ikut bergabung

BREAKING NEWS: Kejati Geledah Kantor Balai SDA Pompengan dan BPN Wajo


Hukum

BREAKING NEWS: Kejati Geledah Kantor Balai SDA Pompengan dan BPN Wajo

MAKASSAR, UJUNGJARI-Tim penyidik Pidana Khusus  (Pidsus) Kejaksaan Tinggi  Sulawesi Selatan melakukan penggeledahan di dua kantor pemerintah pada waktu bersamaan, Rabu (2/8/2023).

Dua kantor yang digeledah itu adalah kantor Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ) di Baddoka, Kecamatan Biringkanaya dan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Wajo di Jalan Pahlawan, Kota Sengkang.

Penggeledah ini terkait penyidikan kasus korupsi  pembebasan lahan bendungan Passeloreng, Wajo yang tengah diusut kejaksaan. Dalam penggeledah itu, tim jaksa mensasar serta dikabarkan menyita semua dokumen proyek serta dokumen pembebasan lahan bendungan Passeloreng Tahun 2015 lalu.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi SH, MH yang dikonfirmasi, Rabu siang belum bersedia memberikan keterangan rinci terkait penggeledahan itu. Namun, dia sama sekali tidak menampik kalau tim Pidsus Kejati Sulsel tengah bekerja cepat untuk segera menuntaskan penyidikan kasus yang ditaksir merugikan keuangan negara Rp75 miliar tersebut.

Terpisah, Kepala Seksi Intelijen Kejari Sengkang Kabupaten Wajo, Mirdad yang dihubungi sejumlah wartawan  di sela sela proses penggeledahan mengakui ini adalah bagian proses penanganan yang dilakukan Kejati. Kata dia, penggeledahan untuk mencari sejumlah dokumen atau bukti bukti terkait hal tersebut di atas.

“Penggeledahan ini dilakukan langsung oleh pihak tim penyidik dari Kejati Sulsel dalam hal ini dipimpin oleh langsung oleh Kasi Penyidikan Kejati Sulsel Hari Surahman bersama sejumlah tim dari Kejati Sulsel. Dan ini sudah sesuai dengan SOP ijin dan instruksi pimpinan Kejati Sulsel dengan ijin Pengadilan Tipikor Sulsel,” jelasnya.

Baca Juga :   Direktur Utama PT CLM Jalani Pemeriksaan Lanjutan, Berikut Klarifikasi Tim Kuasa Hukum

Diketahui, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyebut ada dugaan korupsi pada proses pembebasan lahan. Meski belum menetapkan tersangka, penyidik menduga ada keterlibatan secara kolektif dari pihak pihak yang mengatur proses pembebasan lahan dan pembayaran.

“Akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana,” ujar Kepala Kejati Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

Leonard menjelaskan Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) di tahun 2015 melaksanakan pembangunan Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng. Proyek itu membutuhkan lahan yang masih masuk dalam kawasan hutan produksi tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo.

Belakangan, dilakukanlah perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel termasuk untuk kepentingan pembangunan Bendungan Panselloreng. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian kemudian terbit pada 28 Mei 2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan.

“Kawasan hutan seluas 91.337 hektare lebih, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 hektare lebih dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 hektar lebih di Provinsi Sulawesi Selatan,” jelasnya.

Namun setelah SK itu keluar, terdapat oknum yang diduga memerintahkan beberapa honorer di BPN Wajo untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021. Sporadik tersebut kemudian diserahkan kepada masyarakat Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani.

Baca Juga :   Jaksa Hentikan Kasus Dana Reses DPRD Barru

“Sehingga dengan sporadik tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan,” tuturnya.

BBWS Pompengan Jeneberang kemudian meminta Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seluas 70,958 hektare lebih yang diketahui bukan tanah milik negara. Atas perbuatan oknum tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 75,6 miliar.

“Sehingga berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 75.638.790.623,” ungkapnya. (*)

dibaca : 243



Komentar Anda

Berita lainnya Hukum

Populer Minggu ini

Arsip

To Top