SELAYAR, UJUNGJARI.COM– Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar berhasil menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus pencurian yang melibatkan tersangka M. Aksan bin S. Aris. H. berlangsung di Sapo Restorative Justice Kantor Kejari  Selayar, Selasa (14/5/2024).

Kegiatan ini dihadiri Kepala Kejaksaan Negeri Selayar, Hendra Syarbaini, S.H., M.H, Kepala Seksi Pidana Umum, Irmansyah Asfari, S.H., dan Kepala Sub Seksi Penuntutan Pidana Umum, Nurul Annisa, S.H.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

 

Keberhasilan penerapan keadilan restoratif ini menunjukkan bahwa solusi damai dapat menjadi alternatif yang efektif dalam sistem hukum Indonesia, mencerminkan komitmen kejaksaan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang adil, transparan, dan memulihkan hubungan sosial antara pelaku dan korban. 

 

Tersangka M. Aksan bin S. Aris. H., yang saat ini berusia 19 tahun, merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan ibunya tidak bekerja. Karena kesulitan ekonomi, ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya di Jl. Pahlawan, Kelurahan Benteng Utara, Kecamatan Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar. Sehari-hari, ia bekerja sebagai kuli bangunan dan berteman baik dengan korban, Nur Aprianto.

 

Peristiwa pencurian terjadi pada 22 September 2023, ketika Aksan mengambil sebuah telepon seluler merek POCO M5 warna kuning milik saksi (korban) Nur Aprianto di wilayah Benteng Utara. Setelah menggunakan telepon tersebut selama enam bulan, Aprianto melaporkan kehilangan tersebut kepada pihak berwajib. 

Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar, Hendra Syarbaini, S.H., M.H. mengungkapkan penerapan keadilan restoratif dalam kasus ini didasarkan pada beberapa pertimbangan utama. 

 

Pertama, ini adalah pelanggaran hukum pertama yang dilakukan oleh Aksan. Kedua, tindak pidana ini diancam dengan hukuman penjara kurang dari lima tahun. Ketiga, kerugian materi yang dialami korban sebesar Rp 2.600.000 dianggap tidak terlalu besar. Keempat, terdapat kesepakatan damai antara pelaku dan korban,” kata Kajari Selayar kepada media.

 

Lanjut dikatakan, proses keadilan restoratif ini melibatkan beberapa langkah penting. Aksan dan Aprianto mencapai kesepakatan damai, di mana Aksan setuju untuk memberikan ganti rugi sebesar Rp 500.000 kepada Aprianto. 

 

Selain itu, Aksan menyampaikan permintaan maaf yang tulus dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Aprianto menerima permintaan maaf tersebut dan setuju untuk menghentikan proses hukum lebih lanjut. 

 

Proses ini didukung oleh beberapa dokumen resmi, termasuk kesepakatan ganti rugi, pernyataan saling memaafkan, laporan dari Jaksa Penuntut Umum kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar, perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada 29 April 2024, nota pendapat resmi tertanggal 29 April 2024, dan persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada 8 Mei 2024. Berdasarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: TAP-01/P.4.28/Eoh.2/05/2024, Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar resmi menghentikan penuntutan terhadap tersangka sesuai dengan prinsip keadilan restoratif yang menitikberatkan pada pemulihan dan rekonsiliasi,” terangnya.

 

Keberhasilan inisiatif keadilan restoratif ini menunjukkan komitmen Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar dalam mempromosikan penyelesaian konflik secara adil dan harmonis. 

 

Kejaksaan akan terus mendukung keadilan restoratif sebagai alternatif yang efektif terhadap hukuman konvensional, memastikan bahwa keadilan tercapai sambil memulihkan hubungan sosial dalam masyarakat,” kata Hendra Syarbaini. 

 

Ia menambahkan, Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan restoratif dapat memberikan solusi yang memuaskan bagi kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku. Dengan demikian, Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar menunjukkan komitmennya untuk menegakkan keadilan dengan cara yang lebih adil, transparan, dan memulihkan. 

 

Hendra Syarbaini menegaskan bahwa Kejaksaan Negeri Kepulauan Selayar akan terus berupaya untuk menegakkan hukum dan menjaga kepercayaan publik dengan menangani kasus-kasus secara profesional dan berintegritas.

Implementasi keadilan restoratif ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi penanganan kasus serupa di masa mendatang, yang lebih mengedepankan perdamaian dan pemulihan sosial humanis daripada penjatuhan hukuman,” harapnya. (rilis)