armin mustamin toputiri

NO such thing as a free lunch”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

ISENG saja, saya mengintip di jendela Google. Penasaran ingin melihat foto anak-anak kita di sekolah, melahap makanan gratis disajikan negara.

Waduh, muncul malah cover majalah TIME, edisi 12 Oktober 1981. Tertulis, “No Free Lunch”. Tak ada makan siang gratis.

Idiom “No Free Lunch”, bukanlah antonim “Free Lunch”. Tapi majas, amsal lain untuk menyatakan; jika di muka bumi ini, sama sekali tak ada yang gratis. Diraih cuma-cuma tanpa imbalan. Kasat mata tampak gratis, tetapi — langsung tak langsung — terselubung derma di baliknya.

Idiom itu tak lahir dari rahim majalah TIME. Juga, bukan Robert A. Heinlein, meski ikut mengulik di novelnya, “The Moon Is a Harsh Mistress” (1966). Pula, tak datang dari ekonom senior penerima Nobel Milton Friedman, meski bukunya dijuduli, “There’s No Such Thing As a Free Lunch” (1997).

Rudyard Kipling, peraih Nobel sastra 1907, di bukunya “American Notes” (1891), mengungkap “No Free Lunch”, mulanya masyhur di abad-19. Mengacu dari tradisi pengunjung restoran dan bar di Amerika. Siapa membayar minuman alkohol, dapat jatah makan siang gratis. Tak sadar, makanan dilahap, bayarannya include pada pelunasan minuman alkohol.

*

Itu kisah “No Free”, tak gratis. Berikut ini, mula ditawar justru “Free”, gratis. Di masa kampanye Pilpres 2024, Prabowo-Gibran — dari sekian banyak dijanjikan — andai terpilih, menjanji akan menyajikan “makan siang gratis”. Sasarannya, seluruh anak sekolah, mulai TK hingga SMA.

Asyik. Dalihnya kuat, menuju generasi berkualitas. Memastikan tiap anak, dapat asupan nutrisi yang cukup. Pertumbuhan fisik, kesehatan dan mental anak, terjamin. Anak sekolah bisa berkonsentrasi menata performa akademiknya agar semakin baik.

Program ini, asing bagi kita. Tapi, 25 dari 27 negara persemakmuran Eropa, sejak lama menerapkan. Di Finlandia misalnya, sejak 1948, meski diladeni hanya 850 ribu siswa. Negara lain di Eropa, makan siang gratis, ditujukan hanya pada anak-anak dari golongan keluarga berpendapatan rendah.

Indonesia bagaimana? Penduduknya terbesar keempat dunia. Wilayahnya luas, ribuan pulau. Ikut menerapkan makan siang gratis, mesti melayani 82,9 juta orang. Anggaran dibutuh, Rp 460 Triliun pertahun. “Every body will ask”, semua kita bertanya, muasal mana negara dapat uang sebesar itu?

**

Merealisasi janji — kini nama program ini keren, Makan Bergizi Gratis (MBG) — sekira gimana ya? Apa sebelumnya telah dikalkulasi? Soalnya, saat sama negara mesti melunasi banyak utang. Niatnya baik, meski (usah disesali) mulanya demi meraih simpati pemilih. Mumpung, kini eranya pemilih maniak gratis. “Minal mahdi ilal lahdi”, dari lahir hingga liang lahat.

Idialnya Rp 460 Triliun pertahun untuk 82,9 juta orang. Tapi kekuatan APBN kita 2025 ini, hanya mampu menyisih Rp 71 Triliun, dari Rp 140 Triliun yang dibutuh, melayani 15 hingga 17 juta orang. Penanda, tahun ini ada 60-an juta lagi belum disentuh. Pun, Rp 71 Triliun yang ada, kurang Rp 69 Triliun lagi. Dan semua kita bertanya lagi, “Every body will ask”, muasal mana negara dapat uang sebesar itu?

Pusing, putar otak tujuh keliling. Tarif PPN “disesuaikan” dari 11% ke 12%. Cukai rokok, Tol, juga BBM, naikkan. Pangkas perjalanan dinas. Tunda projek Infrastruktur. Dan yang tragis — seperti sejak mula saya duga (intip wawancara saya di podcast youtube Rijal Djamal, 13/08/2023) — APBD Provinsi dan Kabupaten, ikut dipalak.

Mirisnya lagi, orang-orang yang kita pilih duduk di kursi atas, aling-aling menawar opsi “rakyat ikut saweranlah nutupi kekurangan ini”. Demi negara, kita mau. Orang Aceh, dulu juga saweran beli pesawat buat negara. Cuman, kini rasanya tak elok, saat sama rakyat menyaksikan pemimpin bermewahan. Terbelalak, menatap triliunan uang negara, dirampok.

*

Sungguh benarlah, “no such thing as a free lunch”. Memang tak ada dinamai “makan siang gratis”. Idiom ini tak semata elegori, majas menyisip makna terselubung, justru faktual. Depan mata, telanjang apa adanya. Demi merealisasi MBG, janji pemilu, seisi negeri dilarung untuk ditarung.

Mereka menjanji gratis, kita senang. Naif, kita tak ubahnya pengunjung resto dan bar di Amerika abad-19 (seperti diurai di bagian tengah catatan ini). Kita bahagia melihat anak-anak diberi makan gratis oleh negara, taunya hasil “palak” sana sini. Semoga anak-anak kita, tak “keselek” saat melahap makanan gratis itu.

APBN kita mestinya se-efektifnya digunakan untuk pemenuhan hajat rakyat banyak, yang masih meringis tentang banyak soal. Dan APBD kita era otda, idialnya fiskal menutup banyak lubang soal di daerah, pula di APBD-P September nanti, pula akan ikut dicubit demi MBG.

*

Jelang menutup catatan ini, saya serasa tak kuasa membayangkan kesibukan memasak, tiap hari di seantero negeri. Tentu, kita butuh mengimpor dua juta ekor sapi, buat daging dan susu. Butuh berton-ton beras, telur, sayur, cabe, garam, terasi, piring, sendok-garpu, dan lainnya.

Mengingatkan saya, pada karib saya pedagang beras. Sejak MBG dilansir, telah bersiap ikut tender pengadaan beras. “Saya ikut tender tusuk giginya saja” ujar saya. “Wah!” Dia bingung. “Untungnya, besar Bos” kata saya. “Kok?” Masih bingung. “Tusuk gigi, kan bisa cuci ulang Bos!”. Hi hi hi…

Makassar 18 Januari 2025