MAKASSAR, UJUNGJARI–Setelah lebih dari seratus hari (sekitar 4 bulan) pasca tewasnya Almarhum Virendy Marjefi Wehantow (19), mahasiswa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) yang meninggal dunia saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar & Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas, terbetik kabar bahwa pihak Penyidik Kepolisian Resor Maros telah menetapkan 2 mahasiswa yakni MIF dan FT sebagai tersangka dalam peristiwa yang berujung maut tersebut.
Keterangan yang dihimpun media ini, Kamis (11/05/2023) menyebutkan, informasi penetapan 2 tersangka dalam kasus kematian Virendy ini disampaikan melalui pesan singkat aplikasi whatsapp yang dikirim oleh penyidik Polres Maros ketika menjawab konfirmasi yang dilakukan pelapor Viranda Novia Wehantouw (kakak kandung almarhum Virendy) dan kuasa hukumnya Yodi Kristianto, SH, MH, Selasa (09/05/2023).
Saat dikonfirmasi keluarga korban dan kuasa hukumnya, pihak penyidik Polres Maros mengatakan akan segera melakukan pemanggilan terhadap para tersangka. Menurut penyidik, gelar perkara penetapan tersangka telah dilakukan pada Senin (08/05/2023) di Ruang Diskrimum Polda Sulsel, yang juga dihadiri pihak Propam dan Pengawas Penyidik Polda Sulsel.
Saat dihubungi awak media ini, Kamis (11/05/2023) sore, Yodi Kristianto selaku pengacara keluarga almarhum Virendy mengatakan, pihaknya akan tetap mendalami terkait penetapan tersangka dan memperjuangkan kepentingan hukum keluarga Almarhum Virendy.
“Kami menghormati proses hukum. Penetapan tersangka adalah kewenangan penyidik dan kita tetap akan mengawal proses hukum baik dalam penetapan tersangka, pelimpahan perkara ke Kejaksaan hingga proses persidangan dan putusan di Pengadilan,” ujarnya.
“Kita berharap proses hukum tetap harus transparan, sebab pihak keluarga korban pun mempertanyakan perihal penetapan tersangka, apalagi publik yang mengikuti perkembangan kasus ini. Transparansi proses hukum penting bagi kepercayaan publik terhadap penegak hukum,” tegasnya.
Menurut Yodi, jika menganalisis penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka unsur tindak pidana kelalaian yang lebih ditekankan pihak kepolisian. “Analisis saya, pihak kepolisian mengacu pada pasal 359 KUHP, yaitu kelalaian yang mengakibatkan mati,” tukasnya.
Kata Yodi lagi, pada waktu gelar perkara pertama di Polda Sulsel, yang dipimpin langsung Wassidik Diskrimum Polda Sulsel, dihadiri juga oleh Propam dan Pengawas Penyidik, keluarga korban serta pihak terkait, pihak kepolisian memang menekankan unsur kelalaian dalam kasus kematian Almarhum Virendy.
“Hal ini berarti Penyidik mengenyampingkan dugaan penganiayaan ataupun tidak menemukan cukup bukti ataupun tersangka dalam dugaan penganiayaan yang juga turut dilaporkan klien kami,” ungkap Direktur Kantor Advokat dan Konsultan Hukum YK & Partner ini.
Menanggapi pertanyaan terkait visum RS Grestelina Makassar dan hasil autopsi Biddokkes Polda Sulsel, Yodi Kristianto mengatakan enggan berspekulasi dan lebih memilih untuk melihat penjelasan resmi pihak forensik maupun ahli di persidangan. “Visum dan hasil autopsi akan menjadi bukti di persidangan, kita akan mendengar ahli yang akan menerangkan hal tersebut,” imbuhnya
Terlepas dari berbagai perspektif mengenai penetapan tersangka yang beredar luas di kalangan publik dan kalangan masyarakat, Yodi Kristianto mengakui, pihaknya melibatkan institusi yang punya kredibilitas dalam penanganan kasus kematian Almarhum Virendy.
“Kami telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, bahkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun seandainya dalam keseluruhan proses penegakan hukum ini merugikan kepentingan klien kami,” tutupnya.
Soroti Kinerja Penyidik
Terkait kinerja penyidik Polres Maros dalam menangani kasus kematian Virendy hingga penetapan tersangka yang dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan dan tidak secara transparan diumumkan ke publik oleh pihak kepolisian, mendapat kecaman dan sorotan dari keluarga besar Almarhum Virendy maupun khalayak umum yang berempati dan mengikuti perkembangan kasus tersebut.
Viranda Novia Wehantouw selaku pelapor dalam kasus kematian Virendy ketika dihubungi wartawan mengungkapkan rasa kekecewaan yang mendalam terhadap informasi penetapan tersangka yang diterimanya dari penyidik Polres Maros melalui percakapan di aplikasi whatsapp pada Selasa (09/05/2023).
“Sebelumnya saya sudah beberapa kali dan terakhir pekan lalu mempertanyakan perkembangan penyidikan. Selalu dijawab penyidik bahwa pihak Reskrim Polres Maros telah bersurat ke Polda Sulsel untuk pelaksanaan Gelar Perkara Penetapan Tersangka. Penyidik sementara menunggu jadwal dari Polda Sulsel. Dan jika sudah ada jadwalnya, pihak keluarga akan diundang juga,” beber Viranda.
Namun, lanjutnya, pada Selasa (09/05/2023) ketika Ia menanyakan lagi perihal pelaksanaan gelar perkara termaksud, oleh penyidik Polres Maros dijawab sudah dilaksanakan pada Senin (08/05/2023) dan telah ditetapkan hanya 2 orang tersangkanya. Jawaban itu membuat Viranda bersama keluarga besar Almarhum Virendy merasa terpukul dan mengecam serta menyoroti kinerja penyidik dalam menangani, mengusut dan menyidik kasus terbunuhnya Virendy.
“Sebelumnya kami pihak keluarga mendapat informasi yang menyebutkan bahwa rekomendasi Polda Sulsel ada sekitar 10 orang tersangka dengan dugaan tindak pidana karena kelalaian menyebabkan orang mati dan tindak pidana penganiayaan mengakibatkan orang meninggal dunia. Namun dengan penetapan hanya 2 tersangka, itu berarti penyidik cuma membuktikan dugaan tindak pidana karena kelalaian menyebabkan orang mati,” paparnya.
Menurut Viranda, jika hanya unsur kelalaian sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP, kenapa tersangkanya hanya 2 orang yakni MIF (Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas) dan FT (Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas) ? Lantas dari pihak Universitas yang juga lalai karena menerbitkan izin kegiatan dengan berdasarkan rekomendasi fakultas yang konon ilegal dan juga tidak meneliti kelengkapan surat izin kegiatan dari kepolisian maupun pemerintah setempat ?
Selain itu pula, unsur kelalaian juga patut dijerat kepada pejabat fakultas yang dikabarkan melepas secara resmi di kampus Fakultas Teknik Unhas keberangkatan rombongan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas. Begitu pula terhadap pengurus lainnya di UKM Mapala 09 FT Unhas yang diduga terlibat dalam proses pemalsuan tandatangan pejabat fakultas di surat rekomendasi kegiatan.
Unsur pidana lainnya dengan berdasar bukti-bukti sejumlah percakapan (chatting) lewat aplikasi whatsapp maupun keterangan saksi dari teman-teman angkatan almarhum Virendy, juga bisa dijerat kepada beberapa senior ataupun pengurus UKM Mapala 09 FT Unhas yang diduga telah memaksa Almarhum Virendy untuk masuk UKM Mapala 09 FT Unhas hingga mengikuti kegiatan Diksar tersebut dan bahkan membayarkan biaya pendaftarannya.
James Wehantouw, ayah Almarhum Virendy yang juga dimintakan komentarnya mengemukakan, suatu tindakan tidak berdasar hukum jika penyidik Polres Maros mengenyampingkan unsur penganiayaan dalam peristiwa kematian Virendy dengan berdalih tidak cukup bukti. Sementara kesimpulan dalam Surat Visum RS Grestelina secara jelas menyebutkan bahwa luka-luka, lebam dan memar yang terdapat di beberapa bagian tubuh almarhum adalah akibat benturan benda tumpul.
“Jika ada pendapat penyidik yang menyebutkan luka-luka, lebam dan memar yang ada di tubuh almarhum diakibatkan terjatuh atau diseret, itu kesimpulan tidak berdasar fakta. Sebab sejak dari awal kami melakukan investigasi dan menginterogasi pengurus Mapala, panitia dan peserta Diksar, tidak pernah ada keterangan ataupun pengakuan yang mengatakan karena terjatuh atau diseret. Kalaupun diseret, pasti pakaian yang dikenakan almarhum ada bekas seretan atau robek, namun kenyataannya pakaiannya mulus-mulus saja,” jelasnya.
Wartawan senior ini menambahkan, pihak keluarga Almarhum Virendy juga menyoroti kinerja penyidik Polres Maros yang tidak mengusut tuntas petunjuk terkait ‘locus delicti’ kemungkinannya di Malino. Sebab pada Jumat (13/01/2023) malam sekitar pukul 20.00-21.00 Wita, banyak masyarakat di sepanjang jalan poros depan Taman Pinus Malino yang melihat rombongan Diksar melintas dengan jumlah peserta sekitar 10 orang mengenakan kostum seragam merah (sama dengan kostum seragam yang digunakan almarhum dan peserta lainnya), dan banyak senior Mapala serta panitia yang mendampingi dengan pemandangan suasana yang terlihat arogan.
“Sejak awal kami keluarga melaporkan kasus ini, sudah tampak dugaan keberpihakkan oknum penyidik Polres Maros kepada pihak Unhas dan Mapala FT Unhas. Bahkan sejak awal kami keluarga sudah menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan dan menimbulkan dugaan adanya skenario yang terencana dan disusun pihak terkait untuk bagaimana membungkam kasus ini demi menjaga nama baik institusi ataupun agar terlepas dari jeratan hukum,” kunci James. ( *)