Site icon Ujung Jari

Polisi dan Sampah Sebuah Ironi

Oleh: Ahmad Razak
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar


DUA
hari ini viral dan menjadi tranding topik pernyatan walikota Makassar Dany Pomanto dengan penggunaan Istilah “Polisi Sampah”. Sebagai wali kota, Dany terus berusaha untuk menjadikan makassar sebagai kota yang bersih. Kontrol dan pengawasan merupakan salah cara yang dilakukan agar kebersihan tetap terjaga, masyarakat sadar kebersihan dan tidak sembarang membuang sampah.

Tujuan tersebut tentu sangat baik dan patut diapresiasi, namun penggunaan diksi “Polisi Sampah” menjadi pemilihan kata yang menuai kontro versi dan dianggap sebagai pelecehan terhadap sebuah institusi.

Ironi memang karena “polisi” adalah kata yang melekat kepada sebuah institusi negara yang sangat bermartabat, mulia dan terhormat . Sementara “sampah” adalah kata yang melekat pada sesuatu yang jorok, kotor, tidak berguna dan mengganggu kenyamanan lingkungan. Tiba-tiba kedua kata itu disandingkan untuk tujuan tertentu. “Polisi sampah” bermakna denotatif dan interpretatif. Ia bisa bermakna sebagai pengawas kebersihan, tetapi bisa juga bermakna bahwa polisi itu sampah sehingga dapat dimaknai sebagai pelecehan atau penghinaan terhadap institusi.

Istilah lain yang biasa terdengar di masyarakat adalah “Polisi Tidur” yaitu bagian jalan yang ditinggikan dengan tujuan untuk mengurangi laju kecepatan kendaraan.

Sampah terlanjur digunakan sebagai kata yang menunjukkan sesuatu yang jorok dan tidak berguna. Jadi kalua ada warga yang meresahkan mengganggu keamanan maka ia bisa disebut sampah masyarakat. Meskupun tidak selamanya sampah tidak berguna karena pada kondisi tertentu sampah bisa menjadi pupuk atau penyubur tanaman, sampah bisa didaur ulang
menjadi bahan untuk kerajinan/keterampilan. Ini sangat tergantung kreativitas dan kecerdasan masyarakat dalam mengelola sampah.

Karakter bersih memang belum sepenuhnya terbentuk di masyarakat, kita sering menyaksikan kendaraan roda dua dan roda empat yang seenaknya membuang sampah di tengah jalan, kita juga seringkali melihat masyarakat membuang sampah di sungai-sungai atau di pinggir kanal, akibatnya aliran air tersumbat sehingga menyebabkan banjir di mana-mana.

Pertanyaannya adalah mengapa harus menggunakan istilah “polisi sampah”? apakah dengan menggunakan istilah tersebut masyarakat bisa sadar bersih? Ataukah tujuannya sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan.

Jika karakter bersih yang harus dibangun pada masyarakat “Waskat Sampah” adalah istilah yang paling tepat digunakan agar masyarakat dapat mengawasi dirinya sendiri untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat, bekerja sama dalam menjaga kebersihan wilayahnya masing-masing.

Pemerintah tinggal menyediakan sarana dan pra sarana kebersihan yang memadai. Sampah bukan hanya kotoran dari sisa-sisa makanan, pembungkus makanan, dedaunan yang berserakan atau apapun namanya. Tetapi koruptor, kriminalis, pembuat kerusuhan, pemalak serta seluruh yang mengganggu keamanan dan ketertiban yang menyebabkan moral bangsa menjadi rusak pada hakikatnya ini juga adalah sampah yang harus dibersihkan agar kehidupan masyarakat menjadi damai dan tenteram.

Berharap Wali kota dan kepolisian dapat bersanding dan bersinergi untuk bersama-sama menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, saling menopang dalam menciptakan harmonisasi dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat. (*)

Exit mobile version