MAKASSAR, UJUNGJARI.COM —
Perhelatan Pesta Demokrasi, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden segera digelar 14 Februari 2024 mendatang.
Berbagai strategi dilakukan para calon legislatif maupun calon presiden untuk memenangkan pertarungan politik tersebut.
Momen kampanye dipergunakan para kontestan untuk merebut hati masyarakat.
Namun sayang, tidak semua strategi yang diterapkan para calon sesuai dengan aturan main yang telah ditentukan penyelenggara pemilu.
Ada yang melenceng dan melegalkan berbagai cara. Seperti money politik, menyebarkan informasi hoax yang menjelek-jelekkan calon lain, dan masih banyak lagi.
Seperti halnya kasus korupsi, politik uang (money politic) menjadi salah satu hal yang sulit diberantas.
Hal itu diakui oleh pihak penyelenggara pemilu secara langsung.
Ketua KPU Sulsel, Hasbullah menyebut bahwa hasil koordinasinya dengan Bawaslu selama ini dalam mengatasi fenomena politik uang adalah sulitnya dalam mencari keterangan saksi untuk memenuhi syarat formil.
Karena itu baru bisa diproses jika ada keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Teman-teman Bawaslu juga saat kita menyampaikannya, ada beberapa isu besar media ini. Bawaslu cari siapa yang mau bersaksi mengenai keterangan ini, karena formilnya harus terpenuhi,” kata Hasbullah, dalam Talkshow Pemilu, Selasa, (6/2/2024).
Sementara itu kata dia, ada waktu yang membatasi dalam memproses. Meski demikian, dia menyebut sudah ada kasus yang telah diproses seperti di Luwu dan Bulukumba.
“Waktu juga terbatas, 12 hari. Sampai jam 12 malam teman-teman cari data apa semua tidak ada yang berani. Namun ada yang sudah diproses seperti Luwu, Bulukumba dan Gowa,” tandas Hasbullah.
Senada dengan itu, Komisioner KPU Sulsel Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih
Hasruddin Husain menyampaikan, dalam merespon dugaan politik uang, harus ada yang memasukkan laporan. Sementara jarang sekali ada yang memasukkan laporan.
Larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Tidak ada yang melapor politik uang. Fungsi pengawasan masyarakat dimana sementara video banyak. Tidak mungkin secara aktif dari Gakkumdu pergi ke Bawaslu, proses. Kan tidak ada. Politik uang jelas itu di Pasal 523 ayat 1,2,3,” tuturnya.
“Jelas sekali, tentang pidananya, siapa yang melakukan, prosesnya, kemudian berapa lama hukumnya. Instrumen hukumnya ada. Nda mungkin KPU melaporkan, KPU adalah pelaksana sentra kegiatan,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Pengamat Politik, Hasrullah menyebut, kejahatan tercipta karena memang ada kesempatan untuk melakukan itu.
“Jadi kalau bicara tentang money politik, bukan saja pemberiannya tapi juga persoalannya sekarang pemilih kita di Indonesia itu ada yang rasional, ada yang pragmatis. Ini harus dipahami dulu,” jelas Dosen Unhas ini.
Menurutnya, orang yang punya pendidikan yang bagus, kematangan emosional, kematangan berpikir, tidak akan mau terima itu. Karena dianggap itu adalah suap.
Lebih lanjut dia mengungkapkan data pemilih pragmatis tercatat 60 persen. Tidak bisa membedakan sumbangan dengan politik uang.
“Data yang kami punya, pemilih pragmatis itu 60 persen. Dia nda bisa bedakan mana sumbangan, mana money politik. Kalau dia nilai itu sumbangan dia terima, tapi itu adalah pelanggaran,” ujarnya.
Dia menekankan pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat agar tak mudah dalam menerima uang atau pemberian dalam bentuk lainnya.
“Jadi yang penting itu bagaimana pendidikan politik ini. Apalagi kelompok tamatan SD SMP adalah kelompok yang pragmatis itu,” tandasnya. (rhm)