GOWA, UJUNGJARI.COM — Dunia anak adalah dunia yang indah. Orangtua masa kini sangat memanjakan anak-anaknya dengan mengikuti segala kemauan dan keinginan. Beda dengan orangtua dulu, anak-anak dibebaskan namun diikat. Artinya dibebaskan berkeliaran namun tidak bebas memilih keinginannya.

Inilah yang cenderung masih terjadi di era kekinian. Dimana masih banyak orangtua memaksakan kehendaknya mengatur hidup anak-anaknya khususnya terkait jodoh. Masih banyak terjadi anak usia dini alias belum cukup umur akhirnya menikah karena dijodohkan orangtua dengan alasan sudah lepas tanggung jawabnya. Menyikapi ini pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan terhadap anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu Undang-Undang yang dicipta pemerintah adalah UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yakni UU No 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. UU TPKS ini mengatur mengenai pencegahan segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban. UU TPKS ini diharapkan menjadi solusi atas sejumlah permasalahan yang kerap dialami anak juga perempuan. Salah satunya melindungi perempuan dan anak dalam hal pemaksaan untuk melaksanakan pernikahan di usia dini. Tak main-main ancaman pidana penjaranya hingga 9 tahun dan dendanya hingga 200 juta.

Ancaman pidana dan denda ini bisa ditujukan kepada orangtua anak serta pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses pengurusan pernikahan anak dibawah usia 19 tahun.

“Undang-Undang TPKS ini sangat keras dan melindungi hak-hak perempuan. Tak boleh ada pihak yang memaksa anak untuk melakukan pernikahan di usia dini, jangan berdalih usianya sudah siap menikah. Jika ada ditemukan, maka ancaman hukuman pidana maksimal 9 tahun dan denda maksimal hingga Rp200 juta harus diterima. Demikian juga dengan kasus lain yang kerap dialami perempuan, seperti perselingkuhan, undang-undangnya telah diatur sedemikian rupa,” papar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Gowa Kawaidah Alham saat melakukan Rakor dan Bimtek Gugus Tugas KLA hari kedua, Kamis (7/3) di hotel Arya Duta Makassar yang diikuti berbagai unsur, baik unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, para Camat, MUI, KUA, TP PKK, Ormas, OKP serta unsur media.

Dalam rakor itu, Kawaidah menjabarkan, ada stigma di masyarakat bahwa pernikahan usia dini bagian dari budaya masyarakat. Budaya ini disebutkannya terkadang menjadi bentuk pemaksaan kepada anak untuk melaksanakan usia dini dengan dalih menuruti keinginan orangtua.

“Jika itu pemaksaan, maka orangtua bisa terkena ancaman itu. Tapi jika memang keinginan dari anak, maka boleh dilakukan namun sejumlah persyaratan harus dipenuhi yang nantinya berujung pada rekomendasi dari DP3A terhadap proses izin pernikahan tersebut. Sudah ada contoh kasus, orangtua memalsukan data agar anak bisa menikah. Dan itu kini sudah berproses hukum. Nantinya, UU TPKS ini juga akan menjadi ancaman bagi semua pihak yang terlibat dalam izin untuk memaksa terjadinya pernikahan dini. Jadi tidak hanya pihak orangtua saja, tapi semua yang terdeteksi ikut andil dalam dokumen izin akan dikena sanksi hukuman pidana,” tegas Kawaidah.

Kawaidah menjelaskan, perlindungan atas hak anak merupakan hal yang krusial dan memerlukan keterlibatan berbagai instansi, termasuk peranan TP PKK untuk dicarikan solusinya.

Terkait nikah dini, Wakil Ketua TP PKK Kabupaten Gowa Mussadiyah Rauf yang ikut hadir dalam Rakor dan Bimtek Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak (KLA) tersebut, mengatakan persoalan perempuan dan anak menjadi bagian dalam program Kelompok Kerja (Pokja) di TP PKK.

“PKK memiliki Pokja yang terkait dengan pemberdayaan perempuan dan anak serta keluarga. Salah satu hal yang kita edukasikan adalah masalah pernikahan anak usia dini, yang menurut apa yang kita temukan dilatarbelakangi sejumlah hal, diantaranya tidak beraninya anak menolak keinginan orangtua karena diklaim harus berbakti pada orangtua. Selain itu karena budaya bahwa anak perempuan yang cepat menikah akan mengurangi beban orangtua dan lainnya lagi. Kehadiran PKK melalui Pokja yang terkait ini bersinergi dengan DP3A untuk mengatasi itu. Peranan PKK di seluruh kecamatan dalam mengedukasi dan mensosialisasikan hal ini diharapkan akan berpengaruh pada turunnya angka pernikahan dini di Kabupaten Gowa,” jelas istri Wakil Bupati Gowa Abdul Rauf Malaganni ini. –