Oleh: Ahmad Razak
Dosen Fakultas Psikologi UNM Makassar
PADA akhir Februari lalu, kita kembali digemparkan dengan berita seorang siswa SD yang duduk di bangku kelas 4 di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur tewas usai gantung diri. Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi setempat, diduga anak malang ini melakukan aksi bunuh diri akibat depresi karena sering diolok-olok oleh rekannya karena tidak mempunyai ayah, alias yatim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Informasi ini diperoleh dari keluarga korban yang mengaku bahwa korban seringkali sedih dan murung ketika pulang dari sekolah. Saat ditemukan oleh ibu dan kakaknya, korban sempat dibawa ke klinik terdekat, namun setelah sampai di klinik, anak tersebut sudah meninggal.
Berita lain datang dari Bandung, Jawa Barat pada November 2022 lalu. Siswa SMP dibully oleh rekan kelasnya sendiri di ruang kelas. Pada video yang beredar di internet, korban dipakaikan helm lalu ditendang kepalanya oleh temannya hingga tersungkur di lantai bahkan tidak sadarkan diri. Perlakuan keji ini direkam dan diunggah ke media sosial.
Perundungan atau bullying merupakan bentuk kekerasan (baik fisik maupun verbal) yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau kelompok yang merasa lebih kuat atau superior dengan tujuan menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Saat ini kita tidak asing lagi mendengar berita maraknya siswa sekolah yang menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh rekannya sendiri.
Hal ini sungguh miris, mengingat anak-anak yang harusnya menjalin pertemanan yang sehat, fokus belajar dan mengukir prestasi di sekolah justru terlibat menjadi pelaku bullying. Di sisi lain, anak-anak yang menjadi korban juga harus mengalami penindasan tanpa alasan yang bisa berdampak buruk seperti luka fisik, depresi, hingga kematian.
Penyebab terjadinya perilaku bullying sebenarnya cukup banyak jika kita memperluas sudut pandang dalam menyikapi fenomena ini. Misalnya faktor lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang otoriter (anak sering ditekan, dimarahi, bahkan dipukul dan tidak berani melawan), anak pernah bahkan sering menyaksikan kekerasan baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat merupakan beberapa sebab anak melakukan tindakan kekerasan di sekolah.
Faktor lain bisa jadi seperti kebiasaan yang salah misalnya menyajikan tontonan yang menunjukkan kekerasan kepada anak di bawah umur tanpa pengawasan dari orang tua. Beberapa penyebab ini bisa menimbulkan keinginan anak untuk mencari pelampiasan lain kepada rekannya yang dianggap lebih lemah dari dia sehingga terjadilah bullying.
Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak sangat luas, tidak hanya kepada korban melainkan juga lingkungan dimana perilaku bullying itu terjadi. Tindakan ini jika dibiarkan akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan aman khususnya bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak yang sudah terbiasa menyaksikan aksi perundungan akan kehilangan empati dan cenderung menggunakan kekerasan fisik dalam menyelasaikan masalah.
Dampak ini juga akan meluas pada menurunnya kualitas anak-anak kita, baik dari segi akademik, etika, dan moral yang nantinya menjadi penerus bangsa. Bagi korban, hal ini tentu langsung memberikan dampak buruk, baik luka fisik maupun luka batin dan nantinya bisa berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari.
Penanganan kasus bullying tidak sesederhana memberikan nasehat atau hukuman kepada para pelaku. Hal ini perlu diberikan intervensi dari hulu ke hilir yang melibatkan banyak pihak.
Instansi POLRI sebagai pengayom masyarakat memiliki peranan penting dalam menurunkan dan mencegah terjadinya perilaku bullying pada anak melalui kerjasama dengan pihak lain seperti guru di sekolah, orangtua, psikolog anak, dan masyarakat luas tentunya.
Guru bisa diberi arahan agar melakukan pengawasan yang ketat terhadap perilaku bullying di sekolah seperti senantiasa memperhatikan keadaan siswa, mengantisipasi bullying dengan mengajarkan rasa empati dan kasih sayang kepada para murid.
Bagi para orangtua yang merupakan madrasah pertama seorang anak, diharapkan untuk senantiasa menunjukkan kasih sayang kepada anak, mendengarkan pendapat sang anak, dan mengawasi setiap perilaku anak sehingga mudah dicegah jika terdapat indikasi yang menunjukkan anak melakukan perbuatan negatif.
Sedangkan bagi anak, perlu untuk selalu diingatkan untuk memberitahukan orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya jika mengalami atau melihat tindakan kekerasan. POLRI juga bisa terjun langsung ke sekolah-sekolah melakukan penyuluhan kepada anak-anak terkait pencegahan perilaku perundungan. Bentuk tindakan preventif ini diharapkan bisa menegah bullying yang kerap terjadi pada anak-anak. (*)