ikut bergabung

Surat Cinta untuk Wali Amanat Unhas


Opini

Surat Cinta untuk Wali Amanat Unhas

Oleh: Triyatni Martosenjoyo

SAYA tidak ingin berpolemik tentang mana istilah yang lebih afdol antara “amanah” atau “amanat” di dalam penamaan MWA Perguruan Tinggi di Indonesia.

Sepertinya lebih mudah untuk dimengerti bila disebut sebagai “board of trustees”. Menjadi jelas bagi kita bahwa WMA itu adalah dewan perwalian yang merupakan sekelompok individu baik yang ditunjuk atau dipilih untuk mengelola dan mengatur aset dana abadi, yayasan amal, perwalian, atau organisasi nirlaba.

Saya senang melihat laporan dari rekan-rekan yang saya muliakan Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin (MWA UNHAS) tentang studi banding yang telah mereka lakukan di berbagai PT papan atas di Jawa.

Tentu saja untuk mengetahui pengalaman-pengalaman berharga yang telah mereka lakukan selama ini yang bisa menjadi pertimbangan bagi masa depan UNHAS.

Tetapi, apakah cukup pengalaman berharga yang didapatkan dari berbagai PT tersebut? Sangat subyektif! Kalau sekadar untuk berkisah … mereka punya gedung sendiri, tak seperti UNHAS yang menumpang di rektorat.

Masa’ sih hanya itu menjadi target MWA UNHAS? Atau anggaran operasional MWA yang tidak sebanyak anggaran MWA PT di Jawa. Ah, masa’ sih itu yang dibandingkan?

Rasanya kurang “greget” untuk suatu organisasi “nirlaba”. Maksud saya, roh dari “board of trustees” ini tidak menggigit. Tidak membuat bulu kuduk kita berdiri karena kagum atas target-target yang ingin dicapai.

Baca Juga :   Jika TNI dan Rakyat Menyatu, Masalah Negara Final, Totok dan Adnan Semangati Peserta Drag Bike 2023

Sejarah filantrofi yang kemudian menjadi cikal-bakal “board of trustees” itu diawali oleh kegundahan seorang pendeta Frederick Taylor Gates yang melihat kemarahan rakyat atas penguasaan uang oleh para industriawan akibat Perang Sipil.

Kompetisi yang disebut “saling memakan daging sesama” hanya memerkaya segelintir orang seperti Rockefeller melalui perusahaan minyak dan Carnegie melalui perusahaan kereta api. Uang sama sekali tidak menyentuh masyarakat umumnya.

Gates melihat kondisi ini sebagai situasi krisis yang berbahaya. Dia membujuk Rockefeller yang kemudian menawarkan untuk mencari solusi bagi pemecahan masalah yang dihadapi Amerika.

Rockefeller kemudian bertekad bahwa dia bukan hanya ingin meringankan penderitaan, melainkan juga mengakhirinya. Dia menghidupkan sekolah yang hampir mati yang kemudian menjadi universitas kelas dunia yaitu The University of Chicago.

Carnegie menulis artikel “Wealth” yang menjelaskan bagaimana dia ingin memerlakukan kekayaannya. Visi Carnegie ini kemudian diikuti oleh para filantropis termasuk Rockefeller.

dibaca : 137

Laman: 1 2 3



Komentar Anda

Berita lainnya Opini

Populer Minggu ini

Arsip

To Top