JAKARTA,UJUNGJARI.COM—Idealnya, seorang calon wakil presiden tidak hanya muncul dengan kekuatan elektabilitas guna mendukung keterpilihan capresnya. Sesuai kebutuhan konstitusi, cawapres pun seharusnya datang dengan derajat konstitusionalnya yang bukan sekadar ‘ban serep’. Apalagi bila elektabilitas dan segenap kekuatan lain telah terkumpul mendukung kekuatan capresnya untuk bisa terpilih.
Hal tersebut dikemukakan pengajar ilmu politik Program Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS), Syafrizal Rambe, saat ditanya tentang kubu Prabowo dan Ganjar yang terkesan lamban menentukan calon wakil presiden masing-masing.
Khusus tentang Prabowo, menurut Syafrizal, yang dibutuhkan PS dari pendampingnya adalah seorang teknokrat berpengalaman.
Syafrizal menegaskan, dengan kian kompleksnya tugas konstitusional negara ke depan, prinsip meritokrasi menjadi hukum besi yang makin niscaya dalam urusan memilih sosok cawapres.
“Yang diperlukan Prabowo, dengan kekuatan Golkar dan jaringan SBY yang telah merapat dan mendeklarasikan dukungan, sejatinya adalah seorang teknokratis, intelektual, dan cendekiawan yang menguasai aspek ketatanegaraan serta kepemerintahan,” kata Syafrizal.
Merujuk UUD 1945 sekaligus melihat diabaikannya fungsi wakil presiden dalam lima tahun terakhir, doktor ilmu politik yang pernah bertugas dua tahun di Ukraina itu menegaskan, meski Konstitusi menyatakan tugas wapres adalah membantu presiden, tugas dan wewenangnya jauh lebih kompleks dibanding seorang menteri yang juga seorang pembantu presiden.
Untuk itulah, perlu dicari figur yang secara meritokrasi jelas mumpuni, mengerti segala hal yang bersangkutan dengan teknis penyelengaraan negara, seorang intelektual, sekaligus idealnya mewakili komunitas besar tertentu.
Tanpa ragu Syafrizal menunjuk Prof Yusril Ihza Mahendra memenuhi semua kriteria tersebut. Tidak hanya seorang teknokrat yang berpengalaman mendampingi setidaknya lima presiden, sejak Presiden Soeharto hingga SBY, Yusril juga piawai menata negara, membangun sistem kuat, dan menata birokrasi yang saat ini cenderung harus mengalami perbaikan serius. Lebih-lebih lagi, sosok Yusril juga punya serenceng kelebihan, yakni ia mewakili dan mampu menjadi ikon wakil Sumatera dan kalangan Muslim modernis.
“Jadi, kalau tidak mau kita terjebak seolah meniadakan peran luar Jawa dalam pendirian dan Pembangunan negeri ini, Prof Yusril adalah figur yang paling kuat mewakili kekosongan representasi itu,” kata Syafrizal.
Ia sendiri cenderung melihat bahwa saat ini seolah ada penguatan dalam wacana ‘Jawa Sentris’, yang menurutnya sebenarnya merupakan hal sensitif dalam pembangunan nasionalisme bangsa.
Keyakinan Syafrizal itu dikuatkan pengamat politik dari Lembaga Riset Publik (LRP. Menurutnya, dari internal parpol pengusung, Prof Yusril adalah figur paling mumpuni untuk membantu Prabowo pada tugas-tugas presidensinya.
“Ketua Umum PBB yang selama ini senantiasa mendukung Prabowo, yakni Prof Yusril Ihza Mahendra adalah figur paling tepat. Yusril adalah seorang negarawan, intelektual, dan politisi yang pernah tiga kali menjabat menteri strategis di bawah tiga presiden yang berbeda. Yusril juga punya segudang pengalaman di dunia internasional,” kata Al-Fatih.
Ia menunjuk peran Yusril ikut menyusun berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, memimpin delegasi Indonesia ke berbagai pertemuan internasional, serta pernah menjadi Presiden Asia-Africa Legal Consultative Organization yang berkedudukan di New Delhi.
Yusril juga sosok politisi Islam moderat yang diterima oleh semua golongan. Ia menunjuk pernyataan almarhum Gus Dur yang pernah mengatakan bahwa kakek Yusril ialah ulama NU kultural, meski ayah Yusril seorang Masyumi. Karena itu, Yusril akrab dengan amalan-amalan keagamaan yang dipraktikkan kalangan NU.
Tidak heran Yusril akrab dengan keluarga Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, mulai dari Pak Ud, Gus Dur, dan Gus Solah. (rl)