Muhammad Rusmin, SKM.,MARS
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Saat kita berbicara tentang pelayanan kesehatan, sering kali fokus terarah pada fasilitas, teknologi medis, atau standar operasional. Namun, ada elemen mendasar yang kadang terlupakan: etika dalam pelayanan kesehatan. Elemen ini adalah roh yang memberikan kehidupan pada sistem kesehatan, menjadikannya lebih dari sekadar mesin administratif.
Bayangkan seorang pasien yang memasuki rumah sakit dengan rasa cemas, tidak hanya karena kondisi fisiknya tetapi juga karena ketidakpastian yang menyelimuti pikirannya. Dalam momen itu, senyuman ramah seorang tenaga medis, nada bicara yang menenangkan, atau bahkan sapaan sederhana bisa menjadi obat pertama yang dirasakan. Ini adalah kekuatan empati, inti dari etika pelayanan kesehatan yang sejati.
Namun, realitas sering kali jauh dari ideal. Laporan tentang pasien yang merasa diabaikan, keputusan medis yang tidak transparan, hingga perlakuan diskriminatif masih menjadi catatan kelam sistem kita. Bahkan, dalam tekanan pelayanan yang serba cepat, etika sering kali menjadi korban pertama yang terpinggirkan. Padahal, etika bukan hanya soal moralitas—ia adalah landasan kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan itu sendiri.
Kepercayaan ini penting. Tanpa kepercayaan, sistem kesehatan kehilangan legitimasinya. Pasien menjadi skeptis, takut, atau bahkan enggan mencari perawatan yang mereka butuhkan. Bagaimana kita bisa berbicara tentang kesehatan masyarakat yang lebih baik jika individu dalam masyarakat tersebut tidak merasa dihormati?
Maka dari itu, kita perlu menanamkan kembali etika sebagai inti dari setiap kebijakan dan praktik kesehatan. Etika bukan hanya tanggung jawab individu tenaga medis, tetapi sebuah budaya yang harus dibangun bersama. Mulai dari pelatihan komunikasi empatik bagi tenaga kesehatan hingga menciptakan lingkungan kerja yang manusiawi, semuanya saling terhubung.
Lebih dari itu, kita juga perlu mengakui bahwa pelayanan kesehatan yang etis adalah cermin peradaban kita. Ketika pasien merasa diperlakukan dengan hormat dan kemanusiaan, mereka tidak hanya sembuh secara fisik tetapi juga secara emosional. Dan bukankah itu tujuan akhir dari pelayanan kesehatan? Bukan hanya menyembuhkan, tetapi memulihkan manusia secara utuh.
Sudah saatnya kita berani mengembalikan jiwa dalam pelayanan kesehatan. Mari membangun sistem yang lebih manusiawi, di mana setiap pasien merasa didengar, dihormati, dan dicintai. Karena kesehatan bukan sekadar profesi; ia adalah panggilan untuk melayani kehidupan itu sendiri..