Site icon Ujung Jari

Laksus: Dugaan Manipulasi Pajak Puluhan Owner Kosmetik Mengarah ke Kejahatan Pencucian Uang

MAKASSAR, UJUNGJARI–Lembaga Antikorupsi Sulsel (Laksus) menduga kejahatan perpajakan puluhan owner kosmetik di Sulawesi Selatan mengarah pada tindak pidana pencucian uang (TPPU). Laksus mendesak agar Dirjen Pajak dan aparat penegak hukum melakukan telaah atas indikasi itu.

“Dari hasil analisis hukum kami memang arahnya ke sana. Ada potensi besar terjadinya pencucian uang. Karenanya kami meminta telaah awal dari Dirjen Pajak,” ujar Direktur Laksus Muhammad Ansar, Sabtu (8/4/2023).

Menurutnya, pidana pencucian uang biasanya menjadi penyerta dari tindak pidana lain. Sifatnya terselubung sehingga membutuhkan analisis dalam.

Dalam indikasi pencucian uang para owner kosmetik, kata Ansar, menjadi penyerta dari adanya tindak manipulasi pajak. Artinya, TPPU terjadi setelah muncul dugaan kejahatan pajak.

“Dari manipulasi pajak ini muncul indikasi TPPU. Dasar analisisnya bahwa uang pajak yang seharusnya menjadi hak negara justru dimanfaatkan kembali oleh owner untuk memutar bisnis mereka. Dan itu murni untuk memperkaya diri sendiri,” tandasnya.

Ansar menjelaskan, jika ditelaah artinya terjadi perampasan pada hak-hak negara. Hak hak negara itu dimanfaatkan para owner untuk melanggengnya usaha mereka.

“Semua indikasi ini penting untuk didalami Dirjen Pajak dan APH. Karena kita lihat perputaran uang di bisnis kosmetik ini sangat fantastis. Bisa sampai miliaran rupiah per owner. Nah kan untuk mengidentifikasi kejahatan pajak mereka tak terlalu rumit. Cukup dikalkulasi berapa rata-rata omzet mereka dan berapa seharusnya pajak yang mereka setorkan ke negara,” papar Ansar.

Jika terjadi ketidakseimbangan artinya ada kemungkinan terjadinya paktik pencucian uang.

“Dan saya bisa memastikan itu bahwa antara omzet dan laporan pajak para owner kosmetik memang jomplang. Laporan pajak mereka hampir seluruhnya dimanipulasi. Hak-hak pajak negara mereka rampas tapi kita tidak sadar,” jelasnya.

Selanjutnya terang Ansar, perlu ada pembuktian terbalik dalam membongkar kasus para owner kosmetik.

“Saya kira pembuktian terbalik itu penting,” ketusnya.

Mereka para owner harus diminta untuk membuktikan sumber sumber harta mereka. Apa benar itu murni dari bisnis kosmetik. Atau ada usaha penyerta yang dibiayai dari hak-hak pajak yang tak terbayarkan.

“Kalau alurnya seperti itu, ya artinya benar ada indikasi pencucian uang,” jelasnya.

Pegiat antikorupsi yang juga koordinator Laksus, Mulyadi mengemukakan, dalam UU TPPU di pasal 2 huruf V dan Z secara jelas diterangkan bahwa kejahatan perpajakan itu bisa dikenai pidana pencucian uang. Di mana hasil kejahatan pajak berupa tidak membayar pajak dan berupaya menyembunyikan kekayaan dari pembayaran pajak.

“Berdasarkan hasil investigasi Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan menduga bahwa owner-owner kosmetik ini telah melakukan tindak pidana pencucian uang sesuai yang diatur dalam Undang-Undang TPPU Tahun 2002 tentang Pencucian uang atau dalam istilah lain money laundring. Hal itu dapat dibuktikan bahwa seluruh owner tidak mempunyai badan hukum dan Badan Usaha yang terdaftar sebagai wajib pajak, sementara harta kekayaan mereka dari hasil penjualan kosmetik tersebut miliaran rupiah,” terang Mulyadi.

Menurutnya, tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para owner-owner kosmetik ini jelas karena menggunakan uang dari hasil usahanya tanpa melakukan pembayaran pajak PPh dan PPn sehingga merugikan keuangan negara dan juga dapat berdampak buruk terhadap perekonomian nasional. karena merugikan pihak perusahaan kosmetik yang telah terdaftar dan diakui di pasaran internasional.

“Perbuatan owner-owner ini tergolong kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang harus dicegah dan ditanggulangi.
Bahwa owner-owner kosmetik ini dalam melaksanakan pencucian uang menggunakan pendekatan follow the money (ikuti uang), sehingga sangat diperlukan penanganan yang luar biasa terkait penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, hal ini sangat jelas adalah suatu perbuatan tindak pidana sebagaimana yang diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” papar Mulyadi.

Ia juga menduga, dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, para owner kosmetik berupaya menyembunyikan asal-usul harta kekayaannya. Tujuannya agar mereka bisa lepas dari kewajiban membayar pajak.

“Mereka dari hasil kejahatan pajak memasukannya ke dalam sistem keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal, membuat usaha-usaha lain atau membeli barang-barang mahal mulai dari rumah mewah, mobil mewah sampai pada pembelian emas baik batangan maupun emas dalam bentuk lain sebagai bentuk investasi yang sewaktu-waktu dapat dijual. Jadi modus modus ini lazim mereka pakai,” jelasnya.

Seharusnya semua ini bisa dideteksi Dirjen Pajak karena barang barang mewah itu mereka umbar di media sosial.

Mulyadi menjelaskan, transaksi per-hari dalam penjualan produk kosmetik dilakukan dengan melakukan COD bagi reseller. Namun bagi tingkatan di atasnya lagi seperti Distributor, Jenderal sampai Manager melakukan pemesanan barang dengan sistem transfer sesuai jumlah barang yang dipesan mulai dari ratusan dos sampai pada ribuan dos.

“Bahkan, ada pula owner setelah membeli produk kosmetik dari Jawa sudah mempersiapkan mesin pengemas produk yang diberi label sendiri dan diracik sendiri dan disembunyikan di suatu tempat,” katanya.

Sehingga untuk melacak usaha para owner kosmetik sangat sulit. Sebab mereka tidak mempunyai perusahaan, toko atau outlet serta jenis usaha lain yang terdaftar sebagai badan usaha.

“Transaksinyapun melalui lalu lintas giral (visa transfer). Lagi-lagi hal itu sengaja dilakukan agar terhindar dari pembayaran pajak. Atau terdaftar sebagai wajib pajak tapi penghasilan yang dilaporkan sangat minim, dan biasanya mereka menggunakan jasa para konsultan pajak, sehingga sangat rentan terhadap tindak pidana pencucian uang,” imbuh Mulyadi.

Exit mobile version