Oleh: Ahmad Razak
Dosen Psikologi Universitas Negeri Makassar

DALAM Islam, konsep memberi memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Dalam konteks ini Rasulullah SAW pernah bersabda: Alyadul ulya khairun minal yadis sulfa artnya: tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” (HR. Bukhari dan Muslim).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena kedermawanan di bulan Ramadhan menjadi bukti nyata bahwa memberi lebih utama daripada menerima. Setiap tahun, kita menyaksikan umat Muslim berlomba-lomba dalam berbagi kebaikan, baik dalam bentuk makanan berbuka puasa, zakat, infak, maupun sedekah lainnya. Masjid-masjid dan lembaga sosial dipenuhi dengan paket bantuan yang disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.

Memberi adalah salah satu bentuk ekspresi kedermawanan yang memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental, meningkatnya perasaan bahagia dan kepuasan hidup.

Beberapa riset psikologi islam menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan berbagi cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Ini karena memberi menumbuhkan rasa memiliki, makna hidup, ketenangan jiwa serta terbangunnya koneksi sosial yang kuat dengan orang lain.

Hal tersebut bersesuaian dengan firman Allah SWT yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.(QS. At-Taubah: 103).

Manusia secara fitrah memiliki kebutuhan untuk merasa berguna bagi orang lain. Ketika seseorang membantu sesama, ada perasaan puas dan bahagia yang muncul dari dalam diri. Ini karena otak melepaskan hormon dopamin dan oksitosin yang berkontribusi pada perasaan bahagia dan ketenangan batin.

Selain itu, memberi juga meningkatkan rasa syukur. Ketika seseorang berada dalam posisi memberi, ia akan menyadari betapa banyak nikmat yang telah ia terima. Ini membantu seseorang untuk lebih fokus pada apa yang ia miliki, bukan pada apa yang kurang. Rasa syukur ini juga berperan penting dalam meningkatkan kesehatan mental, mengurangi kecemasan, dan memperkuat daya tahan terhadap stres.

Dalam kehidupan sosial, budaya memberi juga memperkuat hubungan interpersonal. Seseorang yang dermawan akan lebih mudah menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Ketika seseorang memberi, ia sebenarnya sedang membangun jembatan emosional dengan orang lain. Ikatan sosial yang kuat ini berperan besar dalam menciptakan rasa aman dan dukungan sosial, yang merupakan faktor penting dalam kesejahteraan psikologis.

Namun, penting juga untuk memahami bahwa memberi harus dilakukan dengan keseimbangan. Ada orang yang terlalu banyak memberi hingga mengorbankan kesejahteraan dirinya sendiri yang juga dapat mengakibatkan kelelahan emosional (compassion fatigue) akibat terlalu banyak berempati.

Oleh karena itu, Islam juga mengajarkan keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam memberi sebagaimana sabda rasulullah SAW Khairul umuri aw satuha artinya: sebaik-baik urusan adalah yang petengahan (HR. Bukhari Muslim).

Islam tidak hanya menganjurkan memberi dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk lain seperti ilmu, tenaga, perhatian, dan waktu. Bahkan senyuman pun termasuk bentuk sedekah. Ini menunjukkan bahwa konsep tangan di atas tidak terbatas pada aspek ekonomi semata, tetapi mencakup semua hal yang dapat memberi manfaat bagi orang lain.

Dalam konteks kehidupan modern, konsep ini bisa diterapkan dalam berbagai aspek, termasuk dalam dunia kerja dan organisasi. Pemimpin yang memiliki sikap tangan di atas akan lebih dihormati dan dicintai oleh bawahannya. Mereka tidak hanya menuntut, tetapi juga memberi contoh, membimbing, dan mendukung timnya. Model kepemimpinan ini terbukti efektif dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.

Di sisi lain, dalam dunia pendidikan dan keluarga, menanamkan nilai memberi sejak dini sangat penting. Anak-anak yang dibiasakan berbagi akan tumbuh menjadi individu yang lebih peduli, empatik, dan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai sosial ini akan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan bahagia.

Dalam ajaran Islam, tangan di atas tidak hanya berkaitan dengan harta, tetapi juga mencerminkan mentalitas seorang mukmin yang produktif. Islam tidak menghendaki umatnya menjadi pribadi yang pasif dan hanya bergantung pada orang lain. Sebaliknya, Islam menuntun umatnya untuk menjadi insan yang mandiri, kreatif, dan mampu memberi manfaat bagi sesama.

Pada akhirnya, ajaran alyadul ulya khairun minal yadis sufla bukan hanya sekadar ajakan untuk bersedekah, tetapi merupakan filosofi hidup yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis. Dengan menjadi pribadi yang dermawan, seseorang akan memiliki makna hidup yang lebih dalam, kebahagiaan yang lebih besar, serta hubungan sosial yang lebih kuat.

Oleh karena itu, marilah kita menerapkan konsep tangan di atas dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak harus selalu dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk perhatian, dukungan, dan kasih sayang. Dengan memberi, kita tidak hanya membahagiakan orang lain, tetapi juga menciptakan kesejahteraan psikologis dalam diri kita sendiri. Kunci dari semua hal tersebut adalah keikhlasan di dalam memberi. Wallahu a’lam bissawab.