Oleh : Risma Niswaty
Guru Besar Universitas Negeri Makassar
Orang Toraja, salah satu suku asli di Sulawesi Selatan, memiliki tradisi pemakaman yang sangat unik dan dikenal di seluruh dunia, yaitu Rambu Solo. Tradisi Rambu Solo telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Toraja selama berabad-abad.
Upacara ini merupakan perpaduan antara kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh suku Toraja. Upacara ini bukan sekadar pemakaman biasa, melainkan sebuah perayaan hidup yang meriah.
Dengan mengorbankan kerbau dan babi, masyarakat Toraja percaya bahwa mereka dapat mengantarkan arwah leluhur mereka ke alam baka dengan penuh penghormatan. Melalui Rambu Solo, mereka percaya bahwa roh leluhur akan terus menjadi bagian dari kehidupan keluarga dan masyarakat.
Prosesi pemakaman yang panjang dan meriah ini juga menjadi ajang reunian bagi keluarga besar Toraja yang tersebar di berbagai tempat. Rambu Solo menjadi cerminan kuatnya ikatan keluarga dan masyarakat Toraja terhadap nenek moyang mereka.
Rambu Solo bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang penting bagi masyarakat Toraja. Upacara ini menjadi ajang menunjukkan status sosial dan kekayaan bagi keluarga yang menyelenggarakannya. Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi simbol kekayaan dan pengaruh keluarga tersebut dalam masyarakat.
Selain itu, Rambu Solo juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar melalui penjualan makanan, minuman, dan kerajinan tangan. Jumlah kerbau yang dikorbankan tidak hanya mencerminkan kekayaan keluarga, tetapi juga menunjukkan tingkat penghormatan yang diberikan kepada orang yang meninggal. Semakin banyak kerbau yang dikorbankan, semakin besar pula rasa hormat dan kasih sayang keluarga kepada leluhur mereka.
Selain status sosial, beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah kerbau yang dikorbankan dalam Rambu Solo, antara lain: Posisi sosial orang yang meninggal, bahwa orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat biasanya akan mendapatkan upacara Rambu Solo yang lebih besar dengan jumlah kerbau yang lebih banyak. Hal lainnya adalah kekuatan ekonomi keluarga.
Keluarga yang kaya akan mampu mengorbankan lebih banyak kerbau dibandingkan dengan keluarga yang kurang mampu. Ketiga adalah tradisi keluarga. Setiap keluarga memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda-beda dalam melaksanakan Rambu Solo. Ada keluarga yang lebih mementingkan jumlah kerbau, sementara yang lain lebih mementingkan kualitas upacara. Kerbau atau tedong yang dikorbankan dalam Rambu Solo juga dipilih bukan sekedar kerbau atau tedong saja, tapi harus melihat pada ukuran, bentuk, tanduk, dan perpaduan warnanya.
Mengenai jenis kerbau atau tedong yang dikorbankan dalam Rambu Solo, orang Toraja punya 10 jenis tedong atau yang harganya fantastis, mahal, dan berkelas. Ada tedong saleko, tedong bonga, lotong boko, tedong ballian, tedong pudu’, tedong todi’, tedong tekken langi’, tedong sokko, tedong bulan, dan tedong sambao’. Jenis tedong ini Harga paling minimalnya berkisar 25 juta dan Harga tertinggi bisa mencapai milyaran rupiah per ekor.
Pemilihan kerbau dalam upacara Rambu Solo bukan semata-mata perkara memilih hewan sembarangan. Proses pemilihan ini sarat dengan makna simbolis dan nilai sosial yang mendalam dalam masyarakat Toraja.
Pemilihan kerbau yang cermat dan teliti dalam Rambu Solo mencerminkan sejumlah nilai sosial yang penting dalam masyarakat Toraja. Pemilihan kerbau dalam Rambu Solo adalah proses yang sangat penting dan memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Toraja. Melalui pemilihan kerbau, masyarakat Toraja mengekspresikan nilai-nilai sosial, keagamaan, dan estetika mereka.
Jika dalam tradisi Rambu Solo saja, begitu ketatnya pemilihan kerbau atau tedong itu, maka seharusnyalah spirit ini juga menyebar dalam kontestasi politik kita yaitu pemilihan kepala daerah atau pilkada. Berhati-hatilah dan selektiflah memilih pemimpin.
Di Sulawesi Selatan tercatat tiga kota untuk pemilihan walikota dan wakil walikota, dua puluh empat kabupaten yang akan pemilihan bupati dan wakil bupati, dan kontestasi pemilihan gubernur Sulawesi Selatan. Menghadapi pilkada tersebut, calon kepala daerah perlu mempersiapkan berbagai aspek strategis agar dapat bersaing secara efektif. Pertama, penyusunan visi, misi, dan program kerja yang relevan dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya menjadi prioritas utama. Calon harus melakukan riset mendalam untuk memahami isu-isu lokal, sehingga program yang ditawarkan memiliki daya tarik dan dampak nyata. Kedua, membangun tim kampanye yang solid dan profesional untuk memastikan strategi komunikasi politik berjalan efektif.
Hal ini mencakup pemanfaatan media sosial, hubungan dengan media massa, serta pelibatan komunitas lokal. Ketiga, calon harus memiliki kapasitas untuk menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat, organisasi lokal, dan pemangku kepentingan lainnya, guna menciptakan dukungan yang luas. Selain itu, integritas, rekam jejak yang baik, dan komitmen untuk melayani masyarakat juga menjadi modal penting yang harus ditonjolkan.
Selanjutnya, calon kepala daerah harus memperhatikan aspek komunikasi publik, baik melalui media sosial maupun media massa, untuk menyampaikan ide dan program secara efektif kepada masyarakat. Persiapan dalam hal logistik dan pendanaan kampanye juga tidak kalah penting, karena kampanye yang sukses membutuhkan strategi yang terencana dengan baik dan dukungan finansial yang memadai.
Terakhir, calon kepala daerah harus menjaga integritas dan etika politik, menghindari praktik-praktik yang dapat merusak citra dan kepercayaan publik. Dengan persiapan yang matang dan pendekatan yang strategis, calon kepala daerah dapat meningkatkan peluang untuk meraih kemenangan pada Pilkada 2024.
Namun sayangnya di berbagai media, dapat kita saksikan masih terdapat elit pemerintah yang bukannya mengajak masyarakatnya untuk menjadi pemilih cerdas dan menerapkan pilkada yang beretika, tetapi malah menempatkan diri menjadi juru kampanye bahkan cenderung secara represif memaksakan ke seluruh jajaran pemerintahannya untuk memilih dan memenangkan calon tertentu. Sebuah tontonan etika politik yang rendah dan buruk.
Menelisik Kembali pemikiran para filsuf terkemuka, antara lain Aristoteles yang berbicara tentang keutamaan (virtue ethics) dan pentingnya karakter moral dalam kepemimpinan. Ia berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki kebijaksanaan praktis (phronesis), keadilan, dan integritas moral. Pemilu yang beretika menuntut kandidat untuk bertindak dengan integritas, menghindari manipulasi, dan berfokus pada pengabdian kepada masyarakat.
Begitu pula dengan gagasan Immanuel Kant yang mengemukakan prinsip categorical imperative, yang mengajarkan bahwa tindakan harus dilakukan berdasarkan prinsip universal yang dapat diterima oleh semua orang. Dalam konteks pemilu, ini berarti setiap langkah yang diambil, baik oleh kandidat maupun pemilih, harus berlandaskan kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pemilu yang beretika adalah pemilu yang tidak mengorbankan kebenaran demi kepentingan pribadi atau kelompok. Pemikir lain yaitu John Stuart Mill, melalui prinsip utilitarianismenya, menekankan bahwa tindakan yang benar adalah yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang paling banyak. Dalam pemilu, etika menuntut setiap aktor politik untuk memastikan bahwa keputusan dan kebijakan yang ditawarkan benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya segelintir elite.
Mengaitkan kembali antara spirit Rambu Solo pada pemilihan tedong atau kerbaunya, maka selayaknyalah pemilih-pemilih di pilkada nanti menempatkan diri sebagai pemilih cerdas. Ketika elit pemerintah kehilangan etika dan kecerdasannya, maka rakyat harus sebagai pemilih lah yang harus tetap menjadi pemilih cerdas dan beretika.
Tedong atau kerbau di Rambo Solo berharga mahal dan fantastis, maka menjadi mirislah ketika masyarakat pemilih menempatkan diri sebagai tedong pilkada yang berharga 50.000 atau 100,000 rupiah untuk menentukan pemimpin mereka hingga lima tahun ke depan. Mengutip beberapa komentar anak muda kekinian, kata mereka: mending jadi tedong bonga, daripada jadi tedong pilkada. (*)