Site icon Ujung Jari

Pilkada Serentak: Antara Pesta Demokrasi, Politik Uang, dan Caci Maki

Oleh: Ahmad Razak
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pemilukada) serentak telah menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Peluang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang diharapkan dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi daerahnya.

Pemilukada merupakan ajang bagi calon pemimpin untuk berlomba menawarkan program, sertas visi misinya, dan juga merupakan kesempatan baik bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin terbaiknya yang dapat membawa daerahnya lebih baik.

Ironisnya di balik harapan besar pemilukada serentak ini, terdapat tantangan berat bagi terbangunnya demokrasi yang sehat, yaitu adanya politik uang dan fenomena caci maki antarpendukung yang tentu saja dapat mengancam keutuhan demokrasi itu sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik uang menjadi salah satu issu yang sering muncul dalam setiap penyelenggaraan pemilukada. Meskipun ada aturan pelarangan dan dapat dikenai sanksi terkait hal ini namun reel money politics masih marak terjadi bahkan semakin menjadi-jadi.

Bahkan money politics seakan menjadi kesepakatan tak tertulis antara kandidat, tim sukses dan masyarakat pemilih. Bahkan ditengah-tengah masyarakat berkembang uangkapan “ada uang ada suara”.

Dampak dari politik uang tentu dapat merusak integritas pemilukada karena lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada aspirasi masyarakat. Akibatnya, pemimpin yang terpilih bukanlah yang benar-benar kompeten, melainkan yang memiliki dukungan finansial yang besar.

Fenomena lain yang sering muncul adalah caci maki dan kampanye hitam antara pendukung calon semakin memperkeruh suasana. Forum debat dan medsos yang semestinya menjadi sarana diskusi sehat dan penyebaran informasi justru berubah menjadi ajang untuk menghujat dan merendahkan calon lain (lawan politik). Hal seperti ini tentu sangat berpotensi memecah belah masyarakat, menciptakan permusuhan yang berkepanjangan.

Ancaman politik uang dan caci maki ini sebenarnya bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang diharapkan dapat ditegakkan melalui pemilukada. Demokrasi idealnya memungkinkan setiap individu memilih berdasarkan aspirasi dan penilaian pribadi terhadap calon, bukan karena dorongan materi atau tekanan psikologis akibat caci maki.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada proses pemilihan, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan partisipasi dalam pesta demokrasi ini.

Selain itu, politik uang juga berdampak pada kualitas kepemimpinan daerah. Calon yang mengandalkan politik uang cenderung lebih fokus pada upaya pengembalian modal setelah terpilih, sehingga secara otomatis berdampak stagnansi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu media massa, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat agar dapat memilih dengan bijak dan menolak segala bentuk politik uang.

Hal ini akan membantu membangun budaya demokrasi yang lebih sehat dan berkualitas. Sementara itu, Kepolisian aparat penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang dan kampanye hitam harus ditingkatkan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan aparat penegak hukum harus lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemilukada serta menindak tegas segala bentuk pelanggaran.

Sanksi yang tegas dan konsisten akan memberikan efek jera bagi para pelaku politik uang dan pihak yang terlibat dalam kampanye hitam, sehingga praktik-praktik tersebut dapat diminimalisir.

Semoga pemilukada dapat berjalan dengan adil, jujur dan terbebas dari praktik-praktik tercela.

Exit mobile version