Catatan Perjalanan Egy Massadiah (1)
Apa mau dikata, pulau-pulau negeri kita memang sangat eksotik. Teramat indah. Bak ratna mutu manikam, pujangga bilang.
Mari menyebut Bali, gugusan kepulauan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara juga Papua. Semuanya adalah sederat nama nama yang lokasi wisatanya teramat menggairahkan.
Anda bisa memperpanjang deretan pulau-pulau eksotik itu dengan menambahkan pulau-pulau di sisi barat Pulau Sumatera, mulai dari Sabang, Simeuleu, Nias, Mentawai, hingga Enggano.
Nah, menyebut Enggano, mari kita bicara tentang salah satu surga tersembunyi di Indonesia. Selain objek wisata yang memanjakan batin dan mata, ada pula Taman Berburu.
Ya, menembak binatang seperti babi hutan yang masuk kategori hama. Tak cuma itu, potensi mangrove untuk budidaya kepiting bakau juga tersedia.
Tak hanya mata yang dimanjakan. Lidah pun boleh bermanja-manja di pulau ini, dengan menyantap aneka sea food segar dari laut Enggano.
Atas nama semua itu pula Letjen Purn Dr HC Doni Monardo berkunjung ke Enggano. Doni melihat Enggano sebagai sebuah paket tujuan pariwisata yang lengkap.
“Bisa berburu, mancing, snorkeling, diving, surfing, bahkan eating,” ujar Ketua Umum PP PPAD itu.
Enggano bisa dicapai dengan dua cara: Naik pesawat atau kapal laut. Rombongan Doni Monardo menggunakan jalur udara, terbang dari Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu menuju bandara Enggano di Desa Banjar Sari, menggunakan pesawat jenis Caravan yang dioperasikan Susi Air.
Dari tangga pesawat berkapasitas 12 penumpang itu, nampak Komandan Korem (Danrem) 041 Garuda Emas (Gamas) Brigjen TNI Dr. Achmad Budi Handoyo, M.Tr (Han) ikut mengantar.
Lulusan Akmil 1992 ini bukan orang baru di mata Doni. Budi beberapa kali bertugas bersama Doni. Di antaranya saat masih di Kopassus serta ketika Doni menjabat Komandan Paspampres, Budi adalah Asops Paspampres.
Turut menemani Kasrem Gamas Kolonel Veri Sudijanto yang juga pernah bersama Doni saat di Kodam Pattimura.
Deru mesin Cessna Grand Caravan itu meninggi, diiringi gerak take off yang mulus. Untuk menempuh jarak 156 km, atau 90 mil Bengkulu – Enggano, membutuhkan waktu terbang 45 menit.
Cessna Caravan adalah pesawat bermesin turboprop tunggal, fixed-gear dan merupakan pesawat regional jarak pendek sayap tinggi (high wing) yang diproduksi oleh Cessna di Wichita, Kansas, Amerika Serikat.
Setiba di Enggano, rombongan Doni Monardo menuju Hotel Wisata Berlian, milik Bambang. Dandim Bengkulu Utara, Letkol Inf Made Mahardika (Akmil 2001) beserta sejumlah personil Koramil Enggano ikut menjemput.
Jangan Anda bertanya hotel kategori bintang, sebab penginapan di Enggano masih setaraf hotel melati. Meski begitu, cukup representatif dan nyaman.
Karena penginapan yang relatif kecil, suasananya penuh nuansa kekeluargaan. Seperti biasa jika berkunjung ke daerah, saya mengakses hingga ke dapur.
Di dapur hotel ini pula saya ikut turun tangan memasak memakai kayu bakar, yang menebar aroma mak-nyusss. Tentu dibumbui adegan perih di mata akibat asap kayu bakar.
Hari pertama kami memasak sup kepala ikan, lanjut ayam kampung digoreng. Kali lain mengolah daging kambing. Benar, pada hari ketiga kunjungan, kami memotong dua ekor kambing yang dibeli dari warga. Doni Monardo meminta untuk dijadikan hidangan sate, gulai, dan sop tulang.
Semua hidangan di atas selalu didampingi emping goreng dan aneka olahan jengkol: semur jengkol, jengkol balado, jengkol rebus, dan jengkol mentah. Maklum, jengkol terbilang melimpah di pulau yang satu ini.
De Houtman
Yauwaika!!! Adalah salam khas masyarakat Enggano. Pekik salam yang maknanya “Selamatlah Kita Semua”. Mirip-mirip pekik Aloha di Hawaii. Mirip-mirip pekik wa-wa-wa masyarakat Papua.
Tersebutlah, Enggano adalah satu di antara 17.000 pulau yang ada di Indonesia. Letaknya di lepas laut Bengkulu, sebagai pulau terluar yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Dibilang istimewa karena memang memenuhi semua syarat untuk disebut demikian. Di luar keindahan alamnya, Enggano memiliki hikayat yang tak dipunyai semua pulau.
Pertama ihwal nama. “Enggano!”, adalah sebuah kata yang diucapkan dengan nada kesal oleh pelaut Portugis, sesaat setelah menjejakkan kaki di pulau itu.
Arti kata “enggano” dalam bahasa Portugis adalah “menyesatkan”. Benar. Mereka merasa tersesat ternyata di pulau itu tidak ada emas dan rempah. Yang mereka tuju sebenarnya adalah pulau Sumatera. Nama itu kemudian melekat sampai hari ini.
Selain Enggano, nama lain adalah Telania, yang dalam bahasa melayu artinya telanjang. Nama itu dikaitkan dengan nenek moyang suku Enggano dalam kesehariannya. Sedangkan, penduduk asli menamakan pulaunya dengan nama Elope yang berarti bumi.
Adalah Cornelis de Houtman, menasbihkan nama Enggano untuk pulau itu. Dan nama itulah yang dikenal hingga hari ini.
De Houtman seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Nusantara, dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah bagi Belanda. De Houtman tercatat menginjakkan kakinya di Enggano pada 5 Juni 1596.
Keberhasilannya ini membuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang berujung pada praktik kolonialisme di Nusantara. Cornelis de Houtman lahir di Gouda, Holland Selatan, 2 April 1565 dan meninggal di Aceh, 11 September 1599 pada umur 34 tahun.
Kondisi bumi Enggano yang tiada emas-tiada rempah, menjadikan pulau itu tidak dilirik pemerintahan kolonial. Tapi bukan berarti tidak ada jejak-jejak penjajahan di sana. Kawasan perbukitan telah dibabat dan dijadikan perkebunan.
Baik Belanda maupun Jepang, melihat pulau Enggano adalah basis pertahanan paling depan. Karenanya, di sini pernah ditemukan meriam-meriam peninggalan Belanda, serta bunker peninggalan Jepang.
Tujuh Pesisir
Jika Anda pernah mendengar legenda tujuh bidadari, maka di Enggano bidadari-bidadari itu menjelma menjadi tujuh pesisir yang indah. Bilangan itu, lebih untuk membedakan karakteristik pantai. Pantai yang ada di sebelah timur cukup kontras dengan pantai yang ada di bagian barat pulau.
Pantai sisi timur, relatif tenang dan sangat nikmat untuk berenang atau snorkeling, terutama di Pantai Koomang. Sedangkan, terumbu karang di Pulau Merbau dan Pulau Tikus, menawarkan pemandangan bawah laut yang bersaing dengan keindahan Wakatobi.
Pesisir timur Enggano yang lain, dekat teluk Desa Kaana kaya akan biota laut. Apalagi ikan-ikan hiasnya, begitu beraneka warna. Kawanan ikan nemo akan mengajak Anda bersenda-gurau.
Belum lagi jika hobi mancing, Anda datang ke pulau yang tepat. Seperti yang dilakukan Doni Monardo beserta rombongan siang itu. Dengan menyewa perahu motor milik nelayan, Doni dan rombongan menuju laut lepas. Belum 30 menit ia sudah strike.
Ikan-ikan hasil pancingan langsung dibakar, setiba mereka di bibir pulau. Anda cukup berimajinasi, betapa nikmatnya makan siang di bawah rimbunnya pepohonan. Anda bahkan bisa membayangkan, betapa lezat ikan-ikan laut bakar tanpa bumbu yang baru saja dipancing. Betapa lumer di lidah, bercita rasa gabungan segar, manis dan tentu saja menyehatkan.
Siang itu, rombongan kami berhasil mendapatkan beberapa jenis ikan. Berbagai jenis ikan kualitas premiun terkait di besi mata pancing. Ada juga hasil “menembak” di kedalaman laut. Mulai dari kerapu, tongkol, kakap, dan lain-lain.
Kepada Susanto, Camat Enggano, Doni memberi masukan. Pertama, kapal-kapal nelayan yang dipersiapkan untuk memancing harus diberi atap. “Buat para nelayan mungkin kapal tanpa atap sudah biasa, tapi kalau turis, kasihan. Harus diberi atap, kasihan kalau kena panas atau hujan. Jangan sampai pulang mancing, malah sakit,” ujar Doni sambil tertawa.
Saran kedua, menebar rumpon di titik-titik pemancingan. Ia mengambil contoh saat berkunjung ke Sumba. Fasilitas penginapan di Nihi, bertaraf internasional. Yang dijual adalah wisata alam yang masih asli. Mereka menyediakan fasilitas memancing. Para nakhoda kapal motor sudah tahu spot-spot rumpon.
“Jadi, baru beberapa menit lempar umpan sudah strike. Wah, itu sensasional sekali. Nah, di Enggano harus dibikin seperti itu. Jangan sampai wisatawan mancing kecewa karena pulang tidak dapat ikan,” kata Doni.
Akan tetapi, jika memancing bukan aktivitas yang menarik, Anda tetap bisa menyewa kapal-kapal nelayan tadi untuk menyusuri tepian pantai menikmati hutan bakau serta keindahan alam Enggano lainnya. Aneka satwa liar, terutama burung-burung di pepohonan, adalah pemandangan langka yang bisa Anda nikmati sepuasnya. Aneka suara burung di keheningan hutan merupakan orkestra alam yang menyehatkan jiwa.
Deru Surfing
Sekarang kita beralih ke sisi barat Enggano. Sebuah laut lepas dengan deburan ombak laksana surga bagi para peselancar.
Seperti diketahui, komunitas surfing dunia menjadikan laut Mentawai (Sumatera Barat) sebagai basis mereka berselancar. Boleh jadi, karena baru sedikit pecandu selancar yang tahu, bahwa Enggano juga menghidangkan ombak-ombak jangkung yang menantang.
Pendek kata, Enggano menawarkan wisata bahari yang luar biasa, karena memiliki dua karakter pantai sekaligus jenis ombak di kedua sisi pulaunya. “Bayangan saya, wisata Enggano harus ditunjang kuliner seafood, seperti ikan, kepiting, lobster, udang, dan lain-lain.
Semua ada di laut Enggano. Laut sekitar Enggano tidak boleh dieksploitasi besar-besaran. Peruntukannya hanya bagi jasa wisata kuliner Enggano dan konsumsi masyarakat sendiri,” kata Doni Monardo pula.
Doni juga menyebut dua jenis kuliner lain yang bisa menjadi ciri khas Enggano, yakni pisang dan emping melinjo.
“Ahli pengolah emping dan industri tepung pisang, wajib datang ke Enggano mentransfer ilmunya. Ini bisnis yang menarik. Saya dapat info, setidaknya ada 300 ton hasil pisang Enggano setiap minggu dikirim ke berbagai kota di Sumatera. Bahkan sampai ke Jakarta dan Malaysia,” kata Doni pula.
Doni menambahkan, emping termasuk yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Itu artinya, jika kualitas pengolahan emping Enggano bisa ditingkatkan, bukan tidak mungkin bisa menembus pasar yang lebih luas.
“Bisa ke _platform e-commerce_. Nanti bisa kita jual di sana. Termasuk kanal ‘pasar UMKM’, dan ekspor. Tapi syaratnya kualitas harus memenuhi standar, hiegienis, serta packaging yang menarik. Jadi proses produksinya harus ketat agar menghasilkan emping berkualitas,” papar Doni, yang juga Komisaris PT Mind ID itu.
Selain emping, Enggano juga terkenal dengan pisang kepok-nya. Jika kita ke Enggano naik Susi Air, sebelum mendarat di bandara Desa Banjar Sari, kita akan disuguhi hamparan pemandangan kebun pisang yang maha luas.
Potensi pisang Enggano berlimpah. Dalam satu minggu bisa menghasilkan 300 ton. Harga per tandan di kisaran Rp 12.500 hingga Rp 25.000.
Sementara, di Jakarta uang Rp 25.000 hanya dapat satu atau dua sisir pisang kepok. Pisang kepok ini juga sangat bagus untuk dijadikan tepung pisang sebagai bahan kue atau makanan bayi.
Siapa sangka, “raja pisang” dari Enggano ternyata pendatang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kisah turun-temurun menyebutkan, para pelaut tangguh Bugis itu sudah menginjakkan kaki di tanah Enggano lebih dari seabad yang lalu.
Awalnya, orang-orang Bugis tadi bertani dan melaut sebagai nelayan. Kurang lebih 10 – 15 tahun lalu, pelan-pelan konsentrasi mereka beralih ke sektor perkebunan, utamanya kebun pisang. Pisang kepok. Kini produksi pisang kepoknya berhasil menjadi komoditi unggulan Enggano.
Camat Enggano Susanto sempat menyambungkan teleponnya dengan seorang bernama Tantu asal Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Saya berbicara dalam bahasa Bugis yang kental. Tantu mengaku termasuk Bugis yang mengawali perkebunan pisang 12 tahun lalu. Tantu bersama keluarga sudah menjadi warga Enggano sejak 30 tahun lalu.
Atas potensi daerahnya, Camat Enggano Susanto menyampaikan keluhannya kepada Doni Monardo, ihwal sarana transportasi yang terbatas. “Dalam satu minggu hanya ada satu atau dua kapal dari Enggano ke Bengkulu dan sebaliknya,” keluhnya.
Kelapa Muda
Komoditi lain Enggano yang cukup berlimpah adalah kelapa. Yang menarik, di Enggano tidak ada yang “menjual” kelapa muda. Artinya, jika Anda menghendaki kelapa muda, masyarakat akan memetikkannya gratis. “Kami selama ini hanya menjual kelapa tua,” ujar Susanto yang sebelum menjabat camat adalah guru sekolah.
Doni Monardo sempat terheran-heran dengan fenomena itu. Apalagi, menurut Doni, kelapa muda Enggano adalah yang terenak yang pernah ia rasakan. “Airnya sangat manis. Sebelum minum kelapa muda Enggano, saya mengira kelapa muda termanis airnya adalah kelapa muda Maluku. Tapi hari ini, di Enggano, saya nemu kelapa muda yang sama enaknya dengan kelapa muda Maluku,” ujar Doni sambil tertawa.
Doni bahkan berani mengatakan, kelapa muda Enggano bisa menembus pasar ibu kota Jakarta. Apalagi di bulan Ramadhan, saat permintaan kelapa muda naik drastis.
Ke depan, kelapa muda Enggano harus dipersiapkan untuk bisa menembus pasar yang lebih luas. “Persiapkan dari sekarang. Harus dihitung nilai ekonomisnya, termasuk biaya angkut ke Jakarta yang relatit dekat, hanya sekitar 500 km. Di Jakarta dan sekitarnya, harga per butir kelapa muda antara sepuluh ribu sampai lima belas ribu rupiah,” katanya.
Kepada Camat Susanto, Doni minta supaya ada semacam badan usaha desa atau badan usaha kecamatan. Mereka bertindak selaku pengepul kelapa muda. “Jadi selain untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, kelapa muda Enggano bisa dijual ke daerah lain, terutama Jabotabek,” kata Doni.
Turis Air
Dalam kunjungan ke Enggano, Doni Monardo juga mengajak serta praktisi pariwisata dari Pacto. “Saya juga mengajak pak Connie. Beliau dari Pacto,” ujar Doni.
Pacto Destination Management Company (DMC) bukan nama baru di blantika pariwisata Indonesia. Namanya bahkan sudah mendunia. Selama ini Pacto dikenal banyak mengangkat destinasi pariwisata unik, yang mampu memberikan pengalaman definitif untuk menemukan keragaman budaya dan lanskap Indonesia yang menakjubkan.
Pacto memiliki cabang usaha di sejumlah daerah wisata, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. “Yang utama, kami berusaha hadir dengan standar pelayanan sama di seluruh negeri,” ujar Connie.
Dihubungi sepulang dari Enggano, Connie ternyata telah membuat sejumlah catatan. Beberapa point yang ia sampaikan antara lain, bahwa Enggano cocok untuk “turis air”. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Enggano, Connie langsung beraksi mengambil foto dari berbagai angle.
“Jadi untuk turis air, sudah siap. Ada dua desa yang sangat bagus untuk scuba,” ujarnya.
Perahu yang ada juga dinilai bagus dan layak untuk turis. Meski begitu ia setuju usulan Doni Monardo, untuk memberi atap.
“Kalau soal life vest, kemarin juga saya lihat sudah tersedia. Saya lihat ada life vest Kemenhub. Itu syarat keselamatan, maka harus ada, dan bukan soal sulit. Untuk penyediaan life vest, kita bekerjasama dengan KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) dan Pemda serta semua yang terlibat,” papar Connie.
Hal lain yang menjadi perhatian Connie adalah aspek kerajinan. Di Enggano, Connie menemukan salah satu kerajinan tangan (handicraft) yang unik, yaitu tas dari sabut kelapa. “Bentuknya unik, tapi fungsinya belum,” begitu Conni memberi ulasan.
Karena itu, Connie mengundang perajin tas dari sabut kelapa untuk hadir di pameran kerajinan terbesar di Indonesia, Inacraft.
“Pas kami ke sana, Inacraft baru saja selesai. Jadi tahun depan, kami sudah janji akan datangkan ke Inacraft, supaya ada wawasan tentang desain serta mendapat gambaran bagaimana usaha kerajinan yang sudah sangat berkembang di daerah-daerah lain,” pungkas Connie.
Ikuti terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menarik disimak.
Tabik.
*) Egy Massadiah, jurnalis senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”_