PINRANG, UJUNGJARI.COM — DPRD Kabupaten Pinrang menggelar rapat dengar pendapat (RDP) membahas aspirasi masyarakat Desa Babana, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang yang menolak adanya tambang pasir di kampung mereka.

Karena dikhawatirkan aktifitas tambang tersebut bisa memperparah dambak abrasi yang selama ini merusak pemukiman mereka bahkan tambak maupun kebun warga sudah ratusan hektar yang beralih fungsi menjadi sungai akibat abrasi Sungai Saddang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

RDP tersebut dipimpin Ketua Komisi II DPRD Pinrang, A. Pallawagau Kerrang, SE didampingi Ketua Komisi I, Ilwan Sugianto, SH.,MM serta beberapa Anggota Komisi I dan Komisi II.

Turut hadiri, Kadis DPM PTSP A. Mirani, Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Kecamatan Duampanua, Kades Babana, DPD Babana, Kepala Dusun Babana, tokoh masyarakat, LSM dan puluhan warga Babana. Bertempat di ruang rapat paripurna DPRD Pinrang, Senin, 27 Mei 2024.

Salah seorang warga Babana, Muhtar mengungapkan, sejak dulu kami warga Babana menolak adanya tambang pasir di desa kami, karena para petambang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan warga setempat. Padahal warga di sana sudah sangat menderita akibat abrasi.

“Sudah ratusan hektar tambak warga yang beralih fungsi menjadi sungai akibat abrasi, lain lagi kebun dan lahan pertanian yang juga sudah ratusan hektar amblas akibat abrasi, namun tidak ada yang peduli. Mereka hanya datang untuk meraup keuntungan dari pasir di kampung kami tanpa memikirkan nasib warga setempat yang sudah menderita,” ungkap Muhtar.

Hal yang sama diungkapkan salah seorang tokoh pemuda Babana Pandi, menurutnya, aksi penolakan terhadap aktifitas tambang di Desa Babana sudah dilakukan warga sejak tahun 2017 silam. “di depan kantor bupati saat itu kami berunjuk rasa menolak tambang. Saat itu yang jadi bupati adalah Andi Aslam Patonangi dan setuju bahwa tidak ada penambangan pasir di Desa Babana. Bupati berikutnya, Andi Irwan Hamid yang terjun langsung ke Babana juga menyampaikan penolakannya terhadap aktifitas tambang di Babana setelah melihat kondisi yang ada,” ujar Pandi.

Lanjut Pandi, ada 108 DAS di seluruh Indonesia, 15 DAS yang menjadi prioritas Kementerian itu harus dipulihkan, salah satunya adalah Salipolo/Babana. Jadi Babana memang bukan lokasi tambang akan telah ditetapkan dalam RPJMN Tahun 2022 sebagai lokasi tangkapan masyarakat, bukan lokasi tambang. Babana juga masuk dalam kawasan konservasi, artinya kawasan tersebut harus dipulihkan, bukan ditambang.

Herly Lukman, Anggota DPRD Pinrang dari Fraksi PDIP ikut menyuarakan aspirasi masyarakat, menurutnya kalau tambang di sana tidak ada ijinnya kenapa mesti dilanjutkan operasinya.

“sebagai warga masyarakat Pinrang, apa yang bisa kita dapat di situ, hanya kerusakan, tidak ada hasilnya buat masyarakat. Jalan rusak parah, terjadi abrasi dimana-mana, rumah warga tergerus sungai, tambak dan lahan pertanian warga hancur jadi sungai, yang enak para petampang,” tegas Herly Lukman.

Sementara itu, menurut Kades Babana Mohammad Tayyeb, sejak dirinya menjabat kepala desa sejak tahun 2002 lalu, setiap ada surat yang masuk di desa mengenai masalah tambang pasir, warga pasti rebut. “ sejak menjadi kepala desa sampai sekarang, saya tidak pernah menandatangani perijinan tambang di Desa Babana,” tegas Tayyeb.

Sedangkan menurut Kadis DPM PTSP (perizinan) Pinrang Andi Mirani, mekanisme pertambangan, tidak langsung adanya ijin langsung mereka bisa menambang, tidak boleh.

Perijinan itu ada alurnya, ada mekanismenya. Ijin itu sebenarnya tidak salah, yang penting sesuai dengan prosedur dan menguntungkan warga setempat, petambang dan tidak merusak lingkungan.

“Jadi, tidak ada yang harus dirugikan, semuanya harus punya keuntungan, lingkungan juga harus terjaga. Pengusahanya untung, warga tidak dirugikan dan lingkungan tetap terjaga, harusnya begitu,” pungkasnya.

Menanggapi keluhan warga Babana, Ketua Komisi II, Andi Pallawagau Kerrang menjelaskan, dirinya sudah pernah ke Babana, dampak abrasi memang sangat luar biasa.

“Sehingga bisa dipahami kalau warga di sana menolak adanya tambang, karena mereka trauma dengan dampak abrasi tersebut yang menghanyutkan rumah mereka, melenyapkan tambak dan lahan pertanian warga, bahkan orang pernah ‘baku parang’ gara-gara tambang ini. Jadi, sekarang yang perlu dilakukan secepatnya adalah bagaimana supaya bisa mendapatkan anggaran untuk mengantisipasi abrasi ini tidak semakin meluas. Kalau perlu kita ramai-ramai ke kantor Balai Besar Jeneberan dan Kantor DPRD Provinsi di Makassar untuk meminta anggaran penanggulangan abrasi ini,” terang legislator Partai PKB tersebut.

Dalam RDP ini juga ditandatangani kesepakatan penolakan warga terhadap aktifitas tambang pasir di Desa Babana. Hasil kesepakatan ini nantinya akan dikirim ke instansi terkait di tingkat provinsi Sulawesi Selatan. (Rilis)