Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Satupena Sulawesi Selatan)
DI Tallo, tak cuma ada Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, tapi juga jejak sejarah lainnya. Di kecamatan dengan luas wilayah 5,83 kilometer persegi ini, terdapat pula bekas-bekas benteng dan makam Raja Bone.
Luas Kecamatan Tallo sekira 3,32 persen dari total luas wilayah Kota Makassar yang mencapai 175,8 kilometer persegi. Jumlah penduduknya pada tahun 2024 tercatat sebanyak 127.648 jiwa.
Saya diajak Ferdhiyadi ke Tallo, Minggu, 12 Mei 2024. Ferdhi merupakan pengajar sejarah dan pegiat kebudayaan. Rasa-rasanya lama baru saya kembali ke sini. Terakhir saya ke Pantai Mangarabombang, biasa disingkat Marbo, beberapa tahun lalu, kapan tepatnya, saya lupa hehehe.
Ferdhi mengajak saya untuk melakukan pemetaan rencana kegiatan “Pertunjukan Seni Budaya Muara Sungai, Laut dan Tallo Bersejarah”.
Ketika meninjau lokasi, dia tengah dalam proses mengajukan Proposal Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2024 Balai Pelestarian Wilayah XIX. Alhamdulillah, propasalnya kemudian disetujui. Dia lolos sebagai salah satu penerima Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2024 angkatan ke-2.
Begitu memasuki wilayah Tallo, terdapat pintu gerbang dengan tulisan Selamat Datang di Kampung Bersejarah Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo. Meski ada beberapa hurufnya copot, tapi terbaca maksud tulisannya. Di pucuk pilar pintu gerbang sebelah kiri, terdapat tiang bendera, sementara di kanan ada logo Kota Makassar.
Ketika lewat di pintu gerbang itu, saya tidak menyadari kalau ada jejak peninggalan Raja Tallo VI, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka. Jejak itu ada di dalam bangunan sederhana, tepat di sisi kiri pintu gerbang. Di dalamnya ada semacam kuburan yang di atasnya ditaburi kembang warna-warni. Terdapat pula beberapa batang lilin warna merah yang masih menyala, pertanda ada prosesi saat kunjungan peziarah di tempat itu.
Pada papan informasi yang dibuat seadanya oleh Dinas Kebudayaan Kota Makassar, yang berada di situ, jejak sejarah itu merupakan Timungang Lompoa ri Tallo. Ini merupakan bekas pintu gerbang Istana Kerajaan Tallo, pada sekira Abad XVI.
Tertulis bahwa di sinilah jejak dan peninggalan Raja Tallo VI, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, saat berjumpa dan berjabat tangan dengan sosok lelaki bersorban hijau dan berjubah putih. Usai berjabat tangan, telapak tangan Sang Raja bertuliskan aksara yang ia tidak tahu artinya. Belakanga diketahui bahwa tulisan itu merupakan kalimat Syahadat.
Raja Tallo bergegas menemui Datuk ri Bandang, yang tengah berlabuh di Pantai Tallo. Beliau memperlihatkan tulisan di telapak tangannya tersebut. Itulah awal mula Raja Tallo VI memeluk agama Islam.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriyah atau 22 September 1605 Masehi. Momen ini juga dicatat sebagai munculnya kata “Akkasaraki” (Makkasaraki).
Di Kerajaan Gowa-Tallo, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam. Beliau kemudian bergelar Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awwalul Islam. Tahulah saya, nama Jalan Sultan Abdullah yang disematkan di ruas jalan itu diambil dari nama Raja Tallo VI.
Melewati pintu gerbang, saya lalu ke Jalan Sultan Abdullah II, untuk menuju ke Pantai Marbo. Di sini, saya bertemu dengan Ferdhi bersama istri dan anaknya. Kami sempat ngobrol sebentar, membincangkan kegiatan yang bisa dilakukan di sini.
Lokasi ini merupakan wilayah binaan teman-teman Ruang Abstrak Literasi. Terdapat ikon bertuliskan PANTAI MARBO dengan latar perahu-perahu nelayan dan lautan luas. Di ruang publik ini, ada pula tempat duduk dari beton, yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu.
Ferdhi dan teman-teman kerap menggelar lapak baca bagi anak-anak nelayan agar mereka punya akses pada buku-buku bacaan. Saya sempat hadir dalam salah satu kegiatan lapak buku.
Kami lalu berboncengan menapaki jalan beton sempit yang membelah kampung di situ. Motor kami berjalan pelan karena banyak anak-anak bermain sepeda. Ada pula yang bermain sepeda listrik.
Ferdhi menunjuk ke suatu gundukan tanah yang tertutup belukar dan bongkaran rumah. Sambil menyetir Honda Scoopy, saya menoleh ke arah yang dimaksud. Benar. Terlihat ada bekas-bekas susunan bata, yang oleh Ferdhi disebut benteng.
Di tempat berikutnya juga kami melihat bekas-bekas benteng yang memprihatinkan. Bentuknya hanya berupa susunan bata setinggi lebih satu meter. Bata-bata itu berlumut, dan nyaris akan menyatu dengan tanah.
Kami meneruskan perjalanan menuju bekas lokasi benteng berikutnya. Setelah motor di parkir di dekat pos ronda, saya bertanya pada seorang lelaki paruh baya di situ, tentang bangunan kecil berbentuk rumah. Namun, dia mengaku tidak tahu. Alasannya, dia baru datang dari Nunukan.
Di dalam rumah kecil beratap seng, dengan tiang dicat biru dan tembok semen itu terdapat kuburan. Ujung atap rumahnya mengikuti rumah tradisional Makassar, yang bersilang. Rumah itu diapit 2 tiang bendera, yang tampaknya sudah lama tidak diganti. Bendera Merah Putih yang berkibar, sore itu, terlihat kusam dan koyak pada ujungnya.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat bekas lokasi benteng tersebut. Menurut, informasi yang dia peroleh, tempat itu dikenal dengan nama Pa’banderang oleh masyarakat setempat. Namun, itu merupakan Petilasan Bastion Maccini Sombala.
Saya berjalan mengikuti bentuk lingkaran benteng itu dan iseng-iseng menghitung ketebalan dindingnya. Masya Allah, terdapat 12 bata disusun berlapis. Saya membayangkan, betapa kokohnya benteng itu di masanya.
Benteng Tallo yang kami kunjungi ini, berdasarkan “A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Bulbeck, 1992), dilengkapi dengan dua pintu utama, yang terletak di bagian timur dan selatan. Terdapat 9 bastion, 5 di antaranya masing-masing diberi nama, yakni Bastion Maccini Sombala, Bastion Balang Cidi, Bastion Mangarabombang, Bastion Gampangcaya, dan Bastion Bayoa.
Setelah menelusuri jejak Benteng Tallo, kami balik arah, menuju Kompleks Makam Raja Bone. Di salah satu sisi pintu gerbang, ada simbol songkok To Bone, biasa disebut pula songkok recca atau songkok guru.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat dua makam yang letaknya terpisah. Makam itu masing-masing merupakan makam La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung (Raja Bone XII), dan makam La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka (Raja Bone XXIII).
La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung, memerintah tahun 1616-1631. La Tenripale wafat di Tallo, tahun 1631, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Tallo. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya, La Maddaremmeng Opunna Pakokoe Arung Timurung, sebagai Raja Bone XIII.
La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka, Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin, memerintah sebagai Raja Bone XXIII, sejak tahun 1775 hingga 1812. La Tenri Tappu wafat di Rompegading pada tahun 1812, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Rompegading. Beliau kemudian digantikan anaknya La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka sebagai Raja Bone XXIV.
Semasa hidupnya, La Tenri Tappu salah satu tokoh penting aristokrat Bugis, yang turut menggerakkan tradisi penulisan, selain dikenal pula sebagai penganut Tarikat Khalwatiah. Salah satu karyanya yang terkenal Nurul al-Hadi atau dalam bahasa Bugis disebut Tajang Paatiroang. Beliau merupakan pengagum ajaran-ajaran Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiah.
Sebelumnya, La Tenripale Sultan Adam, Raja Bone XII, telah mendalami tasawuf Islam. Bahkan beliau dikenal sebagai penganjur Islam dan ajaran tasawuf pada masyarakat Makassar dan Bantaeng. Beliau memperdalam ilmu agama langsung dari ulama Melayu, yakni Datuk Ditiro dan Datuk Ribandang. Beliau berkali-kali mengunjungi Gowa untuk urusan memperdalam agama Islam, yang kala itu pengajiannya berpusat di Kalukubodoa.
Tulisan Muhlis Hadrawi dan Ramlah Hakim berjudul “Peranan Ulama dan Aristokrat dalam Tradisi Tulis dan Produksi Teks Akkalabineang dan Teks Khalwatiah di Sulawesi Selatan” (Jurnal Al-Qalam, Volume 22 Nomor 1 Juni 2016) membantu saya memahami, mengapa makam kedua Raja Bone itu berada di Tallo.
Selama ini, gambaran tentang makam kalangan bangsawan di wilayah utara Kota Makassar –di benak saya– hanya terkait dengan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Luas areal makam pada bagian dalam pagar, yakni 7.535,7 meter persegi. Di komplek makam ini, terdapat 96 makam, terdiri dari 5 makam berukuran besar, 55 makam berukuran sedang, dan 36 makam berukuran kecil.
Makam-makam di sini mewakili bentuk-bentuk makam pada Abad XVII hingga Abad XVIII. Berdasarkan bentuknya, makam di sini memiliki beberapa tipe, antara lain tipe Kubang (susun-timbun). Yakni, tipe makam yang terbuat dari susunan balok batu berbentuk persegi, berundak 3 dan 4.
Sore itu, saya bertemu Aco, lelaki kelahiran 1974, yang mengaku membantu bapaknya membersihkan kompleks makam. Bapaknya, Daeng Samadong, juga biasa membaca doa kalau ada yang datang untuk ziarah kubur. Makam yang paling sering diziarahi, kata Aco, adalah makam Sultan Mudafar (Imanginyarrang Daeng Makkio), yang merupakan Raja Tallo VII, memerintah pada tahun 1598-1640.
Dalam Komplek Makam Raja-Raja Tallo ini terdapat dua baruga, yang tampak tidak terawat baik. Anak-anak dan remaja memanfaatkan halamannya yang luas untuk tempat bermain layang-layang.
Sebelum meninggalkan kompleks makam, saya menuju papan informasi yang mencantumkan nama-nama raja dan kerabatnya yang dimakamkan di sini. Nama-nama itu juga bisa ditelusuri di platform digital.
Namun bukan itu yang membuat saya tergelitik. Pikiran saya terus terbawa pada sisa-sisa Benteng Tallo yang kini hanya tinggal nama. Saya khawatir, jangan sampai sejarah di sini telah terkubur oleh waktu, dan kemudian terlupakan secara mengenaskan. Semoga tidak. (*)