MAKASSAR, UJUNGJARI–Aktivis Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (DPN-GNPK) Pusat, mendesak Kepala BPOM RI untuk segera memberantas peredaran kosmetik ilegal di Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan.
“Di bawah komando Kepala BPOM RI yang baru, Taruna Ikran saya sangat yakin kalau pemberantasan kosmetik ilegal di Sulsel bisa segera dilakukan,” kata Wakil Ketua GNPK Pusat, Ramzah Thabraman.
Menurut Ramzah, peredaran kosmetik ilegal di Sulsel, masih terus berlangsung. Bahkan sudah terkesan legal di masyarakat. Padahal, banyak produk yang beredar tidak mengantongi izin resmi BPOM.
Kata Ramzah, hasil penelusuran GNPK, ditemukan sejumlah kosmetik ilegal yang tidak memiliki izin produksi serta izin edar diperjualbelikan di tengah masyarakat.
Kosmetik Itu diduga mengandung bahan berbahaya seperti Merkuri atau Rhodamin B. Kosmetik yang dalam bentuk krim pemutih wajah, ada yang dijual dalam bentuk paket bersama dengan sabun muka. Produk produk ini beredar luas di masyarakat dan dipasarkan via media sosial.
“Ada yang dijual perpaket. Satu paket itu dalam bentuk krim pemutih, ada krim untuk dipakai siang dan malam hari, plus sabun wajah. Harganya variasi ada yang Rp140 ribu setiap paketnya, belum termasuk ongkos kirim. Setelah diteliti secara seksama, tidak ada label BPOM serta izin edar di kemasan produk produk itu. Siapa produsen kosmetik itu dan siapa yang meraciknya serta diproduksi dimana?,” tanya Ramzah.
Bukan hanya itu, kata dia, ada juga suplemen pelangsing tubuh yang diperjualbelikan yang tidak diketahui legalitasnya.
“Para pelaku dapat dipidana Pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diubah dengan Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar,” tegas Ramzah.
Ramzah menguraikan, selain produsen, tenaga peracik yang digunakan dalam memproduksi barang barang itu harus dijerat pidana.
Kata dia, dalam PerMenKes Nomor 1175/Menkes/Per/VIII/2010 dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetika, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi. Izin produksi kosmetika atau kosmetik, diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang akan dibuat.
Adapun bentuk dan jenis yang dimaksud dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : Golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetika;
Golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana.
Produksi industri kosmetika Golongan A
Diberikan dengan persyaratan, memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;
memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat; memiliki fasilitas laboratorium; dan wajib menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB).
Produksi industri kosmetika Golongan B
Diberikan dengan persyaratan, harus
memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung jawab; memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan dibuat; dan mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
“Jadi bisa disimpulkan kalau produsen kosmetik ilegal ini, tidak memiliki izin produksi, tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggungjawab, fasilitas produksi serta menerapkan higiene sinitasi. Ini jelas pidana, kenapa mereka masih bebas menjual dan tidak ditindak, ” tanya Ramzah.
Informasi yang dihimpun, sedikitnya ada sembilan owner besar kosmetik yang beroperasi di Sulsel, belum termasuk mereka yang beroperasi di beberapa kabupaten seperti Gowa dan Kabupaten Takalar.
“Data para owner itu beserta produk produk yang mereka jual luas di masyarakat, sudah kami data. BPOM tahun 2022 lalu juga pernah merilis produk produk kosmetik ilegal. Namun sampai sekarang tidak ada tindakan hukum kepada mereka,” tandas Ramzah. (*)