armin mustamin toputiri
“Persenjatai dirimu. Sebab itu, apakah kamu ingin punya senjata? Jika iyya, datanglah ke gudang senjata, bernama perpustakaan. Di sana ada banyak buku. Isinya, itulah senjata terhebat di dunia”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adagium itu, suatu waktu saya temukan melintas di beranda salah satu media on-line. Dikemukakan Russell T Davis, penulis skenario dan produser sinetron tivi Welsh di kawasan Britania Raya.
—
Malam detik-detik peralihan tahun, 2024 ke 2025, saya memilh tak keluar rumah. Dan lazimnya — sejak memilih jadi pengangguran — jika tak “mood” main cat di atas kanvas, saya memagut diri di perpustakaan pribadi di rumah. Di sela himpitan buku-buku.
Alih-alih, kalimat Russell itu, tetiba ulang melintas di benak saya. Musabab, tertaut plot novel detektif semi-filsafat, tengah saya lumat. “The Magic Library”, karya Jostein Gaarder. Satu diantara novelnya yang lain “Dunia Sophie”. Best seller.
Novel “Perpustakaan Ajaib” ini, terjemahan dari aslinya berbahasa Norwogia. Berkisah tentang Berit dan Nils. Dua sepupu beda kota, diincar sosok wanita misterius. Bibbi Bokken, beserta komplotannya yang diam-diam punya rencana rahasia.
Menariknya, upaya membongkar rahasia dan misteri itu, Berit dan Nils, menelusuri di sebuah perpustakaan.
***
Syahdan, novel tebal 284 halaman, diterbit Mizan 2016 ini, malam itu urung saya tuntaskan. Musabab, benak saya tetiba direcoki, juga soal library lain. Kini, ramai dibincang dan diliput media, soal lolosnya “mesin cetak haram” ke perpustakaan (juga ajaib) milik UIN Alauddin. “Mens-rea”, mula niatnya, memang buat mencetak uang palsu. Meski berdalih mencetak buku.
Banyak pihak menyesali, masuknya mesin 3 ton, beroperasi sejak 2020 di ruang perpustakaan itu, tak tercium para civitas akademika kampus itu. Pun, kelak 2024 ditemukan, juga bukan dari mereka. Justru oleh orang luar, aparat kepolisian.
Ironisnya, sebab baru saja tersiar berita mengagumkan, jika 2024 lalu universitas ini berhasil mengorbit 21 Guru Besar. Lewat Tik-Tok milik pimpinannya yang tertinggi — dengan khas vocalnya yang bulat — optimis, jika 2025 nanti akan mengorbit lagi 20-an Guru Besar.
Pihaknya, juga telah menampik. “Tak adil jika kesalahan oknum, jadi cermin menghakimi seluruh almamater”. He he saya sepakat, pencuri masuk ke sebuah rumah, perbuatan oknum. Namun, kenapa pencuri masuk ke rumah itu, tak semata “mens-rea”, murni niat oknum. Boleh jadi, kelalaian penghuni rumah. Cara ceroboh, tak mengunci pintu. Memancing oknum pencuri masuk”. He he he logika terbalik.
Tapi apapun itu, semua kita patut prihatin. Kisah mesin haram, di perpustakaan ajaib, mencetak uang palsu, mencoreng nama besar kampus berlabel islami, yang juga produktif mengorbit Guru Besar itu.
Armin Mustamin toputiri,
Satu sahabat saya, bergumam terbalik. Patut diduga, perpustakaan universitas itu, tak ramai pengunjung. Mengingatkan saya pada adagium — kelak menginspirasi IAIN dialih UIN — diulas alumnus IAIN Ciputat Cak Nur, dulu di wisma HMI. “Jika ingin belajar ajaran Islam, pergilah ke Arab. Jika ingin belajar tentang Islam, pergilah ke Barat”.
Cak Nur, sepulang belajar di Chicago USA, ulang mengingatkan kita, sesungguhnya soal metodologi belajar mengajar. Antara fungsi satu sisi, azasi di sisi lain. Di Arab, Universitas mengajari fungsi sebilah pisau, misalnya.
Di Barat sebaliknya, universitas justru mengajari azasi sebuah pisau. Soal cara memfungsikan, silahkan riset dan cari di perpustakaan.
Konon, itulah dalih kenapa perpustakaan di Barat, ramai pengunjung. Di Barat kata Cak Nur, semua universitas mengedepankan penalaran deduktif. Melakukan riset untuk memukan tesis dan teori terbaru. Hasilnya, ada di rak perpustakaan. Para perisetnya, itulah yang diganjar — jabatan akademik — gelar Guru Besar.
Indonesia — dominan mazhabnya berkiblat ke Arab — sebaliknya, bernalar induktif. Semata, berposisi penerjemah hasil-hasil riset. Tentu bukan lagi, pada azasinya, tapi cara pem-fungsian-nya. Dan Azyumardi Azra, Rektor IAIN Ciputat kala itu, tak suka “pembeoan” itu. Jadi alasan baginya, getol berjuang mengalih IAIN menjadi UIN.
****
Kembali melanjutkan bacaan novel “The Magic Library”, yang tak kuat saya lumat habis saat malam jelang tahun baru 2025, adagium Russell — seperti saya kutip di awal catatan ini — tetap saja menguntit di benak saya. Bahwa perpustakan adalah gudang, berisi senjata terhebat di dunia.
Tak kecuali, gayung bersambut bagi sosok intelektual dan novelis Jostein Gaarder. Pun terinspirasi menulis novel dengan memilih plot, alur kisah pada perpustakaan sebagai arena membongkar rahasia dan misteri. Sebagaimana judulnya, “The Magic Library”. Sebuah Perpustakaan Ajaib.
Lebih dramatis lagi, ketika Shelby Foote, sejarawan dan jurnalis Amerika yang menulis tiga buku serial, “The Civil War: A Narrative” lantang mengklaim. “Universitas sesungguhnya kumpulan bangunan-bangunan, penanda jika di sana berdiri sebuah bangunan bernama perpustakaan”.
Nah, loh !!! Itu bukan kata saya ya, hi hi hi.
Makassar, 02 Januari 2025