Agung, sesuai dengan KUHAP yang berlaku di Indonesia.
Bastian mengemukakan, pemerintah juga harus tetap memberikan kewenangan KPK untuk mengelola dan mengawasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai upaya untuk memonitor harta kekayaan para pejabat negara sehingga meminimalisir tindak pidana korupsi.
Peneliti PUKAT Andhika Yuli Rimbawan menambahkan, pemerintah harus melakukan penguatan peran KPK dalam penyelamatan kerugian Negara akibat korupsi kepada kas Negara.
Dia menjelaskan, menurut data, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disetorkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari penyelamatan uang negara pada 2018 sebesar Rp 516,6 miliar.
Angka tersebut meningkat 167,28 persen dari periode sebelumnya yang sebesar Rp 193,3 miliar.
Secara rinci realisasi PNBP terbesar pada 2018 terdapat dari uang sitaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) sebesar Rp 323 miliar, naik 508,3% dibandingkan 2017 yang sebesar Rp 53 miliar.
Adapun realisasi PNBP terbesar kedua terdapat pada uang pengganti TPK senilai Rp 109,7 miliar, naik 257,53% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang sebesar Rp30,7 miliar.
PNBP terbesar selanjutnya terdapat pada pos penjualan hasil lelang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebesar Rp 43,4 miliar dan uang sitaan TPPU sebesar Rp 14 miliar.
Sedangkan total anggaran KPK pada tahun 2018 yang berasal dari APBN murni sebesar Rp 854,2 miliar.
“Hal ini bearti antara PNBP dengan anggaran masih lebih besar anggaran, sehingga Presiden harus mendorong upaya meningkatkan jumlah penyelamatan kerugian keuangan negara,” tandasnya. (rahma)