RUMPUT masih basah usai disiram hujan sepagian. Bus yang membawa rombongan DPP Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dari Semarang ke Kudus, berhenti di jalur pantura Demak, Jawa Tengah. Tepatnya di kecamatan Karanganyar atau sekitar 18 km lagi perbatasan kota Kudus.
“Untung hujan sudah reda, jadi bisa mengagendakan Pak Doni melihat dari dekat pohon-pohon trembesi yang ditanam Djarum di sepanjang jalur pantura Jawa Tengah ini bibitnya dari Pak Doni,” ujar Murodo, wakil dari manajemen PT Djarum yang berperan sebagai LO (liaison officer) selama kunjungan PPAD di Semarang dan Kudus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sehari-hari, Murodo bekerja di Djarum Semarang (PT Sumber Cipta Multiniaga).
Masih di bawah gerimis tipis, Doni Monardo turun bus. Langsung menghambur ke bantaran sungai yang membujur seiring jalur jalan.
Pelintas jalur pantura Jawa Tengah pasti sangat akrab dengan sungai yang membujur di sebelah utara jalan. Nama sungai itu Sungai Jajar. Ia merupakan anak Sungai Serang.
Sungai Serang terbilang sungai terbesar yang melintas wilayah Demak dan sekitarnya. Hulu sungai ini berada di lereng gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali dan bermuara di Laut Jawa Kabupaten Jepara.
Aliran Sungai Serang melintasi wilayah Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Jepara.
Satu pohon trembesi mendapat peluk dan tepuk hangat Doni, mewakili ribuan trembesi yang menghijaukan jalur Pantura Jawa Tengah itu.
Doni dan sebagian rombongan yang turut serta menghambur di bantaran Sungai Jajar, mendapat penjelasan dari Aldi, staf Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) Djarum Foundation.
Aldi mengilas-ringkas tentang program bakti lingkungan Djarum Foundation. Terkait pembibitan, Djarum Foundation menyiapkan lahan khusus yang dinamakan Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) untuk program penanaman dan perawatan tanaman.
“Diawali kerja sama penanaman trembesi bersama pak Doni Monardo tahun 2010, ijin program itu terus kami kembangkan hingga hari ini dan ke depan,” ujarnya.
Bibit-bibit trembesi dari Doni Monardo tahun 2010, kini telah dikembangkan ke program besar penanaman trembesi pada bentang 1.350 km jalur Merak hingga Banyuwangi. Program itu sudah dilakukan antara tahun 2010–2015.
“Jadi, pohon yang bapak peluk tadi, itu kami tanam tahun 2010. Djarum Foundation juga merawat pohon-pohon ini. Ada mobil khusus yang kami gunakan untuk memotong dahan dan ranting. Hasil potongan dahan dan ranting trembesi itu lalu kami olah menjadi bahan kompos,” papar Aldi.
Ditambahkan, sejak tahun 2010 hingga 2015, Djarum Trees For Life telah berhasil menanam 41.758 pohon trembesi di jalur Pantai Utara Pulau Jawa, dan melakukan perawatan terhadap seluruh pohon. Selain itu, di awal tahun 2016, Djarum Trees For Life berkomitmen menanam 20.000 pohon trembesi di jalur lingkar Pulau Madura.
Bukan hanya itu. Djarum Trees For Life juga menanam trembesi di ruas jalan tol Cipali sebanyak 12.979 batang.
“Kami harap bisa menjadi ruang terbuka hijau di ruas tol Cipali,” kata Aldi.
Program itu akan dilanjutkan ke sepanjang jalan tol trans Jawa, dan ke depan, juga sudah direnanakan untuk menanam trembesi di sepanjang jalur tol Trans Sumatera.
Aksi lingkungan lain yang dilakukan Djarum Foundation adalah konservasi lereng Gunung Muria. Konservasi dimaksud menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan mencegah bencana alam akibat penggundulan hutan. Sejak 2006, Djarum telah menanam lebih dari 56.350 pohon bermacam jenis.
Gerimis menebal. Doni dan rombongan memasuki bus. Paparan dilanjutkan di dalam kabin bus dalam lanjutan sisa perjalanan ke komplek PT Djarum Kudus.
Di kantor utama PT Djarum Kudus lantai 2, telah siap ruang video-conference antara Doni Monardo (dan staf PPAD). Chief Operating Officer PT Djarum, Victor Rachmad Hartono tengah berada di luar negeri, mendampingi pengobatan orang tuanya.
Orang tua Victor merupakan generasi kedua perusahaan rokok yang didirikan oleh Oei Wie Gwan pada 21 April 1951 di Kudus, Jawa Tengah.
Peralihan generasi pertama Djarum ke generasi kedua terjadi pada 1963 setelah Oei Wie Gwan meninggal. Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, anak Oei Wie Gwan, melanjutkan bisnis ayahnya tersebut.
Rapat PPAD dengan Djarum siang itu juga dihadiri jajaran pimpinan dan staf PT Djarum. Tampak di antara mereka Yan Haryadi Susanto.
Doni Monardo yang mendapat kesempatan pertama berbicara, bernostalgia ke moment penting tahun 2010 – 2011 ketika ia menjabat Danrem 061/Surya Kencana, Bogor.
Tiba satu kesempatan, bundel album tentang pohon dan bibit tanaman, sampai ke tangan Victor. Lalu, dijajagilah kerjasama. Dari Djarum akhirnya berkunjung ke kebun bibit Doni Monardo di Sentul, Kabupaten Bogor.
“Saat itu, saya sudah punya sekitar 50.000 bibit trembesi yang tersemai, ditambah sekitar 40.000 bibit sengon,” ungkap Doni.
Kala itu, pihak Djarum tidak membayangkan sama sekali, Doni sudah merintis pembibitan trembesi.
“Itulah cikal bakal kerjasama saya dengan Djarum 12 tahun lalu. Djarum membantu lima ratus juta untuk biaya penanaman 100.000 pohon trembesi di wilayah Korem Surya Kencana,” kata Doni seraya menambahkan, “itu pertama kali saya diberi kepercayaan oleh Djarum melakukan penghijauan di Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.”
Kini, 12 tahun kemudian, pohon-pohon itu sudah tumbuh subur dengan bentang kanopi antara 10–15 meter, dan mampu menyerap 28,5 ton karbon.
“Baru-baru ini kita mendengar bagaimana dunia melakukan strategi pengurangan emisi dengan trembesi. Djarum sudah melakukannya belasan tahun yang lalu, dan itu adalah pilihan pohon yang tepat untuk menghadapi perubahan iklim,” papar Doni.
Saat Doni Monardo menjabat Komandan Paspampres (2012–2014), ia bahkan menyampaikan langsung kepada Presiden SBY, ihwal Djarum yang memilih trembesi sebagai icon dalam program penghijauan yang dilakukannya.
Nah, di luar program penanaman trembesi Djarum dan Korem 061/Surya Kencana, Doni mendapat kabar dari Yan Haryadi Susanto ihwal penanaman trembesi di sepanjang Pantura.
Sebab, jalur pantura memang relatif tandus, dibanding jalur selatan Jawa. Ketika itu, program penghijauan sama sekali belum menjadi perhatian pemerintah daerah.
Apa yang dilakukan Djarum tahun 2010– 2011, ada yang memandang sebelah mata. Tapi hari ini, kata Doni, semua mata bisa menyaksikan betapa hijau dan rindang jalur Pantura.
“Djarum tidak hanya menanam, tapi juga merawat. Bahkan saya dengar dan lihat sendiri, Djarum mengerahkan kendaraan untuk memangkas dahan dan ranting trembesi di Pantura. Ini bukti tanggung jawab sosial yang sangat berarti bangsa Tanah Air,” kata Doni Monardo.
Di layar, tampak Victor mengikuti paparan Doni secara virtual dengan cermat. Termasuk ketika Doni meminta maaf kepada Victor karena belum berhasil mendapatkan trembesi kuning yang diminta.
“Maaf pak Victor, saya belum menemukan trembesi kuning yang bapak minta. Saya sudah dapat bijinya, tapi setelah disemai, kembali tumbuhnya hijau. Jadi ada kemungkinan trembesi kuning adalah efek gangguan genetic, pak…. Tapi masih kami pelajari,” kata Doni.
Doni melanjutkan, “Saya masih mengerahkan anak-anak ke berbagai daerah untuk mendapatkan trembesi kuning,” katanya. Di layar, tampak Victor berterima kasih dengan salam namaste sambil tertawa senang.
Kepada Victor di layar, serta Yan Haryadi yang duduk di sebelah, Doni menyampaikan apresiasinya terhadap Djarum. Djarum tidak saja dikenal sebagai produsen rokok, tetapi mulai dikenal karena business development yang dikembangkan.
Ditambah aneka program CSR yang terbukti membantu masyarakat dan negara, baik di bidang lingkungan, pendidikan, UKM, olahraga, seni-budaya, dan lain-lain.
“Pertanyaan saya, apakah bersedia Djarum merambah ke sektor rempah-rempah,” tanya Doni kepada Victor.
Sebagai ilustrasi, Doni mengilas waktu ke kurun abad ke-17 da, 18, saat rempah-rempah menjadi komoditi perdagangan dunia.
“Suatu hari saat saya ke Singapura, saya masuk ke salah tempat, lupa namanya. Nah di salah satu koridor ada konten tentang proses sejarah rempah,” katanya.
Terkuak pula kisah VOC yang mengangkut rempah-rempah dari Nusantara, kemudian melintasi Singapura, yang abad ke-13 masih bernama Temasek. Temasek adalah bahasa Jawa Kuno yang artinya Kota Laut. Kata Temasek sendiri merupakan serapan bahasa Melayu. Tasek artinya Danau.
Nah, di Sentosa Island, terdapat gambar-gambar kapal VOC tengah berlayar, serta penggambaran rute dari Indonesia bagian timur, Maluku, Maluku Utara, Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Semua kapal VOC singgah di Pelabuhan Singapura, sebelum melanjutkan pelayaran ke Eropa.
Lalu tahun 2015 Doni menjadi Pangdam XVI/Pattimura di Ambon. Di sana ia mendapatkan sejumlah data, serta melihat secara fisik, ada lebih dari 70 benteng. Benteng-benteng itu ada yang peninggalan Belanda, Inggris, Perancis, bahkan Spanyol.
“Dan hari ini bisa di-search di Google, VOC menjadi perusahaan terkaya di dunia. Asetnya mencapai 7,9 triliun dollar Amerika,” ujar Doni.
Jika dirupiahkan, asset VOC lebih dari 118 kuadriliun rupiah. Satu kuadraliun sama dengan 1.000 triliun. “Bayangkan, APBN negara kita kita saja hanya sekitar 2.700 triliun rupiah,” kata Doni.
Makin lengkap saja informasi yang diterima Doni, saat Mei 2019 mengunjungi Belanda. Di Amsterdam. Ia menemukan bangunan klasik dengan tulisan “Specerijenmagazijn Indie’s Velvaren”, yang artinya “Gudang rempah, harta kekayaan melimpah dari bumi Indonesia”.
“Kalimat pengakuan oleh bangsa Belanda, bahwa mereka menjadi kuat dan kaya raya karena rempah-rempah Indonesia,” ujar Doni dan menambahkan, “yang saya pikir, bagaimana pengusaha nasional yang sudah kuat secara finansial, mengangkat kembali rempah-rempah menjadi komoditi unggulan Indonesia.
Terlebih, Presiden menaruh perhatian yang sangat besar terhadap rempah-rempah. Menteri Pertanian sudah mendapat tugas untuk itu. Terkait program itu, Doni berharap Djarum bisa memulainya dengan mengadakan program pelatihan terhadap kaum milenial. Merekalah yang nanti menjadi ujung tombak untuk penetrasi ke pasar global.
Rempah-rempah juga berpotensi menjadi kekuatan di bidang kesehatan bangsa Indonesia. Rempah terbukti mampu meningkatkan imunitas tubuh manusia. “Banyak tanaman obat yang kita miliki. Jadi seyogianya kita tidak terlalu tertantung pada obat-obat impor,” ujar Doni.
Doni menyebut, minyak atsiri jika dikemas menjadi berbagai varian produk, memiliki potensi besar untuk masuk pasar global, karena sangat khas. Termasuk bisa digunakan sebagai bahan dasar parfum.
“Sulingan kulit kayu masohi bahkan digunakan untuk bahan baku parfum Hermes yang sangat terkenal dan mahal itu,” tambah Doni.
Perlu menjadi perhatian, bangsa kita belum menggerakkan potensi sumber daya alam menjadi kekuatan ekonomi.
“Perlu ada kekuatan besar yang bisa menggerakkan proses pengolahan rempah menjadi barang jadi,” katanya.
Rempah tidak saja memiliki nilai ekonomi, tetapi juga vegetasi. Ia bisa mengatasi problem ekosistem. Saat ini banyak lahan di ketinggian tertentu, dibabat pepohonannya diganti tanaman semusing seperti kentang, jagung, wortel, dan lain sebagainya.
“Yang terjadi kemudian, saat hujan besar dalam intensitas yang lama, terjadi longsor dan mendatangkan bencana bagi masyarakat,” katanya.
Belum lagi bicara kopi. Potensi kopi Indonesia sangat besar. Harusnya kita bisa menguasai pasar kopi dunia. Saat ini brand kopi dikuasai Amerika, padahal mereka tidak punya kebun kopi. Ironis.
Belum lagi sagu. Ada potensi lahan sagu seluas 5,2 juta hektare yang belum diolah. “Kami terbentur pendanaan untuk membiayai pendirian pabrik. Melihat potensinya, harus ada pabrik-pabrik pengolahan sagu di Papua,” kata Doni pula.
Fakta lain, kita juga dihadapkan pada aspek pencemaran sungai, bahkan laut. Hampir semua sungai mengandung logam berat, mercuri, sianida, dan lain-lain.
Suatu ketika, saat Doni Monardo menjabat Pangdam III/Siliwangi, ia mendapati fakta, Sungai Citarum menjadi salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Ditambah statistik warga dengan penyakit gangguan jiwa di Jawa Barat umumnya tinggal di daerah-daerah yang tak jauh dari bantaran sungai. Melalui kerjasama dan kolaborasi banyak pihak, kondisi Citarum saat ini menjadi jauh lebih baik.
Pencemaran terhadap sumber air, adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Selain mendatangkan persoalan lingkungan, juga bisa merusak kesehatan masyarakat. Banyak kasus penyakit hingga problem stunting, diakibatkan karena masalah air.
“Jika persoalan ini tak mendapat perhatian serius, maka angan-angan Indonesia Emas bisa menjadi Indonesia cemas,” tutur Doni.
Terkait persoalan di atas, Doni meminta Victor yang sudah terbukti dan sudah berbuat nyata bagi lingkungan, dapat mengambil peran serta, melalui CSR Djarum Foundation.
“Siapa tahu, Djarum berkenan masuk ke proses value added rempah Indonesia. Termasuk barangkali meminati pengolahan sagu,” tambahnya.
Terakhir, Doni mengilas-ringkas program kesejahteraan yang digulirkan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PPAD. Dengan keanggotaan yang tersebar di seluruh Indonesia, PPAD adalah sebuah potensi terbuka yang belum dioptimalkan. Berbeda dengan era terdahulu, maka sejak kepemimpinan Doni (2021–2026), setiap anggota TNI-AD mulai dari tamtama, bintara sampai perwira yang pensiun, otomatis menjadi anggota PPAD.
Usia pensiun tamtama dan bintara masih di kisaran 50-an tahun, usia yang masih produktif. Pihaknya telah memberi masukan kepada Kepala Staf TNI-AD, tentang program pelatihan bagi setiap prajurit TNI-AD yang menjelang pensiun.
“Intinya, banyak program PPAD yang bisa dikerjasamakan dengan Djarum yang sudah lebih dulu bekerja sama dengan Budiasi untuk budidaya trembesi. Masih banyak peluang terbuka yang bisa dikerjasamakan,” pungkas Doni Monardo.
Teori Rockefeller
Victor Hartono menanggapi antusias paparan sahabat lamanya, Doni Monardo. Ia mengakui, ekspor rempah Indonesia masih sangat kecil, dibanding apa yang diungkapkan Doni di era penjajahan Belanda dulu. Saat ini, rempah-rempah kita diekspor ke Amerika Serikat, China, India, Vietnam, dan Belanda.
Yang ia herankan adalah organisasi pengusaha rempah yang dinilainya kurang inovatif, sehingga sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, gagal menaikkan pamor rempah ke pentas dunia.
“Izin lapor pak Doni, Djarum pernah dan sudah masuk ke rempah. Sejak tahun 90-an, kami punya penyulingan rempah di Lampung tapi terus terang kurang sukses,” kata Victor.
Sejumlah komoditi rempah pernah disuling, antara lain pala, merica hitam, dan beberapa jenis rempah lain dari wilayah Sumatera.
“Selain Djarum, saya juga tahu ada sejumlah pemain rempah yang lain, baik di Semarang maupun di tempat lain. Ada dua atau tiga, dan secara nasional pemain rempah di Indonesia memang tidak banyak,” katanya.
Karena itu, Victor kembali menggugat asosiasi rempah yang tampak lemah. Padahal, kalau para pengolah rempah di Semarang, Jakarta, Lampung dan daerah lain kompak, Indonesia bisa lebih maju.
“Saya kadang bertanya, ini yang mimpin organisasi rempah-rempah Indonesia siapa sih?” kata Victor serius.
Prinsipnya, tambah Victor, Djarum akan terus memberi bantuan. Termasuk ide besar di bidang rempah, meski Victor mengakui, ia kurang jago.
“Tapi saya tahu masalahnya adalah konsistensi kualitas. Kalau ada yang bisa menjaga konsistensi kualitas, saya kira rempah bisa naik lagi,” katanya.
Kepada Doni Monardo, Victor minta waktu untuk mempelajari lebih dalam. Termasuk potensi sagu.
“Daripada janji surga, lebih baik saya pelajari dulu. Yang pasti, saya setuju bahwa rempah punya potensi luar biasa. Soal sagu, ini pun akan menjadi bahan pelajaran bagi saya. Sebab saya belum pernah masuk ranah ini. Setahu saya, sagu sulit tumbuh di tempat lain. Problemnya adalah potensi besar tapi penggunanya kecil,” papar Victor.
Langkah yang akan ditempuh Victor antara lain menjajagi bentuk kontribusi yang bisa diberikan Djarum. Jika perlu, Djarum akan mengajak serta Doni Monardo, dalam hal ini PPAD untuk melakukan riset bersama.
“Kita undang pakar sagu, pakar atsiri, kita sama-sama mencari formula, termasuk yang jago di bidang pemasaran. Intinya, saya bersedia bantu pak Doni,” ujar Victor.
Yang ada di benak Victor, terkait sagu harus dikembangkan inovasi produk yang lebih mudah terserap pasar, seperti menjadikan roti, mie instan, dan lain-lain.
“Saya jadi ingat strategi dan filosofi bisnis Rockefeller. Mungkin itu bisa kita tiru,” tutur Victor.
John Davison Rockefeller (8 Juli 1839 – 23 Mei 1937) adalah seorang pebisnis Amerika Serikat. Ia memiliki perusahaan minyak yang bernama Standard Oil, yang menjual minyak di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Ia merupakan miliarder pertama dalam sejarah dunia dan dianggap sebagai orang terkaya dalam sejarah Amerika, dan mungkin orang terkaya dalam sejarah dunia.
Rockefeller sebagai pengusaha minyak, berkepentingan untuk meningkatkan daya serap pasar. Untuk itu, ia membiayai riset mobil, lalu riset pembuatan generator listrik yang menggunakan minyak, dan lain-lain. Yang terjadi kemudian, semua hasil risetnya selain memberi kontribusi bagi perkembangan peradaban manusia, juga meningkatkan pasar minyak.
Permintaan minyak meroket. Bisnisnya meledak, dan ia menjadi orang terkaya. “Nah, logikanya sama dengan sagu dan rempah. Harusnya kita mengadakan riset bikin produk sampai jadi sehingga permintaan pasar meningkat. Jika itu berhasil, maka dijamin industri sagu dan rempah pun akan sukses besar,” ujar Victor optimistis.
Sebelum mengakhiri tanggapannya, Victor menyinggung sedikit soal kopi. “Kopi kita sudah masuk, pak Doni. Silakan dicoba kopi produk Djarum, pak….,” katanya sambil tertawa.
Benar kata Victor. Bisnis kopi dalam negeri semakin ramai dengan munculnya pemain baru. Salah satunya yakni Kopi Gadjah, besutan PT Sumber Kopi Prima yang terafiliasi dengan Grup Djarum.
Perusahaan kopi grup Djarum mini memiliki pabrik di Kudus (Jawa Tengah) dan Mojokerto (Jawa Timur). Sebelum Kopi Gajah, Sumber Kopi Prima sudah lebih dulu merilis produk kopi instan 3-in-1 merek Caffino.