MAKASSAR, UJUNGJARI— Universitas Hasanuddin (Unhas) secara resmi mengukuhkan Prof. Dr. dr. Habibah S. Muhiddin, Sp.M(K) sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas dalam bidang Vitreoretina. Penghargaan akademik tertinggi ini diberikan atas kontribusinya dalam pengembangan ilmu retina, khususnya dalam upaya pencegahan kebutaan akibat Diabetik Retinopati, yang masih menjadi salah satu tantangan kesehatan di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengukuhan berlangsung pada Rapat Paripurna Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin dan dipimpin oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “Upaya Pencegahan Kebutaan Akibat Diabetik Retinopati dalam Menghadapi Bonus Demografi,” Prof Habibah menekankan pentingnya upaya preventif dan kolaborasi lintas sektor untuk mencegah kebutaan, khususnya pada generasi usia produktif yang menjadi penentu masa depan bangsa.

Saat ini, Prof Habibah merupakan Direktur Utama PT Orbita Medika Indonesia (RS Mata dan Klinik Utama Mata JEC Orbita @ Makassar), anggota PERDAMI Pusat dan PERDAMI Sulawesi Selatan, serta pengajar sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Pengukuhan ini menambah deretan dokter spesialis mata dari JEC Eye Hospitals and Clinics yang menjadi guru besar di perguruan tinggi terkemuka Indonesia.

Prof Habibah dalam pidato pengukuhannya menyampaikan, bonus demografi yang diprediksi terjadi di Indonesia pada periode 2020–2030 merupakan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas tenaga kerja. Namun, potensi ini dapat terhambat jika kualitas kesehatan tidak terjaga.

“Lebih-lebih kesehatan mata, mengingat organ ini sangat vital untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari. Indra penglihatan mampu menangkap 80 persen informasi, dengan sisanya melalui indra pendengaran dan perasa. Salah satu ancaman utama pada kesehatan mata adalah tingginya prevalensi Retinopati Diabetik (RD) sebagai komplikasi serius diabetes melitus yang dapat menyebabkan kebutaan pada usia produktif,” kata dia.

Data International Diabetes Federation (IDF) 2021, sekitar 10,8 persen penduduk Indonesia mengidap diabetes melitus, dan sekitar 43,1 persen di antaranya berpotensi mengalami Retinopati Diabetik (RD) – yakni komplikasi serius yang dapat menyebabkan kebutaan bila tidak ditangani dengan tepat.

Retinopati Diabetik (RD) merupakan penyebab kebutaan utama pada pasien berusia 20-64 tahun di seluruh dunia. WHO mencatat RD menyebabkan kebutaan pada 4,8 persen dari 39 juta penderita buta secara global, dengan prevalensi mencapai 34,6 persen.

Sementara di Indonesia, prevalensi penyakit RD mencapai 43,1 persen, termasuk 26,1 persen di dalamnya mengalami RD yang mengancam penglihatan. Di Indonesia, RD menjadi komplikasi diabetes kedua terbanyak setelah nefropati. Mayoritas penderita diabetes tinggal di negara berkembang dengan penghasilan rendah, dan di negara-negara ini – termasuk Indonesia, penatalaksanaan diabetes dan deteksi dini RD belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman yang ada.

Di Sulawesi Selatan sendiri, situasi RD masih perlu menjadi sorotan. Dengan populasi penduduk sekitar 9,4 juta jiwa, prevalensi diabetes melitus-nya mencapai 7,4 persen – atau berkisar 695.600 penderita. Studi pendukung yang dikumpulkan Juli 2023-Juni 2024 mendapati temuan menarik.

Selama periode tersebut, RS Unhas dan Klinik Utama Mata JEC Orbita @ Makassar telah menjalankan tindakan operasi vitrektomi kepada 271 pasien RD – dengan 5,53 persen di antaranya berusia kurang dari 30 tahun. Ini memperlihatkan potensi nyata ancaman RD kepada kalangan usia produktif yang sangat berdampak signifikan pada kualitas hidup. Selain risiko kebutaan, RD juga sangat bisa berdampak pada aspek pendidikan hingga pilihan karier penderitanya.

Prof. DR. Dr. Habibah S. Muhiddin, SpM(K), menambahkan tanpa upaya pencegahan dan deteksi dini yang optimal, peningkatan jumlah penderita RD dapat mengurangi daya saing tenaga kerja dan membebani sistem kesehatan nasional.

“Karenanya, investasi dalam skrining, edukasi, dan pengobatan RD menjadi langkah krusial agar generasi usia kerja tetap sehat dan produktif. Dengan demikian, bonus demografi dapat dimanfaatkan secara maksimal.”

Berlandas analisis situasi dan berpijak pada tujuan agar bonus demografi tidak menjadi kesia-siaan, Prof. DR. Dr. Habibah S. Muhiddin, SpM(K) merumuskan tiga kebutuhan krusial untuk pencegahan kebutaan akibat RD di Indonesia.

Pertama, political will – dengan menempatkan RD sebagai prioritas indikator kesehatan, layaknya kesehatan ibu dan anak, stroke atau penyakit kardiovaskular lainnya. Kedua, sarana dan prasarana yang memadai – baik untuk skrining maupun terapi, termasuk laser fotokoagulasi seharusnya tersedia di seluruh kabupaten.

Ketiga, kolaborasi lintas profesi dan sektoral – dari tenaga kesehatan tingkat primer hingga tersier, antar dokter spesialis penyakit dalam endokrin metabolik dan spesialis mata, serta kerja sama dengan berbagai organisasi (baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan nasional maupun internasional).

Sebagai realisasi pencegahan kebutaan akibat RD, sebelumnya Prof Habibah telah menggagas berbagai inisiatif strategis di Sulawesi Selatan. Melalui Departemen Ilmu Kedokteran Mata Unhas dan PERDAMI, Prof Habibah telah bekerja sama dengan Helen Keller International, Lions International, Yayasan Layak, CBM, Foresight Australia, Orbis International, Royal College of Ophthalmology, University of Dundee, Standard Chartered dan berbagai organisasi lain.

Kolaborasi tersebut telah melahirkan berbagai program, seperti pelatihan untuk dokter umum, dokter mata, perawat, optometrist, kader dan guru untuk skrining gangguan penglihatan, termasuk RD.

Mengakhiri pidatonya, Prof Habibah menyampaikan harapannya agar upaya preventif ini dapat terus berkembang dan berdampak. Untuk mengatasi masalah kebutaan dan gangguan penglihatan RD perlu tata laksana dari hulu sampai ke hilir, terutama pada usia produktif agar bonus demografi memberi impak positif bagi Indonesia.

“Kita semua bertanggung jawab untuk memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses ke layanan kesehatan mata yang berkualitas. Bersama, kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah bagi bangsa ini,” tandasnya.

Pengukuhan Prof Habibah menambah jumlah dokter spesialis mata dari jaringan JEC Group yang menjadi delapan guru besar ilmu penyakit mata di berbagai universitas terkemuka Indonesia. Sebelumnya, gelar tersebut juga pernah dikukuhkan oleh Universitas Indonesia kepada (Almarhum) Prof. Dr. Istiantoro Sukardi, SpM(K), Prof. Dr. Tjahjono D. Gondhowiarjo, SpM(K), PhD; Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K); dan baru-baru ini, Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K).

Selain itu, Universitas Diponegoro mengukuhkan pula Prof. DR. Dr Winarto, SpM(K), serta Universitas Hasanudin telah memberikan gelar serupa kepada Prof. Dr. Budu, Ph.D., SpM(K),M.Med.Ed dan Prof. Dr. Andi Muhammad Ichsan, Ph.D., SpM(K). (*)