BANDUNG – “Forum Cisanti” yang digelar Sabtu (26/3/2022) menjadi ajang silaturahmi penggagas program Citarum Harum Letjen TNI Purn Doni Monardo dengan tokoh-tokoh lintas sektoral yang menjadi pionir program.
Sayang ada beberapa tokoh yang berhalangan. Satu di antaranya Ir Supardiyono Sobirin, penggiat lingkungan yang gigih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat berbicara di hadapan hadirin, Doni Monardo sempat menyinggung nama Sobirin, dikaitkan dengan strategi penugasan prajurit Siliwangi untuk hidup dan tinggal bersama masyarakat yang hidup di sepanjang bantaran Sungai Citarum.
Saat itu Doni mengisahkan pertemuannya dengan Sobirin dan aktivis lingkungan lain. Sobirin-lah yang mengangkat puisi filosofi Lau Tze.
Nah, dihubungi pasca “silaturahmi Cisanti”, Sobirin mengaku mendapat undangan, tetapi sayangnya ia sudah ada agenda lain yang bersamaan waktunya.
“Saya sudah WA pak Doni, pamit. Saya bahkan menulis, semoga kehadiran bapak Doni akan menghidupkan kembali Spirit Citarum Harum. Satu komando, bersama rakyat,” kata Sobirin, Anggota Tim Ahli Satuan Tugas Citarum Harum.
Ia pun mengilas peristiwa akhir 2017, saat pertama kali jumpa Doni Monardo, yang saat itu Pangdam III/Siliwangi. “Waktu itu Ipong Witono dari Wanadri menemui saya dan mengatakan, ‘Pak Sobirin, main yuk ke tempat Pangdam. Kita makan malam’. Eh, ternyata di sana banyak aktivis lingkungan lain. Masing-masing disuruh bicara tentang Citarum,” kenangnya.
“Giliran pak Sobirin, mau bicara apa tentang Citarum,” kata Pangdam Doni Monardo. Sobirin yang mantan Kepala Litbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR itu paham betul kondisi Citarum.
Saat itu, Sobirin merasa sudah banyak yang berbicara mengenai Citarum. Dan tiba-tiba saja ia teringat filosofi Lao Tze, seorang filosof Tiongkok yang hidup pada era 570 – 470 SM (Sebelum Masehi). Sebuah filosofi yang menurutnya sangat puitis.
Setelah merenung sejenak, Sobirin menjawab pertanyaan Doni Monardo. “Saya hanya bisa membaca puisi, pak Doni….” Lalu Sobirin pun membacakan filosofi puitis karya Lao Tze tadi.
Begini narasinya: Pergi dan temuilah masyarakatmu/ Hiduplah dan tinggallah bersama mereka/ Cintai dan berkaryalah dengan mereka/ Mulailah denga napa yang mereka miliki dan dengan apa yang mereka ketahui/ Buatlah rencana dan bangunlah rencana itu/ Sampai akhirnya/ Ketika pekerjaan itu usai/ Mereka akan berkata “Kami yang telah mengerjakannya!”
Saya sampaikan bahwa puisi itu sejatinya merupakan ruh dari Siliwangi. Lulusan Geologi ITB tahun 1970 itu adalah “anak kolong”.
“Tahun 1962 kami pindah ke Bandung. Ayah saya juga tentara, meski pangkat letnan. Jadi saya mengikuti kisah heroik pasukan Siliwangi sejak zaman perang mempertahankan kemerdekaan dan sejarahnya,” tutur Sobirin.
Ia pu mengisahkan sejarah ketika pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pasca penandatanganan perjanjian Renville 17 Januari 1948.
Butir ketiga perjanjian Renville itu menyebutkan, “TNI di wilayah kantong Belanda, yakni Jawa Barat dan Jawa Timur harus ditarik mundur untuk masuk ke wilayah Republik Indonesia di Yogyakarta.” Maka, Divisi Siliwangi pun hijrah ke Yogya, yang ketika itu Ibukota Negara.
Meski begitu, tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan. Sesuai perintah Jenderal Sudirman, sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda untuk tetap menjaga de facto wilayah RI di Banten dan Jawa Barat.
Nah, saat hijrah ke Yogya maupun saat kembali ke Jawa Barat 20 Desember 1948 pasukan Siliwangi melakukan long march. “Perjalanan jalan kaki Bandung Yogya dan sebaliknya, tentu memakan waktu berhari-hari.
Sejak itu pula sejatinya pasukan Siliwangi benar-benar menyatu dengan rakyat. Hidup dan makan bersama rakyat,” tutur Sobirin.
Itu artinya, untuk hidup dan tinggal bersama rakyat, bagi prajurit Siliwangi adalah sebuah tradisi sejarah yang tak boleh dilupakan. Hanya dengan hidup bersama rakyat, maka prajurit akan menyelami isi hati dan kepala rakyat.
Tidak hanya menyandingkan puisi filosofi Lao Tze dengan sejarah long march pasukan Siliwangi. Sobirin bahkan mengupas lebih dalam mengenai ajaran Prabu Siliwangi.
“Jika kita sandingkan dengan kepemimpinan Siliwangi, filosofi Lao Tze tadi ternyata klop,” tambah pria kelahiran Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah itu.
Silihwangi, bermakna silih (saling) dan wangi (harum), saling mengharumkan. Konsep kepemimpinan Prabu Siliwangi adalah silih asih, silih asah, silih asuh, dan silih wangi.
Konsep ajaran leluhur Siliwangi itu bahkan terpahat kuat di jembatan penghubung antara Makodam dengan bangunan di seberangnya. Jelas terbaca Silih Asih Silih Asah Silih Asuh.
Silih Asih menjadi yang utama, yakni saling mengasihi. Implementasinya adalah merangkul, saling percaya, saling membantu, gotong royong. Setelah itu Silih Asah, yakni membangun tradisi musyawarah jika terjadai gesekan atau permasalahan.
Terakhir adalah silih asuh, yakni sikap memberi dukungan atau dorongan untuk berkembang. Mirip makna “tut wuri handayani” dalam falsafah Ki Hajar Dewantara.
“Yang terkahir, dan ini jarang disebut orang adalah silih wangi. Yakni saling mengharumkan. Pengertiannya menjaga nama baik, menjaga kepercayaan dan kesejahteraan,” ujar Sobirin seraya menambahkan, “tinggal dipungkasi dengan pesan pak Doni, kita jaga alam, alam jaga kita. Tepat sekali.”
Sobirin menyampaikan hal itu saat pertama bertemu Doni Monardo, yang kemudian diimplementasikan dengan pembentukan sektor-sektor.
Diangkatlah perwira menengah khusus untuk menjadi Komandan Sektor (Dan Sektor). Setiap komandan sektor dibantu sejumlah prajurit tamtama dan bintara. Mereka kemudian hidup dan tinggal di rumah-rumah penduduk.
“Jadi, kehadiran pak Doni ke Cisanti tempo hari, yakni setelah tiga tahun Perpres berlaku, menurut saya itu sebagai usaha beliau untuk menyalakan kembali spirit Citarum Harum. Saya kira di sana pak Doni juga pasti kembali menyinggung soal stigma sungai terkotor yang viral ke seluruh dunia. Saya setuju, itu benar-benar menghina Ibu Pertiwi. Sungai Citarum adalah sumber kehidupan dan peradaban, utamanya masyarakat Jawa Barat. Jika Citarum bagus, maka kehidupan masyarakat di sekitarnya juga akan bagus. Itu rumus,” papar Sobirin. (Roso Daras)