Site icon Ujung Jari

Pekerjaan Rumah Besar Pendidikan Jeneponto

Catatan untuk Calon Bupati-Wakil Bupati Jeneponto 2025-2030
Oleh: Mukhtar Tompo

Begitu banyak dasar pikiran pentingnya pendidikan di Indonesia. Dalam UUD 1945 alinea ke-4, terdapat kalimat “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang menggambarkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mendidik dan menyamaratakan pendidikan ke seluruh penjuru Indonesia.

Tuntunan lain datang dari Ki Hajar Dewantara; tujuan pendidikan adalah untuk menuntun tumbuh kembang anak-anak agar mereka bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Bahwa pendidikan bertujuan untuk memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup yang selaras dengan alam dan masyarakat.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Namun bagaimana jika lembaga pendidikan itu tidak maksimal? Bagaimana jika infrastruktur dan manajemen pendidikan dalam skala kabupaten dengan penduduk lebih dari 401.610 orang masih jauh dari target minimal?

Angka-Angka dan Ketimpangan Pendidikan Jeneponto

Berdasarkan Data Pokok Pendidikan di halaman website Direktorat Jenederal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang masih menggunakan nama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, total jumlah siswa seluruh tingkat pendidikan di Jeneponto sebanyak 78.628 orang. Terdiri dari 39.443 laki-laki dan 39.185 perempuan. Rinciannya (sesuai jenjang sekolah dan sederajatnya); 2.487 orang di Kelompok Bermain, 7.533 orang di Taman Kanak-Kanak, 193 orang di SPS (Satuan PAUD Sejenisnya), 3.705 orang di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM.

Lembaga pendidikan non formal di bawah Kementerian Pendidikan), 88 orang di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB. Lembaga pendidikan non formal bermitra dengan Kementerian Pendidikan), 39.931 orang di SD, 12.324 orang di SMP, 7.757 di SMA, 4.456 di SMK, dan 154 orang di SLB. Sedangkan Tempat Penitipan Anak (TPA) belum ada.

Jika kita fokuskan pada Pendidikan Dasar dan Menengah 9 tahun, meliputi SD SMP dan SMA (sederajat ketiganya; MI, MTs, MA, SMK, negeri dan swasta), sungguh data dan fakta menggambarkan betapa besar pekerjaan rumah menata pendidikan di Jeneponto.

Total gedung SD hingga tahun ajaran 2024/2025 dimulai, sebanyak 336 buah. Rata-rata satu sekolah mengelola 138 siswa. Untuk 6 ruang kelas per sekolah, umumnya 23 orang per kelas. Kelas 6 SD yang tamat 6.670 orang, tentu mereka calon siswa baru SMP. Mirisnya, jumlah gedung SMP sampai akhir 2024 hanya 136 buah. Maksimal hanya bisa menampung 4.352 orang (skala 32 siswa per kelas; sesuai standar nasional).

Artinya sekitar 2.303 tidak lanjut ke SMP karena faktor gedung tidak cukup! Jeneponto kekurangan 77 ruang kelas baru untuk kelas satu SMP, atau membutuhkan 26 gedung SMP baru untuk kesinambungan pendidikan.

Lulusan kelas IX SMP tahun 2024 sekitar 4.078 siswa. Jumlah gedung SMA hanya 82 buah. Maksimal hanya bisa menampung 2.952 orang (sesuai standar nasional; 36 siswa per kelas;). Artinya sekitar 1.26 tidak lanjut ke SMA karena faktor gedung tidak cukup! Jeneponto kekurangan 38 ruang kelas baru untuk kelas satu SMA, atau membutuhkan minimal 13 gedung SMA (sederajat) baru.

Jika ditotal putra-putri Jeneponto yang tidak melanjutkan pendidikan formal di SMP dan SMA karena faktor kekurangan gedung, mencapai 3.429 orang. Kalkulasi ini belum dibuat detail sesuai kebutuhan per kecamatan hingga per desa, khsusunya yang paling prioritas dengan jumlah lulusan SD terpadat tapi jumlah SMP sedikit, atau jumlah lulusan SMP banyak tapi gedung SMA sangat sedikit.

Jika tidak melakukan langkah konkrit infrastruktur pendidikan, maka mereka semua ini calon utama peserta Paket B (ujian setara SMP) dan peserta Paket C (ujian setara SMA). Dalam interval waktu tidak mengikuti sekolah formal, ribuan anak turatea ini tanpa pendidikan jelas selama tiga hingga enam tahun lamanya. Sebuah masa yang amat berat membangun generasi terbaik masa depan, terlebih membangun Jeneponto secara strategis mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Reformasi Atau Revolusi Pendidikan di Jeneponto?

Dua kata ini tidak memberi perbedaan apapun, jika pemegang kebijakan tertinggi di Jeneponto; Bupati dan Wakil Bupati tak melihat pendidikan sebagai hal yang paling penting untuk mengubah masyarakat secara jangka panjang. Padahal sejak lama rumusnya jelas dan terang; masyarakat dengan pendidikan yang baik, berpeluang lebih besar memiliki SDM yang baik. Masyarakat yang memiliki SDM yang baik, berpeluang lebih besar membangun, memakmurkan, dan mensejahterakan dirinya dan lingkungannya lebih baik.

Bila dihubungkan dengan dunia kerja, standar umum perusahaan untuk buruh hingga staf administrasi paling rendah adalah tamatan SMA. Di beberapa perusahaan dan perkantoran, malah menetapkan tamatan SMA dengan ijazah sekolah formal, bukan dari paket C. Artinya, hanya tamatan SMP apalagi SD, sangat sulit mendapatkan pekerjaan di sektor pekerja berbasis profesional, kecuali kelas buruh umum hingga buruh kasar.

Soal kedalaman ilmu lain lagi. Meski berbasis petani, atau nelayan, atau pedagang, akan memberi perbedaan mendasar dalam melihat pekerjaannya ketika dia lulusan SMA dengan hanya lulusan SMP atau SD. Kesadaran meningkatkan kualitas hidup; seperti pendidikan adalah investasi jangka panjang sehingga memperjuangkan anaknya tetap bersekolah hingga minimal jenjang SMA atau bila perlu menyelesaikan S1, atau melihat perlunya peningkatan kualitas produksi hasil dari pekerjaannya dengan terus belajar, membangun jaringan, dan memperluas pasar, juga termasuk kesadaran spiritual untuk menghindarkan diri dari utang-piutang rentenir, pinjaman online, hingga berjudi. Pendidikan baik dari segi jenjang atau dari segi nilai, memberi dampak besar kualitas SDM seseorang.

Kebutuhan Infrastruktur dan Efisiansi APBD

Secara ideal Jeneponto perlu membangun minimal 26 SMP dan 82 SMA baru sebagai langkah konkrit mengentaskan pendidikan dasar dan menengah 9 tahun. Jika kita analogikan dalam lima tahun masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati, berarti setiap tahun diperlukan membangun 5 SMP dan 3 SMA. Sesuatu yang sesungguhnya sangat bisa dalam hitungan 12 bulan terbagi rata sesuai kebutuhan di antara 11 kecamatan se Jeneponto.

Sumber dana pembangunan? Hal yang paling banyak menjadi alasan dibalik ketidakseriusan melihat pendidikan sebagai hal krusial, subtantif, dan utama. Dalam konteks jumlah PAD Jeneponto, sulit meng-iyakan semua aspek untuk masuk APBD. Sesungguhnya alokasi APBD dapat membuat prioritas pada beberapa aspek utama pembangunan; salah satunya pendidikan, setidaknya di dua atau tiga tahun pertama. Harus ada keberanian besar mengurangi atau menghilangkan penganggaran untuk program tidak strategis, bahkan tidak menambah pembangunan apapun di Jeneponto, diantaranya; berbagai seremoni yang memungkinkan pemborosan keuangan.

Pendidikan Adalah Masa Depan Jeneponto

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed telah menyampaikan tagline besar kementeriannya dalam Rapat Kerja Perdana bersama Komisi X DPR RI pada 6 November 2024, yakni Mencerdasakan dan Memajukan Bangsa. Sejalan dengan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, kerap kali dikutip oleh Presiden Prabowo, “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”.

Dalam Rapat Kerja itu ditekankan kembali oleh Mendikdasmen bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang, sehingga setiap elemen bangsa semestinya turut andil dalam mengembangkan pendidikan yang menjadi bagian dari menjaga marwah, martabat, dan karakter bangsa.

Rencana-rencana besar pengembangan pendidikan di Indonesia telah dicanangkan, baik infrastruktur, kurikulum, hingga kesejahteraan para guru dan tenaga pendidik, termasuk impian Presiden Prabowo agar anak-anak Indonesia mampu bersaing global melalui penguasaan matematika sebagai dasar penguasaan sains dan teknologi.

Catatan penulis setelah menyaksikan live debat Cabup/Cawabup Jeneponto dari Jakarta, baik sesi pertama maupun kedua; ide dan gagasan ini sebagai fakta otentik yang harus dilakukan, karena persoalan urgen dan mendasar tersebut tidak diangkat dalam dua sesi debat Cabup/Cawabup Jeneponto tersebut.

Semua paslon lebih banyak pada janji pemberian seragam, tas, sepatu, buku dan alat belajar gratis kepada pelajar, hal penting secara pribadi siswa, tapi tidak strategis untuk semua anak Butta Turatea yang seharusnya merasakan pendidikan sebagai haknya.

Bagaimana kesiapan di Jeneponto? Siapkah Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Jeneponto periode 2025-2030 membangun pendidikan yang lebih baik dari segala aspek? Semoga.

* H. Mukhtar Tompo, S.Psi, MAP, M.Sos, Anggota DPR RI periode 2014-2019

Exit mobile version