MAKASSAR,UJUNGJARI.COM–Cuaca di Makassar Sabtu siang, 13 Mei 2023 sedikit diguyur hujan. Tapi tidak lama. 10 tenda di halaman Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar diisi oleh UKM dan mulai menyiapkan beragam jualan. Para aktor, penari dan pemusik yang mendukung pertunjukan Teater Tari Musik “Toddopuli di Negeri Siam” mulai berdatangan ke Gedung Kesenian warisan kolonial belanda.

Gedung ini tidak terawat. Tidak ada lighting dan sound. Semua Ac-nya rusak. Ruang ganti kostum dan rias sangat kotor, berdebu tanpa lampu, tanpa AC dan tanpa cermin. Sangat pengap dan panas. Toilet untuk penonton rusak total. Untung masih ada 1 toilet untuk pengisi acara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagi penyewa gedung ini, harus menyesuaikan dengan gedung yang parah ini. Penyewa harus membersihkan sendiri ruang penonton, ruang loby, ruang artis, ruang kostum dan rias, ruang panggung dan toliet. Keramik di lantai ruang artis bobol dan pecah-pecah. Lantai ruang balkon yang biasa ditempati penonton jebol, tidak bisa dipakai.

Hanya penonton yang berani siap tersungkur yang mau duduk di kursi di ruang balkon itu. Untung
lantai panggung pertunjukan baru selesai diperbaiki. Dan untung juga kursi-kursi penonton di
ruang penonton masih utuh walaupun berdebu.

Siapakah yang bertanggung jawab terhadap gedung kesenian tersebut? Siapakah pengelolanya? Pastilah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai pengelola. Dan pastilah juga DPRD Sulsel sebagai pengawas program pemerintah. Dan semoga nasibnya tidak seperti Stadion Matoanging yang telah dirobohkan oleh pemerintah sendiri? Wallahualam. Semoga tidak terjadi.

Naskah pertunjukan ini ditulis dan disutradarai oleh maestro teater Dr Asia Ramli, dosen
Sendratasik Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar.

Teater ini diproduksi oleh Teater Kita Makassar kerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Makassar dan Prodi Sendrstasik dan dipentaskan dalam “Festival Seni Pertunjukan 2023” pada Sabtu,
13 Mei 2023 pukul 19.30 di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar.

Pertunjukan ini didukung oleh Andi Taslim Saputera, S.Pd S.Sn (Co Director), Dr Arifin
Manggau (Composer), Dr Joharlinda dan A. Asrul, Rifai, Andi (Penata Gerak), Rahma, S.Pd., S.Sn., dan Ardiyansyah Anwar (Penata Kostum/Rias) serta Ahmad dan Muh Yusuf B (Asisten Composer).

Selain itu juga ada Andi Hendra, S.Pd dan Aco Sulsafri (Pimpinan Produksi), Andi Nasrullah Jaka (Penata Artistik), Rezky, Adel, Aldy (Video Art dan Dokumentasi), Jamal April Kalam (Stage Manajer), Iswandi Cua dan Sukma (Penata Lighting), Arham, Arga, Indra Kirana, Egis (Kru Panggung), Irwan Brutus (Publikasi).

Sekitar 100 orang pendukung pertunjukan ini antara lain tim produksi, tim artistik, lighting, sound, video art, dokumentasi, kru panggung dan pemain. Para aktor dengan properti badik, parang dan dayung berjumlah 12 orang. Penari pasukan tombak 8 orang, penari pasukan balira 12 orang. Penari pakarena 34 orang. Tokoh Bissu 2 orang. Pemusik 12 orang sudah termasuk 1 vokalis pria dan 3 vokalis perempuan.

Para pendukung ini merupakan mahasiswa dari Program Studi Sendratasik dan Program Studi Seni Tari Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar,
Teater Kampus FSD UNM, DE Art Studio FSD UNM, serta beberapa seniman dari Teater Kita
Makassar, Forum Sastra Kepulauan, Studio Kita Makassar dan Tangan Perkusi, Fly Art,
Tu’Sibija, Tangan Music Ethnica Makassar, Fsday.

Menurut Asia Ramli, naskah ini merupakan hasil riset dan dikerjakan selama satu tahun. Sutradara menerjemahkannya ke atas panggung dalam bentuk kolaboratif dengan penata artistik, penata tari, penata kostum/tias, penata musik/vokal, penata video art.

Ia mengatakan pertunjukan ini merupakan representasi simbolik sejarah perjuangan Daeng Mangalle, Pangeran Perang Makassar bersama pasukannya melawan kezaliman serdadu Kerajaan Siam yang bersekutu dengan Eropa, Perancis dan Portugis.

Penonton membludak. Penuh sesak di ruang penonton. Kursi penuh. Balkon juga penuh. Banyak penonton yang berdiri. Bahkan masih banyak penonton di ruang loby yang belum bisa masuk karena penuh. Mereka mulai menyaksikan pertunjukan dengan khidmat meskipun ruang penonton agak panas. Empat buah kipas angin air yang disewa oleh tim produksi kurang mampu meredakannya.

Setting pertunjukan ditayangkan melalui multimedia di layar LID. Pada babak pertama setting di LID dan adegan di atas panggung menggambarkan Daeng Mangalle (diperankan oleh Ferdinan) dan pasukannya terjun ke medan Perang Makassar.

Panggung gelap. Diawali oleh permainan music dan vocal yang syahdu dan menyayat dari 1 vokalis pria dan 3 vokalis perempuan sebagai pengantar video art di layer LID. Cahaya dan music berubah, mengantar adegan di atas panggung. Diawali oleh munculnya12 pasukan penari Balira ditata sekitar 1 menit, lalu out. Disusul pasukan penari Tombak, juga sekitar 1 menit, lalu out.

Selanjutnya masuk tokoh Daeng Mangalle dan pasukannya dengan property badik dan parang. Kira-kira 2 menit, tiba-tiba pasukan penari Balira dan pasukan penari Tombak menyerbu panggung, saling mengadu kekuatan dengan pergerakan cepat yang secara simbolik menggambarkan suasana perang Makassar. Pasukan ini dikelompokkan menjadi empat pasukan, yaitu pasukan tombak, pasukan badik, pasukan parang, pasukan balira, dengan ragam gerak dan ragam komposisi menyerbu panggung sebagai ruang medan perang hingga selesai. Semua out.

Hening. Sepi. Adegan ini tidak terlalu lama karena hanya sebagai opening. Lalu cahaya dan music berubah, mengantar adegan yang menggambarkan para aktor yang memerankan pasukan Daeng Mangalle dari sudut panggung muncul ke atas panggung dalam keadaan sedih, letih dan lapar.

Masing-masing aktor berdialog yang merepresentasikan tentang kekalahan mereka di medan perang Makassar. Mereka kecewa kepada para pemimpin yang telah menanda tangani Perjanjian Bongaya di atas makam leluhur mereka. Mereka tidak punya apa-apa lagi. Banyak rakyat menderita dan mati kelaparan. “Lebbumui mate maddarae dari mate tammanre”. Lebih berharga mati dengan berdarah, daripada mati kelaparan. Malleke dapureng”. Mari kita harus memindahkan “dapur kita” ke tempat yang lebih baik, sekalipun kita “mate maddara!”.

Mari kita tinggalkan tanah tempat kelahiran kita, dengan membawa siri’ kita, harga diri kita. Begitu para pasukan ini menyampaikan perasaannya melalui dialog secara bergantian karena kecewa terhadap Pengesahan Perjanjian Bongaya.

Pada babak kedua dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan secara simbolik pelayaran Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.

Lantunan musik duka memadukan musik modern dan musik tradisional tunrung paballe serta royong menggambarkan suasana khidmat mengiringi adegan Daeng Mangalle dan pasukannya dalam ritual tari pakarena dan 2 orang bissu (diperankan oleh Andi dan Anca) yang memberikan penyucian (passili) untuk pelepasan Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.

Mereka meninggalkan Makassar karena kecewa atas pengesahan Perjanjian Bongaya. Mereka minggat,
menolak tunduk pada Belanda. Daeng Mangalle kemudian berlayar ke daratan Siam. Mereka pun
berlayar secara simbolik dengan menggunakan property dayung, balira, tombak, dan kipas
pakarena sambil melantun syair pelayaran.

Pada babak ketiga dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan Daeng Mangalle dan pasukannya tiba di Negeri Siam dan dijemput dengan tarian Siam. Permintaan suakanya kepada Raja Ayutthaya (diperankan oleh Arga), dikabulkan.

Secara simbolik kehidupan awal sang Daeng beserta komunitas Makassarnya berjalan lancar-lancar saja. Namun semuanya berubah ketika raja Ayutthaya Phra Narai sangat berpihak kepada Prancis.
Maka secara simbolik terjadilah pemberontakan yang digambarkan dengan komposisi tombak, badik, parang, tombak dan kipas. Daeng Mangalle menolak tunduk memohon ampunan kepada Sang Raja atas tuduhan dirinya sebagai inisiator rencana kudeta. Kondisi negeri Siam terancam.

Sepertinya akan terjadi kudeta perebutan takhta. Maka Raja Siam perlu mengamankan
kekuasaannya dari bangsa mana pun termasuk dari bangsa Daeng Mangalle dan pasukannya. Raja Siam pun menyerukan kepada pasukan aliansi Siam untuk meluluhlantakkan seluruh pasukan Pasukan Daeng Mangalle hingga musnah dari Negeri Siam! Akhirnya para pasukan Daeng Mangalle melakukan ikrar (angngaru) secara bergantian. Daeng Mangalle pun berseru: “Dengar, semua! Genderang perang di Negeri Siam telah ditabuh. Dentuman meriam menggetarkan bumi. Asap mesiu berkobar membakar langit! Mari kita terjun ke medan perang fisabilillah! Sekali kita turun perang, kita harus menang. Kalau pun kalah, harus kalah secara jantan. Syahid fisabilillah. Kun Fayakun! To’dopuli! Semua pasukan berseru: Toddopuli!!!”

Secara kilat, dari 4 penjuru mata angin muncul pasukan Daeng Mangalle, laki-laki dan perempuan dengan kecepatan tinggi dan keras, yang menggambarkan perang pasukan tobarani Makassar melawan pasukan Siam secara simbolik. Pasukan Daeng Mangalle, masing-masing dikelompokkan menjadi enam pasukan, yaitu pasukan tombak, pasukan Badik, pasukan Balira, pasukan Parang, pasukan Maggiri dan pasukan Pakarena, dengan ragam gerak dan ragam komposisi serta masing-masing kelompok membawa panji-panji perang menyerbu panggung sebagai ruang medan perang melawan pasukan Siam.

Di tengah perang habis-habisan itu, pasukan Daeng Mangalle tewas dengan 5 tombak dari pasukan Siam tertancap di tubuhnya. Tubuh Daeng Mangalle dan tubuh-tubuh pasukannya menjelma monumen keberanian dan kemanusiaan sebagai simbol siri’ na pacce (harga diri dan kehormatan) orang Makassar. Raja Siam dan pasukannya (diperankan oleh penari Siam) berdiri di sudut panggung dalam ekspresi sedih penuh penyesalan. Seakan mereka memohon maaf atas kebejatan perang yang diciptakannya.

Lalu panggung hening. Sepi. Cahaya pelan redup, menyesuaikan dengan komposisi pasukan yang berada di atas panggung termasuk menyesuaikan dengan video mapping. Musik memadukan music modern dan music tradisi Makassar menggambarkan kesedihan dan ketabahan. Video mapping menggambarkan kesedihan.

Di berbagai sudut, di kiri kanan monumen Daeng Mangalle, dengan iringan music dan vocal yang menyayat, beberapa aktor dengan ekspresi terhuyung-huyung menyampaikan dialog yang menggambarkan Daeng Mangalle dimakamkan dalam sejarah sebagai Pangeran Perang dari Makassar.

Ia Toddopuli berselempang siri’ na pacce. Ia memegang teguh pada setiap kata dan perbuatan. Berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran. Teguh tak tergoyahkan pada hati yang suci-bersih.

Di akhir dialog, Daeng Mille (diperankan Arham) menyampikan semacam pesan: “Daeng Mangalle di Negeri Siam, sepanjang hidupnya selalu membangkitkan spirit yang pantang menyerah. Ia tidak pernah takut pada ketakutan. Ia berani mengambil resiko. Ia mati Syahid fisabilillah. To’dopuli!”

Dari kursi penonton, penulis naskah sekaligus sutradra Asia Ramli membawa dua putera Daeng Mangalle yang masih kecil ke atas panggung di depan munumen Daeng Mangalle, dan sambil mencari-cari kacamatanya yang terselip di bajunya, ia pun mencari-cari teks di dalam HP-nya, lalu membaca seperti berkisah kepada penonton: “Dua anak ini adalah representasi dari dua bangsawan putera Daeng Mangalle yang tersisa di Negeri Siam. Keduanya dibawa ke Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV. Dua bangsawan ini menjadi anggota legiun pasukan Perancis.

Mereka menjadi prajurit hebat. Seorang diantaranya menjadi pasukan angkatan laut Perancis yang diberi gelar Louis Dauphin Makassar. Mereka dibawa ke Negeri Napoleon”. Lalu Sang penulis diapit 2 anak kecil itu bersimpuh di depan Monumen Daeng Mangalle. Musik dan vocal kian menyayat, lalu secara perlahan berhenti bersamaan dengan redupnya cayaha dan juga video art di layer LID. Pertunjukan selesai. (*)