Oleh: Triyatni Martosenjoyo
SAYA tidak ingin berpolemik tentang mana istilah yang lebih afdol antara “amanah” atau “amanat” di dalam penamaan MWA Perguruan Tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepertinya lebih mudah untuk dimengerti bila disebut sebagai “board of trustees”. Menjadi jelas bagi kita bahwa WMA itu adalah dewan perwalian yang merupakan sekelompok individu baik yang ditunjuk atau dipilih untuk mengelola dan mengatur aset dana abadi, yayasan amal, perwalian, atau organisasi nirlaba.
Saya senang melihat laporan dari rekan-rekan yang saya muliakan Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin (MWA UNHAS) tentang studi banding yang telah mereka lakukan di berbagai PT papan atas di Jawa.
Tentu saja untuk mengetahui pengalaman-pengalaman berharga yang telah mereka lakukan selama ini yang bisa menjadi pertimbangan bagi masa depan UNHAS.
Tetapi, apakah cukup pengalaman berharga yang didapatkan dari berbagai PT tersebut? Sangat subyektif! Kalau sekadar untuk berkisah … mereka punya gedung sendiri, tak seperti UNHAS yang menumpang di rektorat.
Masa’ sih hanya itu menjadi target MWA UNHAS? Atau anggaran operasional MWA yang tidak sebanyak anggaran MWA PT di Jawa. Ah, masa’ sih itu yang dibandingkan?
Rasanya kurang “greget” untuk suatu organisasi “nirlaba”. Maksud saya, roh dari “board of trustees” ini tidak menggigit. Tidak membuat bulu kuduk kita berdiri karena kagum atas target-target yang ingin dicapai.
Sejarah filantrofi yang kemudian menjadi cikal-bakal “board of trustees” itu diawali oleh kegundahan seorang pendeta Frederick Taylor Gates yang melihat kemarahan rakyat atas penguasaan uang oleh para industriawan akibat Perang Sipil.
Kompetisi yang disebut “saling memakan daging sesama” hanya memerkaya segelintir orang seperti Rockefeller melalui perusahaan minyak dan Carnegie melalui perusahaan kereta api. Uang sama sekali tidak menyentuh masyarakat umumnya.
Gates melihat kondisi ini sebagai situasi krisis yang berbahaya. Dia membujuk Rockefeller yang kemudian menawarkan untuk mencari solusi bagi pemecahan masalah yang dihadapi Amerika.
Rockefeller kemudian bertekad bahwa dia bukan hanya ingin meringankan penderitaan, melainkan juga mengakhirinya. Dia menghidupkan sekolah yang hampir mati yang kemudian menjadi universitas kelas dunia yaitu The University of Chicago.
Carnegie menulis artikel “Wealth” yang menjelaskan bagaimana dia ingin memerlakukan kekayaannya. Visi Carnegie ini kemudian diikuti oleh para filantropis termasuk Rockefeller.
Bagi Carnegie, kehidupan seorang industriawan kaya harus terdiri dari dua bagian, yaitu pengumpulan dan akumulasi kekayaan, dan selanjutnya mendistribusikan kekayaan itu sebagai penyebab kebajikan.
Pendekatan Carnegie berlawanan dengan tradisi warisan, di mana kekayaan diserahkan kepada ahli waris dan bentuk lainnya lagi dari warisan diserahkan kepada negara untuk kepentingan publik.
Filosofi Carnegie dihasilkan dari pengamatan bahwa ahli waris kekayaan besar sering menyia-nyiakan kekayaan dengan hidup berfoya-foya dibanding memelihara dan mengembangkan kekayaan tersebut.
Bahkan mewariskan keberuntungan kekayaan seseorang untuk tujuan amal tidak menjamin bahwa kekayaan itu akan digunakan secara bijak sesuai dengan keinginan si dermawan.
Carnegie menyetujui pemberian amal yang dikelola masyarakat miskin di negara mereka yang miskin, dan mendesak gerakan terciptanya modus baru amal yang menciptakan peluang manfaat bagi para penerima hadiah untuk memperbaiki diri mereka. Akibatnya, hadiah tidak hanya akan dikonsumsi, tetapi akan menjadi kekayaan produktif yang lebih besar.
Carnegie berpendapat bahwa masyarakat yang dipimpin oleh pebisnis yang sukses bertanggung jawab untuk membangun perekonomian dunia.
Keadilan didefinisikan untuk prinsip bahwa mereka yang paling banyak berkontribusi pada pembangunan ekonomi paling layak dihargai. Merekalah yang paling bisa diandalkan untuk menggunakan kekayaan mereka bagi kebaikan masyarakat.
Kaum filantropis menggunakan institusi pendidikan, agama, kesehatan, dan budaya sebagai perekat penyelesaian masalah-masalah sosial yang timbul antara orang miskin dan orang kaya.
Carnegie membuat daftar target kemana kekayaannya akan didermakan, yaitu untuk membangun universitas, membangun perpustakaan publik, mendirikan rumah sakit, sekolah kesehatan, laboratorium atau institusi lain yang akan menekan angka kelahiran, mendirikan taman publik, membangun hall konser musik yang memadai, membangun kolam renang publik, dan menyediakan struktur permanen gereja.
Tahun 1901, Carnegie mendermakan 90% dari kekayaan yang dimilikinya untuk tujuan baik termasuk mendirikan Carnegie Hall New York City dan Carnegie Mellon University.
Rockefeller mendermakan kekayaannya untuk mendukung pendidikan tanpa membedakan ras, jenis kelamin atau keyakinan. Dia juga mendirikan London School of Hygiene dan Tropical Medicine di Inggris, John Hopkins School of Public Health dan Havard School of Public Health di Amerika, dan School of Hygiene I University of Toronto.
Selain itu, Rockefeller mengembangkan vaksin untuk mencegah demam kuning (yellow fever) dan membantu The New School sebagai tempat berteduh bagi sarjana-sarjana yang terancam oleh Nazi.
Lalu apa hubungannya dengan MWA UNHAS? Menurut hemat saya, mencari pengalaman setiap tahun lewat PT di Jawa yang juga masih sibuk mencari bentuk ideal MWA institusi mereka tidak akan menghasilkan apa-apa selain catatan SPPD yang panjang.
Saya menganjurkan untuk belajar dari sumber ilmu yaitu ke The University of Chicago dan Carnegie Mellon University. Di situ saya yakin para anggota MWA UNHAS yang saya muliakan bisa mendapat spirit bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh MWA langsung dari sumber ilmunya.
Saya percaya setelah mengunjungi fasilitas yang dibangun oleh Rockefeller dan Carnegie, pemikiran para anggota MWA UNHAS akan tercerahkan dan kami semua warga UNHAS akan mendapatkan manfaatnya.
Penulis adalah dosen Arsitektur FT Unhas dan Penulis buku “Warna di sekeliling kita”