Site icon Ujung Jari

Tiga Karyawan PT CLM Diadili, Ahli Hukum Nilai Dakwaan Jaksa Keliru

LUWU TIMUR, UJUNGJARI–Tiga orang karyawan PT Citra Lampia Mandiri (CLM) saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Malili, Luwu Timur. Ketiganya adalah Ajat Sudrajat, Bachtiar Febriardhi, dan Achmad Sobari. Mereka dilaporkan oleh pihak yang mengaku sebagai direktur baru PT CLM.

Dalma persidangan, jaksa penuntut umum mendakwa ketiga terdakwa dengan dugaan mencuri dan menggelapkan barang milik PT CLM secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 subsider Pasal 362 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atas hilangnya 20 unit laptop, tablet, dan dokumen PT. CLM. Jaksa juga menyebutkan kerugian atas perbuatan terdakwa senilai Rp 1,098 triliun.

Untuk menilai adanya unsur-unsur pasal dalam dakwaan tersebut apakah telah tepat diterapkan terhadap perbuatan para terdakwa yang sejatinya hanya mempertahankan hak atas pekerjaan yang telah dipercayakan kepada mereka, tim penasihat hukum terdakwa menghadirkan ahli hukum pidana dalam persidangan. Ahli yang memberi keterangan di muka persidangan adalah DR Ahmad Sofian, SH, MA.

Dalam keterangannya di depan majelis hakim, Ahmad mengatakan, kantor bukanlah rumah rumah tempat kediaman sebagaimana dimaksud Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP. Menurut ahli, sesungguhnya ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP merupakan pencurian dengan pemberatan.

“Kalau perbuatan itu dilakukan dalam rumah kediaman atau pekarangan tertutup yang terdapat rumah kediaman, maka kondisi itulah yang termasuk keadaan pemberat. Dalam perkembangan bisa juga ditafsirkan rumah kediaman itu selayaknya sebuah hotel, vila, cottage, tetapi tidak dengan kantor,” ujar Ahmad.

Dia mengatakan, rumah kediaman dalam KUHP memiliki makna secara gramatikal, yaitu tempat kediaman seseorang atau tempat tinggal seseorang, bukan tempat bekerja seseorang. Maka, dari penafsiran ahli, pencurian yang dilakukan di kantor adalah pencurian biasa yang diancam dengan Pasal 362 KUHP.

Selanjutnya, ahli menyatakan dakwaan penggelapan dan Pasal 372 KUHP tidak tepat dikenakan terdakwa karena terdapat lex specialis dalam pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam hubungan kerja.

“Teori tempus delicti untuk melihat apakah perbuatan itu dilakukan terdakwa dalam masa hubungan kerja atau tidak,” ujar Ahmad.

Ahli mencontohkan dugaan tindak pidana penggelapan terhadap aset-aset perusahaan, semisal di tanggal 1 Januari 2022 adalah saat pelaku masih memiliki hubungan kerja, lalu di tanggal 1 Februari 2022, pelaku dipecat. Dalam kasus demikian seharusnya menggunakan Pasal 374 KUHP karena perbuatan itu dilakukan ketika pelaku memiliki hubungan kerja.

Sedangkan, Pasal 372 KUHP adalah genus Pasal 374 KUHP. Ahli mengatakan, penuntut umum harus bisa membuktikan genus itu. Sementara itu, Pasal 374 KUHP mempunyai circumstances dari si pelaku yaitu suatu hubungan kerja.

“Maka, hubungan kerja itu harus dibuktikan juga sehingga pembuktiannya ditambah, yaitu membuktikan adanya penggelapan seperti dalam Pasal 372 KUHP dan membuktikan bahwa aktornya memiliki hubungan kerja karena ada lex spesialisnya,” jelas Ahmad.

Ahmad juga menyoroti tentang konsekuensi pencantuman nilai kerugian dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Menurut dia, dalam konteks tindak pidana pencurian dan penggelapan yang merupakan delik-delik formil, cukup apabila dibuktikan barang dan identitas dari barang itu sendiri, sebab hal ini merupakan kejahatan terhadap harta benda.

Jadi, sambung Ahmad, barang itu harus jelas identitasnya sebagai barang. Jika dalam dakwaan disebut nilai kerugiannya, maka konsekuensinya harus ada pembuktian mengenai nilai kerugian tersebut.
“Misalnya, tiap-tiap barangnya itu disebutkan dalam dakwaan, kemudian total nilai kerugiannya 1 milyar, maka 1 milyar itu tentu harus dibuktikan. Akan tetapi, kalau hanya menyebutkan barangnya saja, berarti barang-barangnya itu harus dibuktikan keberadaannya,” beber Ahmad.

Selain itu, Ahmad juga menyinggung tentang adanya prejudicieel geschil. Menurut ahli, prejudicial geschil diatur dalam Pasal 81 KUHP. Istilah tersebut mengandung arti bahwa ketika perkara pidana yang sedang disidangkan mengandung satu elemen atau terdapat sengketa keperdataan.

“Misalnya, dalam suatu perbuatan pencurian yang objeknya adalah barang milik orang lain, ternyata si pelaku menyatakan barang itu milik dia, maka untuk membuktikan bahwa barang itu milik dia atau milik orang lain, perkara dibawa ke pengadilan perdata. Setelah itu, ternyata benar itu adalah barang milik dia, bukan barang milik orang lain, ditambah dia punya bukti otentik, sehingga dengan demikian Pasal 362 KUHP tidak terpenuhi. Akibat salah satu unsur pasal tidak terpenuhi, maka dia dibebaskan,” terang Ahmad.

Kemudian, lanjut dia, apabila ada dualisme kepemimpinan, yaitu A merupakan karyawan yang terikat dengan PT X yang Direkturnya adalah B, lalu muncul E yang menyebut dirinya sebagai direktur baru pada PT X dan timbul permasalahan yang menyangkut tentang barang-barang perusahaan yang masih dikuasai A, maka apakah objek berupa barang itu milik PT X dengan Direktur E atau PT X dengan Direktur B harus diselesaikan dulu sengketa soal siapa yang berkompeten dalam memimpin perusahaan. Bagaimanapun juga perlu kepastian tentang siapa pimpinan perusahaan yang sesungguhnya karena berpengaruh terhadap aset yang dikuasai oleh A.

“Jikalau diputuskan bahwa direktur yang sah menurut perundang-undangan adalah E, maka tentu ada konsekuensi untuk mengembalikan aset tersebut dan resikonya tentu ada kemungkinan seperti penggelapan. Akan tetapi, apabila diputus oleh pengadilan kalau Direktur yang sah adalah B, maka aset yang dikuasai oleh A itu adalah aset-aset yang legal sehingga tidak terikat dengan prasangka tindak pidana penggelapan dan/atau pencurian,” kata Ahmad.

Penasihat hukum ketiga terdakwa, M. Pilipus Tarigan, SH, MH menyatakan atas keterangan dan penjelasan saksi ahli tersebut, perkara ini kian menemui titik terang.

“Kami berharap, keterangan ahli tersebut akan menimbulkan keyakinan dan menjadi bahan pertimbangan putusan bagi majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum,” ujar Pilipus. (*)

Exit mobile version