ikut bergabung

Praktik Literasi yang Memerdekakan Murid


Opini

Praktik Literasi yang Memerdekakan Murid

Harapannya, melalui pendekatan persuasif tersebut, akan terbangun
pembiasaan atau budaya berliterasi pada diri murid yang lambat laun murid akan menjadi sadar akan manfaat dari berliterasi sehingga bahan literasinya tidak lagi sebatas minatnya, tetapi sudah “menyeberang” ke disiplin ilmu lainnya, untuk memperoleh skemata yang dibutuhkan.

Mendesain Komunitas Literat yang Merdeka

Keberadaan murid di sekolah, selain sebagai kelompok sosial juga sebagai kelompok intelektual. Ciri siswa sebagai kelompok sosial dapat diamati melalui gejala kecenderungan siswa berkumpul dan bercengkerama sesama temannya dan ciri intelektual ditandai dengan aktivitas belajarnya. Kedua gejala tersebut merupakan daya dukung terbentuknya komunitas sosial yang literat di lingkungan sekolah.

Baca Juga

Komunitas literat tidak mesti lahir di ruang dan konteks yang formal, misalnya pelatihan atau seminar. Komunitas literat bisa saja lahir dan berkembang secara merdeka di ruang terbuka dan dalam suasana santai. Secara teknis, desain komunitas literat yang merdeka dapat diawali dengan
tahap pemetaan profil belajar murid dan bakat atau minat murid (seperti yang telah diuraikan pada bagaian sebelumnya).

Hasil pemetaan tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar pembentukan kelompok sosial. Misalnya, siswa yang gemar bermain sepak bola dikumpulkan dan dibentuk menjadi “kelompok literat sepak bola”.

Tahap selanjutnya adalah sekolah memfasilitasi kelompok tersebut dengan menyediakan buku bacaan yang berkaitan dengan sepak bola. Buku tersebut disimpan di area literasi yang dapat dibaca setiap saat. Selain aktivitas membaca, kelompok ini juga difasilitasi dan dibimbing untuk melakukan kajian terhadap hasil bacaannya misalnya dalam bentuk diskusi atau bedah buku.

Baca Juga :   In Memoriam Annas GS Karaeng Jalling: KARJAL WAY

Tujuan aktivitas kajian ini adalah membelajarkan siswa berpikir kritis terhadap informasi yang didapat baik melalui bahan bacaan maupun gejala faktual di lapangan (dilihat atau didengar) tentang “sepak bola”. Dengan demikian, diharapkan akan lahir komunitas siswa yang memiliki skemata sepak bola yang memadai.

Contoh pembentukan kelompok sosial sepak bola ini hanyalah salah satu contoh pembentukan komunitas sosial yang literat. Tentu saja sekolah dalam
mengembangkan pemerataan bakat dan minat lain, seperti komunitas literat pencinta mata pelajaran, misalnya, komunitas matematika.

Pada akhirnya, kepekaan dan daya kritis pihak stakeholder sekolah terhadap gejala, perkembangan, dan tuntutan pembelajaran abad 21, menjadi “cambuk” untuk mendesain kemerdekaan berliterasi di sekolah sehingga warga sekolah melek informasi dan memiliki ilmu pengetahuan yang komprehensif sebagi cikal generasi emas di tahun 2045. (*)

dibaca : 223

Laman: 1 2 3



Komentar Anda
Baca Selengkapnya
Rekomendasi untuk anda ...

Berita lainnya Opini

Populer Minggu ini

Arsip

To Top