MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Peneliti Senior Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Patria Artha (PUKAT UPA), Dr Bastian Lubis, S.E., M.M., CFM menyoroti penanganan korupsi di tanah air.

Dia mengatakan, perjalanan pemberantasan korupsi di era reformasi dari tahun ke tahun semakin tidak jelas. Bahkan bisa diibaratkan korupsi itu dipelihara sehingga setiap saat tidak ada hari tanpa pemberitaan kasus korupsi diramaikan di media sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masyarakat disibukkan untuk di jejali berita-berita heboh mulai penangkapan si A, si B dan si C yang penyelesaiannya malah merugikan keuangan negara itu sendiri. Sementara biaya pemberantasan diambil dari DIPA instansi penegakan hukum.

Lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan lapas semua seakan-akan sibuk berkinerja baik tapi akhirnya biasa-biasa saja.

Lebih jauh dikemukakan, belum lama ini masyarakat dikejutkan dengan korupsi PT Timah yang salah satunya melibatkan Harvey Moeis dengan potensi
korupsi 300 triliun.

Kasus itu telah diproses di pengadilan, dituntut oleh Jaksa 12 tahun, namun akhirnya vonis yang dijatuhkan hanya 6,5 tahun dengan denda Rp1 miliar.

Sangat ironis dengan anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk penanganan korupsi bersangkutan yang diduga sudah lebih dari Rp3 miliar dari APBN.

“Ini sangat ironis sekali,” ungkap Bastian saat menggelar pertemuan akhir tahun via zoom, dengan topik Penanganan Korupsi di Tanah Air, Selasa (31/12/2024).

Bastian mengatakan PUKAT UPA sepakat dengan Presiden Prabowo dalam beberapa pidato pemberantasan korupsi tetapi tidak untuk memaafkan koruptor yang mengembalikan hasil korupsinya secara diam-diam.

“Ini akan sangat berbahaya karena akan terjadi transaksional tawar menawar jadi akan bertambah tumbuh suburnya korupsi. Saat ini kalau orang korupsi dan
ketahuan ya dipulangkan saja atau disetor saja dananya semua jadi selesai. Ini
yang harus dihindari. Kalau ini terjadi maka bangkrut negara, APBN dan APBD
nya serta BUMD/D hanya untuk urusan korupsi sehingga tidak akan fokus untuk
masa depan,” jelas Bastian.

Dia melanjutkan, PUKAT UPA menganalisa ada beberapa poin yang menyebabkan korupsi tidak tuntas-tuntas. Bahkan
semakin bertambah subur.

Diantaranya, pejabat-pejabat yang selama ini diserahkan dalam pengelolaan keuangan
banyak yang tidak memahami tupoksinya sebagai PA, KPA, PPTK, TAPD, Bendahara sesuai UU 17/2003 dan UU 1 tahun 2004.

Sehingga tidak punya prinsip independensi dan akuntable terhadap uang negara yang dikelolanya sesuai Undang-Undang Peraturan atau aturan- aturan di bidang keuangan negara/daerah.

“Ini berlaku bagi semua pejabat yang menggunakan uang negara termasuk lembaga-Lembaga tinggi sampai dengan kepala desa,” jelas lelaki yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Patria Artha.

Dia mengemukakan banyak sekali persoalan peraturan/administrasi dibawa ke ranah pidana dan korupsi yang seharusnya dapat segera diselesaikan diinternal
tidak menjadi masalah sampai ke Penegak Hukum (Kejaksaan, Kepolisian
dan KPK).

Termasuk juga pejabat pengelola keuangan di lembaga penegak hukum karena diduga masih tidak tertib dan banyak masalah dalam pertanggungjawaban keuangannya.

Selain itu, Bastian menilai sejauh ini instansi pengawasan baik internal maupun eksternal belum berfungsi dengan baik.
Padahal selama ini banyak mendapat previlige dalam alokasi penggunaan anggaran negara/daerah.

Lembaga pengawasan internal (Inspektorat, Irjen/SPI) selama ini tidak optimal dalam memberikan bimbingan pengawasan agar dapat mencegah terjadi penyimpangan atau korupsi, lebih banyak sibuk urusannya sendiri.

Tidak terlalu difungsikannya BPKP sebagai koordinator pengawas internal
Pemerintah sehingga tidak ada kejelasan masing-masing pengawasan pada instansi-instansi atau jalan sendiri-sendiri.

“Seharusnya dengan dioptimalkannya tupoksi BPKP dalam mengkoordinir pengawas di masing-masing instansi pemerintah akan ada satu kesatuan prinsip dalam memperbaiki/mencegah terjadinya korupsi,” beber Bastian.

Menurutnya, pengawas eksternal/BPK sejak berlakunya UU I5/2006 tentang BPK sudah
berlangsung kurang lebih 27 tahun bukan semakin baik malah semakin
tidak jelas keberadaannya.

Badan Pemeriksaan Keuangan sangat super body yang diberikan oleh UU 15 Tahun 2006 tersebut. Malah disayangkan ada beberapa petingginya terlibat kasus korupsi.

Setiap tahunnya eksternal auditor mengaudit Pemda 2 sampai dengan 4 kali dengan hasil sebagian besar mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian/WTP tapi
Pemda tersebut masih banyak terlibat kasus-kasus hukum atau korupsi, jadi hasil kerjanya dipertanyakan bukan makin tahun semakin baik.

Seperti diketahui awal tahun 2009 s/d 2014 semua temuan dan ikhtisar hasil tindak
lanjut bisa dilihat di web nya BPK. Tapi saat ini semua sudah tidak bisa dilihat di web nya BPK/tidak transparan lagi padahal dalam UU 15/2006 tentang BPK setelah LHP diserahkan ke Dewan maka terbuka untuk
umum.

Herannya sudah mendapat opini WTP, auditornya tidak bertanggungjawab
atas pemeriksaannya malah mengelak menyatakan WTP bukan menjamin tidak adanya korupsi/fraud/kecurangan dari objek yang diperiksa.

Ini menjadi rancu seakan-akan mau lepas tanggungjawab, yang menjadi korban adalah pihak yang diperiksa, padahal sudah di audit tetapi dipersoalkan lagi oleh APH.

Selain itu, dia menilai penegakan aturan masih menggunakan produk kolonial yaitu KUHP yang lebih mengedepankan hukum pidananya penyanderaan badan tanpa melihat latar belakang terjadinya masalah. (rhm)