ikut bergabung

Kisah Insipiratif Kopi Kapal Api


Citizen

Kisah Insipiratif Kopi Kapal Api

Karena “Gila”, Kapal Api Mendunia

SURABAYA – Pernah dengar merek kopi kapal api? Pernah minum kopi kapal api? Ternyata di balik kesuksesan kopi kapal api ada sosok yang nekad dan “gila”, seorang mantan supir bemo.

Adalah kopi Kapal Api, yang menjelma menjadi penguasa pasar melalui kerja keras dan kerja konsisten.

Arek Sempel

Soedomo Mergonoto, CEO PT Kapal Api Global pernah dituding sebagai “arek sempel” ketika tahun 1982 nekad mengimpor mesin roasting kopi seharga Rp 137 juta, sementara alat kopi lokal bisa didapat dengan harga Rp1,7 juta saja. Tapi itu kisah di paruh tengah perjalanan perjuangan kopi kapal api.

Kapal Api adalah bisnis kopi rumahan yang dikelola orang tua Soedomo, yaitu Go Soe Loet dan Poo Guan Cuan, sejak tahun 1927.

Itu artinya, cikal-bakal kopi kapal api sudah ada sejak zaman penjajahan. Zaman Indonesia masih dikuasai Belanda, dan bernama Hindia Belanda.

Anda mungkin bertanya ihwal nama “Kapal Api” yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kopi. Mirip-mirip Djarum yang tidak ada sangkut pautnya dengan rokok.

Begini kisahnya. Adalah ayah Soedomo, Go Soe Loet yang menentukan nama “Kapal Api” sebagai “brand” produk kopi rumahan, saat itu (1927).

Rupanya, nama itu erat dengan kenangan alat transportasi yang digunakan pria asal Fujian, China itu saat berlayar sampai di Indonesia. Go Soe Loet dan dua saudaranya naik kapal api ke Hindia Belanda tahun 20-an.

Baca Juga :   SD Negeri Borong Bukan Sekolah Kaleng-Kaleng

Ia memulai usaha kopi itu dilakukan di rumahnya yang tidak terlalu besar, hanya berukuran 7 x 70 meter di daerah pecinan, Jl Panggung, Surabaya.

Jika Anda ke Jalan Panggung hari ini, suasanya sudah sangat bagus. Oleh pemerintah Kota Surabaya, kawasan Jalan Panggung dan sekitarnya sudah dicat warna-warni dengan menjaga orisinalitas bangunan tua khas heritage Pecinan.

Alkisah, Indonesia merdeka 1945. Kurang lebih 20 tahun kemudian, Soedomo yang terlahir dengan nama Go Tek Whie, diminta membantu usaha orang tuanya, mengurus usaha kopi.

“Saya masih sekolah, lalu sempat kerja di tempat orang lain satu tahun. Kalau hari libur, Sabtu dan Minggu, saya narik bemo rute Jembatan Merah ke Wonokromo, lalu ke Mojokerto,” ujar Soedomo, mengenang masa remajanya yang tinggal tak jauh dari terminal Jembatan Merah, Surabaya.

Barulah di tahun 1967, Soedomo mulai agak intens membantu orang tua. Jangan Anda bayangkan ia membantu sebagai tenaga ahli, atau pelaksana manajemen.

“Saya anak kampung, bukan anak kuliahan. Jadi, cara membantu orang tua ya antara lain dengan menjadi salesman. Keliling kampung dan pelabuhan Tanjung Perak jual kopi pakai sepeda onthel,” kenan lelaki kelahiran Surabaya 3 Juni 1950, itu.

dibaca : 229

Laman: 1 2 3 4 5 6



Komentar Anda

Berita lainnya Citizen

Populer Minggu ini

Arsip

To Top