SINJAI, UJUNGJARI.COM– Pembangunan auditorium Universitas Muhammadiyah Sinjai (UMSi) di Jl. Wolter Monginsidi, Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, menuai sorotan tajam dari masyarakat dan pengamat lingkungan. Proyek megah ini diduga melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan berpotensi menimbulkan bencana lingkungan, termasuk ancaman abrasi yang membahayakan permukiman warga.
Ancaman Abrasi dan Kerusakan Ekosistem Pesisir
Pembangunan auditorium UMSi yang berlokasi di sempadan sungai dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Perubahan arus air, erosi tanah, dan kerusakan habitat alami menjadi ancaman nyata bagi lingkungan sekitar. Akibatnya, ratusan warga Sinjai yang tinggal di sekitar lokasi proyek terancam terdampak abrasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pertemuan yang digagas Lukman Dahlan, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sinjai, ia membantah jika dirinya memaksakan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) auditorium UMSi berdasarkan kelengkapan dokumen dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), dan Dinas Pertanian.
“Terkait dengan terbitnya izin, itu tidak ada unsur gratifikasi dan kami tidak memaksakan untuk menyepakati terbitnya PBG,” ungkap Lukman Dahlan.
Namun, informasi yang dihimpun melalui pertemuan itu mengungkap bahwa proses perizinan pembangunan auditorium UMSi bermasalah sejak awal. DLHK dan Dinas PUPR Sinjai mengaku tidak dilibatkan dalam proses perencanaan awal.
Lebih lanjut, terungkap bahwa tenaga ahli yang dilibatkan dalam penyusunan dokumen kelayakan pembangunan adalah istri dari Wakil Rektor I UMSi. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap objektivitas penilaian dampak lingkungan dan memicu dugaan konflik kepentingan.
Polisi Diminta Usut Tuntas
Aktivis lingkungan, Zulkifli Natsir, menjelaskan dampak bahaya jangka panjang terhadap bangunan auditorium UMSi yang berada di kawasan sempadan Sungai Tui.
“Struktur tanah pinggir Sungai Tui dalam jangka lama tidak dapat menahan bobot bangunan auditorium UMSi. Selain akan berdampak merusak ekosistem lingkungan dan membahayakan warga sekitar akibat longsor, juga merusak bantaran sungai yang seharusnya dipenuhi tumbuhan hijau sebagai perekat tanah,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa pembangunan di pinggir sungai dilarang karena berdampak pada kapasitas sungai yang berkurang, sehingga tidak dapat menampung debit air yang besar dan menyebabkan luapan serta mengikis dan menimbulkan keretakan struktur tanah.
“Kita harus teliti lebih dalam sebelum memutuskan membangun di pinggir sungai, karena bobot kosong bangunan dan berat bangunan setelah terisi harus menjadi pertimbangan, dan potensi ruang penyalur banjir terganggu sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem. Mengancam keselamatan,” jelas Zulkifli Natsir.
Melihat potensi dampak lingkungan yang serius dan dugaan pelanggaran prosedur dalam pembangunan auditorium UMSi, masyarakat mendesak pihak kepolisian untuk segera bertindak.
Seorang warga yang ditemui di sekitar lokasi pembangunan auditorium UMSi meminta agar polisi mengusut tuntas dugaan pelanggaran yang terjadi dan mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk Satgas Gakkum.
“Satgas Gakkum DLHK Pemerintah Daerah Sinjai perlu segera melakukan kajian Amdal yang komprehensif dengan melibatkan ahli yang kompeten dan independen. Pihak berwenang perlu mengevaluasi proses perizinan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku,” tegasnya. (Tim)