BARRU, UJUNGJARI.COM–Teater Kita Makassar berkolaborasi dengan Program Studi Sendratasik Jurusan Seni Pertunjukan FSD Universitas Negeri Makassar dan Komunitas Seni Budaya dari Kabupaten Barru mempersembahkan pertunjukan kolaborasi sastra drama, puisi, teater, tari, musik dan video art “Marege’s Heart to Berru” di Festival Budaya to Berru XII di Anjungan Pantai Simpang, Barru, Minggu (28/5) malam ini.
Pertunjukan teater yang disutradarai dosen FSD UNM, Dr Asia Ramli Prapanca itu merupakan pengembangan dari “The Eyes of Marege” yang pernah dipentaskan sebelumnya.
Karya kolaborasi ini diangkat dari hasil penelitian hubungan sejarah, perdagangan, budaya dan persaudaraan suku Bugis-Makassar dan suku Aborigin (Marege).
Marege adalah nama yang diberikan oleh orang Bugis-Makassar bagi wilayah pesisir Arnhem Land dan Teluk Carpentaria, Northern Territory, Australia.
Nama ini diberikan terkait dengan hubungan dagang dan budaya suku Bugis-Makassar dengan penduduk setempat (suku aborigin Yolngu) yang telah terjadi paling tidak sejak abad ke-16.
Tim produksi/artistic pertunjukan, antara lain: Andi Hendra, S.Pd. (Pimpinan Produksi), Andi Taslim Saputera, S.Pd., Ma.Sn. (Asisten sutradara dan Stage Manager), Dr. Arifin Manggau, S.Pd. (Composer), Ahmad (Asisten composer), Faisal Yunus, S.Pd., M.Pd. (Artistik), Badaruddin Amir (Publikasi), Cua (Lighting), dan Rezky (Video Art).
Selain itu juga Adel (Video Art), Aldy (Dokumentasi). Pemusik: Ahmad, Bram, Arya, Alif, Cibot, Kiki. Aktor: Arga (Birramen), Indra Wijaya (Ahmad), Arham (Nud), Indra Kirana (Djandapurra), dan Egis (Kasim).
Tim kru lainnya adalah Aini (Dhalawal), Salsa (Marege/Kanguru), Mirsa (Marege/Kanguru dan gadis belanda), Nur Amalia (Fatima), Muh. Khairul, Suhal Faraby, Nur Aziza D.Tantja, Nurul Nasywa, Amirah Rusli (Bugis/Marege. Dari Barru), Raihanah Ummul.
Drama sastra dengan latar tahun 1905 ini mengambil setting wilayah pesisir Bugis-Makassar dan wilayah pesisir Arnhem Land, Yirrkala Northern Territory bagian utara Australia. Drama ini terdiri dari dua babak dan masing-masing babak terdiri enam adegan.
Tahap awal yang merupakan pengenalan atau eksposisi, menggambarkan para pelaut/nelayan Bugis-Makassar berlayar dengan perahu Padewakang ke Marege untuk mencari tripang.
Setiba di Marege, mereka dijemput oleh orang-orang Marege dengan penuh persaudaraan. Kedatangan orang-orang Bugis-Makassar sebagai pelaut/nelayan dan pedagang ke wilayah pesisir Arnhem Land dan Teluk Carpentaria, Yirrkala Northern Territory bagian utara Australia sudah berlangsung ratusan tahun dan telah melahirkan rasa persaudaraan dan bahkan ikatan perkawinan di antara orang Bugis-Makassar dengan orang Marege.
Tahap komplikasi yang merupakan penggawatan atau perumitan, dilukiskan ketika ketika Birramen (orang Marege) membunuh Kasim (nelayan Makassar). Pasalnya, tas “keramat” milik Birramen hilang dan ditemukan oleh Kasim di pantai dan telah membentuknya menjadi keranjang perangkap ikan.
Bagi Birramen, tas itu bukan tas biasa melainkan tas upacara inisiasinya yang penuh roh dan impiannya. Oleh karena itu, Birramen mengambil paksa tas itu dari tangan Kasim. Diperlakukan begitu,
Kasim menganggap Birramen seorang perampas yang melanggar hukum Allah. Kasim menyerang Birramen dengan badiknya.
Birramen pun mengeluarkan tombaknya sehingga terjadi pertarungan sengit. Kasim tertusuk, jatuh, dan meninggal. Para tetua Marege (Yolngu) dan orang-orang Bugis-Makassar sepakat Birramen diadili di Makassar.
Tahap penyelesaian, yang merupakan puncak laku, klimaks atau saat yang menentukan, ketika Ahmad dan Birramen berlayar dengan perahu Padewakang ke Bugis-Makassar, terjadi badai.
Orang-orang Bugis-Makassar pun membacakan mantra laut untuk meredakan badai. Saat tiba di Makassar, Birramen dibebaskan karena telah banyak membantu orang Bugis-Makassar, baik saat di Marege maupun saat dalam pelayaran. Di Bugis-Makassar, Birramen berkenalan dengan Fatima dan mereka saling jatuh cinta.
Akhirnya mereka dikawinkan secara islam dalam nuansa budaya Bugis-Makassar dan Marege. Selamat menyaksikan!