ikut bergabung

Tanpa AC, Penonton Pertunjukan “Toddopuli di Negeri Siam” di Societeit de Harmonie Membeludak


PERTUNJUKAN. Salah satu adegan pertunjukan "Toddopuli di Negeri Siam" di Gedung Kesenian Sulsel, Minggu (13/5) malam.

Berita

Tanpa AC, Penonton Pertunjukan “Toddopuli di Negeri Siam” di Societeit de Harmonie Membeludak

Hening. Sepi. Adegan ini tidak terlalu lama karena hanya sebagai opening. Lalu cahaya dan music berubah, mengantar adegan yang menggambarkan para aktor yang memerankan pasukan Daeng Mangalle dari sudut panggung muncul ke atas panggung dalam keadaan sedih, letih dan lapar.

Masing-masing aktor berdialog yang merepresentasikan tentang kekalahan mereka di medan perang Makassar. Mereka kecewa kepada para pemimpin yang telah menanda tangani Perjanjian Bongaya di atas makam leluhur mereka. Mereka tidak punya apa-apa lagi. Banyak rakyat menderita dan mati kelaparan. “Lebbumui mate maddarae dari mate tammanre”. Lebih berharga mati dengan berdarah, daripada mati kelaparan. Malleke dapureng”. Mari kita harus memindahkan “dapur kita” ke tempat yang lebih baik, sekalipun kita “mate maddara!”.

Mari kita tinggalkan tanah tempat kelahiran kita, dengan membawa siri’ kita, harga diri kita. Begitu para pasukan ini menyampaikan perasaannya melalui dialog secara bergantian karena kecewa terhadap Pengesahan Perjanjian Bongaya.

Pada babak kedua dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan secara simbolik pelayaran Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.

Lantunan musik duka memadukan musik modern dan musik tradisional tunrung paballe serta royong menggambarkan suasana khidmat mengiringi adegan Daeng Mangalle dan pasukannya dalam ritual tari pakarena dan 2 orang bissu (diperankan oleh Andi dan Anca) yang memberikan penyucian (passili) untuk pelepasan Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.

Baca Juga :   Optimis Menangkan Anies di Sulsel, Resopa Rampungkan Struktur Kepengurusan hingga Level Kelurahan

Mereka meninggalkan Makassar karena kecewa atas pengesahan Perjanjian Bongaya. Mereka minggat,
menolak tunduk pada Belanda. Daeng Mangalle kemudian berlayar ke daratan Siam. Mereka pun
berlayar secara simbolik dengan menggunakan property dayung, balira, tombak, dan kipas
pakarena sambil melantun syair pelayaran.

Pada babak ketiga dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan Daeng Mangalle dan pasukannya tiba di Negeri Siam dan dijemput dengan tarian Siam. Permintaan suakanya kepada Raja Ayutthaya (diperankan oleh Arga), dikabulkan.

Secara simbolik kehidupan awal sang Daeng beserta komunitas Makassarnya berjalan lancar-lancar saja. Namun semuanya berubah ketika raja Ayutthaya Phra Narai sangat berpihak kepada Prancis.
Maka secara simbolik terjadilah pemberontakan yang digambarkan dengan komposisi tombak, badik, parang, tombak dan kipas. Daeng Mangalle menolak tunduk memohon ampunan kepada Sang Raja atas tuduhan dirinya sebagai inisiator rencana kudeta. Kondisi negeri Siam terancam.

dibaca : 278

Laman: 1 2 3 4 5



Komentar Anda

Berita lainnya Berita

Populer Minggu ini

Arsip

To Top