GOWA, UJUNGJARI.COM — Pasca tingginya kebutuhan daging ayam broiler serta telur ayam ras di Natal dan malam pergantian tahun 2023 lalu, ternyata berbuntut pada awal 2024 ini. Kondisinya dirasakan signifikan oleh para peternak ayam, baik peternak ayam petelur maupun ayam pedaging (broiler).

Pasalnya, meski saat ini produksi ayam broiler relatif stabil namun sedikit ada kekurangan stok khususnya pada ayam pedaging yang kondisinya besar atau berat 2 Kg ke atas. Hal ini terjadi karena banyak kandang pada satu sampai dua bulan yang lalu (2023) tidak terisi karena doc dari pabrikan atau penetasan berkurang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Disamping itu di saat yang bersamaan beberapa peternak ayam pedaging menunda jadwal pemasukan ayam (pemeliharaan) karena adanya pemadaman listrik bergiliran.

Hal ini dibenarkan Kadis Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Gowa Suhriati. Saat dikonfirmasi BKM terkait hal ini, Rabu (10/1) siang, Suhriati mengatakan, perlu diketahui saat ini sebagian besar peternak ayam broiler sudah menggunakan kandang tertutup, sehingga pemeliharaan ayamnya sangat tergantung pada listrik.

“Hal ini tentu berimbas pada kurangnya suplai ayam saat ini yang mengakibatkan harga sedikit mengalami kenaikan. Ini berbeda dengan yang dialami oleh produsen telur. Memang saat ini, peternak mengalami saat-saat sulit bahkan tidak sedikit yang menjual dini ayamnya karena tingginya harga pakan sementara harga telur cenderung turun, ” kata Suhriati.

Dikatakan Suhriati, bagi peternak yang tidak sanggup membeli pakan secara tunai maka jalan yang paling rasional dilakukan peternak adalah mengurangi jumlah ayam dengan menjualnya lebih cepat (sebelum afkir).

“Itu dilakukan agar biaya produksi dapat ditekan untuk sekadar bertahan hidup. Mengapa demikian? Karena harga pakan ayam yang tinggi dimana saat ini dipicu oleh kenaikan harga jagung yang sangat luar biasa dirasakan peternak. Jika biasanya harga jagung giling bisa dibeli sekira Rp 5.000-an per Kg maka sekarang harganya melonjak menjadi Rp 8.000 per Kg. Tentu hal ini membebani harga pokok produksi yang makin tinggi sementara harga telur turun. Dan turunnya harga telur sebagai akibat dari permintaan uang cash dari pabrikan pakan untuk menebus harga pakan (diskon), ” kata Suhriati.

Diakuinya, wajarlah jika peternak memburu harga pakan yang lebih murah dari pabrikan dengan volume banyak tapi dengan harga CBD (Cash Before Delevery).

“Perilaku peternak menjual telur dibawah harga pasar pun dilakukan asal mendapatkan uang cash untuk menembus pakannya. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh para pedagang telur dengan terus meminta penurunan harga dengan imbalan membeli dengan harga cash. Inilah kondisi yang dialami oleh para peternak ayam petelur ditengah-tengah harga pakan yang tinggi dan harga jual telur yang rendah, ” jelas Kadis Peternakan dan Perkebunan Gowa ini.

Sementara pantauan harga ayam pedaging di pasar-pasar tradisional di Gowa salah satunya di Pasar Sentral Balang-balang, harga perekor dijual senilai Rp 65.000 per ekor untuk ukuran sedang.

“Pantas saja kalau belika ayam di pasar harganya 65.000 se ekor biasanya ada yang 45.000 sampai 50.000 per ekor bahkan ada yang 100.000 tiga ekor. Trus kalau telurnya ada yang 38.000 sampai 45.000 per rak,” kata Daeng Taugi, warga Bontomarannu, Rabu (10/9) pagi saat berada di Pasar Sentral Balang-balang. –