MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Lahan Gran Eterno yang ditunjuk sebagai lokasi proyek Pengelolaan Sampah Energi Listrik (PSEL) di Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar masih dalam kisruh panjang. Karenanya, Pemkot Makassar diminta membatalkan seluruh proses kontrak.
“Yang ditunjuk ini lahan bermasalah (Gran Eterno). Artinya seluruh proses kontrak juga cacat secara administratif,” ujar Direktur Laksus Muhammad Ansar, Jumat (28/6/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Ansar, sebaiknya kontrak dibatalkan. Jika proses ini tetap dipaksakan, sama halnya telah menabrak norma hukum.
“Dan itu pasti akan berimplikasi hukum. Bukan saja investor, Pemkot Makassar dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) akan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Jadi sekali lagi saya ingatkan, kontrak harus segera dibatalkan,” tandas Ansar.
Ansar mengaku akan melaporkan kasus ini ke penegak hukum jika kontrak proyek PSEL tetap berlanjut. Ia juga menilai, ada proses yang dipaksakan dari awal.
Menurut Ansar, proses itu terjadi karena terindikasi adanya deal-deal di bawah tangan. Kata dia, di sinilah berpotensi terjadi pelanggaran kontrak.
Pemilik Lahan Layangkan Keberatan
Salah seorang pemilik lahan di Gran Eterno, Herman Budianto kembali mengambil langkah hukum taktis dalam rangka mengejar hak-haknya atas lahan yang sampai saat ini masih terabaikan.
Kali ini, Herman Budianto melayangkan keberatan administrasi kepada Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Kota Makassar atas terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan di atas lahan Gran Eterno.
Menurut dia, surat keberatan tersebut telah diterima secara resmi oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Makassar pada hari Jumat 20 Juni 2024, pekan lalu.
“Dalam surat keberatan itu, kami memohon kepada BPN Makassar untuk mencabut dan membatalkan berlakunya 24 Sertipikat HGB tersebut,” ujar Herman.
Menurut Herman, salah satu poin alasan keberatan itu dilayangkan ke BPN Makassar adalah tidak adanya akuntabilitas dan tidak transparannya seluruh proses sebagaimana yang dimaksud dalan AUPB. Padahal, kata Herman, pihak penyidik Polda Sulsel menyampaikan sudah melakukan blokir atas sertpikiat Gran Eterno tersebut.
“Pihak-pihak terkait sebaiknya duduk bersama dengan bersama kami dan menyelesaikan secara jujur dan benar tentang apa yang sebenarnya terjadi pada lahan Gran Eterno dan mengapa lahan tersebut begitu manis untuk dijadikan lokasi proyek pembangunan PSEL,” imbuh Herman.
Herman mengatakan, pihaknya khawatir bila polemik mengenai lahan Gran Eterno itu akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak hingga merugikan pihak-pihak terkait. Itu sebabnya, kata dia, masalah tersebut didiskusikan secara baik-baik oleh pihak proyek PSEL, pihak pemerintah, investor, dan semua pihak yang menerima dampak langsung atas keberadaan proyek yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Kota Makassar tersebut.
“Jangan sampai kelak proyek PSEL akan diangap hanya karena mengejar deadline sehingga melibas dan mengorbankan hak-hak warga khususnya pemilik lahan dan warga sekitar,” imbuh Herman.
Lebih jauh Herman menjelaskan, bahwa awalnya lahan Gran Eterni digunakan oleh PT Kijang Perdana sebagai show room sekaligus sebagai tempat produksi furniture. PT Kijang Perdana kemudian mendapatkan fasilitas kredit dari PT Bank Negara Indonesia (BNI), dengan menjaminkan aset pribadi dari Herman Budianto yaitu lahan Gran Eterno.
Menurut Herman, belakangan PT Kijang Perdana kemudian dinyatakan pailit. Tapi, kata dia, meski dibekali sertipikat hak tanggungan, akan tetapi ternyata lahan Gran Eterno belum pernah diserahterimakan sebagai aset PT Kijang Perana oleh pemiliknya termasuk Herman Budianto, sehingga menimbulkan kisruh sampai saat ini.
Herman Disarankan Laporkan BNI dan Kurator
Direktur Laksus Muhammad Ansar menyarankan pemilik lahan, Herman melakukan pelaporan dan pengaduan ke OJK terkait tindakan Bank BNI dan kurator yang tidak sesuai prosedur. Kedua, yang bersangkutan juga bisa melakukan gugatan perdata ke PTUN terkait pembatalan keputusan cessie BNI.
“Laporkan ke Kejaksaan tinggi sulsel terkait dugaan proses balik nama sertikat dari PT. MEGAH UTAMA ENERGI ke PT. KAWASAN HIJAU INDUSTRI yg melanggar hukum,” ucap Ansar.
Proses penyerahan cessie ke PT. Megah Utama Energi dilakukan pada 16 April 2004, pada saat yang sama di keluarkan roya dari Bank BNI, sorenya di lakukan AJB dari PT MUE ke PT. KHI melalui notaris Lieke Tunggal. Setelah itu, 17 April sudah terbit balik nama sertifikat ke atas nama PT KHI.
Atas proses yang terjadi ini, dipastikan terjadinya kesalahan prosedur dan pelanggaran hukum, yaitu kelalaian notaris atas AJB tersebut tanpa melengkapi dokumen RUPS dari PT. MEU atas penjualan aset ke PT. KHI, juga tanpa bukti pembayaran pajak transaksi PPN di karenakan AJB ini terjadi antara badan usaha dengan badan usaha, wajib ada PPN dan BA RUPS.
“Jadi dipastikan terjadi pelanggaran prosedur atas proses balik nama karena tanpa melalui pembayaran pajak daerah maupun PPH penjual yang mana hal ini wajib ditetapkan oleh Bapenda sebelum dilakukan balik nama di BPN,” jelasnya. (**)