BATAM, UJUNGJARI.COM–Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), menggelar uji kompetensi jurnalis (UKJ) Sabtu-Minggu (12-13/2). Sebanyak 18 jurnalis berbagai jenjang menjadi peserta.
UKJ kali ini merupakan hasil kerja sama AJI Indonesia dengan Kedutaan Besar Australia.
Sehaei sebelum UKJ, peserta telah mengikuti workshop bertema Etik dan Profesionalisme Jurnalis.
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim, mengatakan, persoalan etik dan profesionalisme adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja jurnalistik.
Dua hal itu yang menjaga jurnalis agar tidak terjerumus atau terjebak dalam malapraktik.
Terlebih, di tengah disrupsi digital, potensi jurnalis terjerumus cukup besar, dan di tengah gempuran aliran informasi saat ini hal itu jadi tantangan bagi jurnalis melakukan verifikasi dan kerja-kerja jurnalistiknya.
“Memang era digital memberi kemudahan kerja-kerja jurnalis. Di sisi lain juga membuat kita harus meningkatkan kompetensi untuk mengimbangi dan menjawab tantangan di era digital ini,” katanya.
Dia menuturkan, melalui workshop, para peserta UKJ berkesempatan untuk berdialog dan belajar dari narasumber yang dihadirkan soal etik dan profesionalisme jurnalis.
Emma Bourke dari Kedutaan Besar Australia, mengungkapkan pihaknya memahami bahwa di masa pandemi Covid-19 ini, AJI terpaksa menunda sejumlah kegiatan termasuk workshop dan UKJ.
Kedubes Australian menilai pelatihan seperti workshop dan UKJ penting untuk meningkatkan kapasitas jurnalis terutama dalam membuat kode etik dan profesionalisme media di Indonesia.
“Untuk itu kami sangat senang saat AJI mengatakan akan kembali menggelar workshop dan UKJ di Batam, Kepulauan Riau,” kata dia.
Dia menyebut, UKJ kali ini adalah inisiasi lanjutan Learning Management System (LMS), sebuah platform yang memungkinkan AJI melaksanakan workshop dan UKJ secara virtual.
“Ini sebuah contoh nyata dari kemajuan teknologi dalam jurnalisme. Kami masih ingat saat AJI Indonesia datang tahun lalu membawa ide cemerlang tentang LMS, dan kami dengan senang hati mendukungnya,” kata Emma.
Pihaknya percaya worksop dan test hybrid seperti UKJ kali ini adalah awal yang baik untuk menghadirkan lebih banyak program pemberdayaan jurnalis di masa depan.
Kedubes Australia pun berharap skema hybrid itu akan menjangkau dan memberi peluang kepada lebih besar bagi banyak jurnalis di Indonesia.
Pada sesi workshop menghadirkan pembicara Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli.
Menurut Arif Zulkifli, teknologi dan pers yang berada di tengah kemajuannya berarti digitalisasi.
Arif menyampaikan, teknologi serupa dua sisi koin yang memiliki sisi positif dan negatif. Maka tugas seorang seseorang, tidak hanya pers, adalah bagaimana memaksimalkan sisi positif tersebut dalam hal ini teknologi dan meminimalisir sisi negatifnya.
“Saya kira sudah kita ketahui bersama kalau kemajuan teknologi atau digitalisasi itu mengubah landscape semua media massa,” katanya.
Jika berbicara sisi positif digitalisasi, kata dia, teknologi membatu dalam hal demokratisasi media. Arif mencontohkan, jika dulu pukul 06.00 pagi Koran Kompas sudah bisa dibaca karena sudah ada di depan teras rumah.
Namun, hal itu belum tentu bisa dirasakan oleh pembaca di Medan, Papua, atau Manado. Artinya ada demokratisasi geografi di sana.
“Lalu sekarang Koran Tempo, yang saya tahu persis, beritanya sudah muncul sekitar pukul 04.00 pagi di aplikasi. Kemudian aplikasi itu juga bisa diakses dengan berita terbaru oleh pembaca di Ambon, Jakarta, atau bahkan Amerika Serikat. Artinya ada demokratisasi waktu di situ,” katanya.
Kemudian Arif juga berbicara soal demokratisasi dalam pengertian konten kreator. Yang pada masa lampau seseorang yang bukan siapa-siapa sulit membuat konten yang berkualifikasi berita.
Tetapi sekarang, jika seseorang sedang menuju ke kantor dan melihat mayat di tengah jalan atau biasa disebut sebagai korban tabrak lari, lalu dengan insting manusiawi memfotonya lalu mengunggahnya ke media sosial, bisa disebut sebagai konten kreator.
“Dalam banyak hal, peran-peran jurnalisme dijalankan oleh konten kreator yang sifatnya individual itu atau biasa juga disebut sebagai jurnalisme warga. Sebuah praktik yang tidak hanya dilakukan oleh media mainstream saja, tetapi juga oleh pengguna media sosial saat ini. Hal itu tentu saja perlu kita apresiasi, dan itu menjadi contoh sisi positif digitalisasi,” kata Arif.
Dia lalu mengungkapkan sisi negatif digitalisasi dan hubungannya denga pers. Hal negatifnya adalah perubahan dalam performa dan perubahan dalam hal mengukur penetrasi dari media. Dalam hal mengukur ini, dikenal juga dengan istilah algoritma.
Algoritmalah yang kemudian menjadi dewa jurnalisme saat ini. Menurutnya, jika algoritma mengatakan A, maka semua media yang menjalankan model bisnis mencari trafick, pasti akan lari ke sana.
“Hal ini yang membuat media saat ini kemudian menghamba pada Search Engine Optimalitation (SEO). Semua mengikuti kemauan algoritma. Ini konsekuensinya logisnya adalah pada mutu atau kualitas jurnalistik,” katanya.
Di dewan pers, kata dia, dalam satu tahun pihaknya menerima 600 sampai 700 aduan yang 90 persen atau bahkan lebih isinya adalah pelanggaran kode etik jurnalistik pasal 1 dan 3.
Yaitu, tidak melakukan konfirmasi, judul yang menghakimi, judul click bait, melanggar prinsip satu sumber bukan sumber, dan seterunya.
“Semua kalau mau ditarik ke atas sanggahannya ya kita kan mau berlomba-lomba dengan kecepatan, tidak sempat melakukan konfirmasi, dan itulah yang selalu diketengahkan,” kata dia.
Dia mengingatkan, mula-mula untuk mengatasi hirk-pikuk saat ini pertama-tama adalah mengingat hakikat jurnalisme. Yang mana, jurnalisme adalah sebuah iktiar untuk mencari dan menemukan fakta. Dengan tujuan untuk membangun trust atau rasa saling percaya di dalam masyarakat.
“Jadi urutannya adalah fact, truth, and trust. Urutan itu menurut saya penting dan membuat peran pers saat ini jadi sangat relevan di tengah hiruk pikuknya pemberitaan oleh media, media sosial atau mereka yang mengerjakan jurnaslisme padahal bukan. Karena tidak ada upaya mencari fakta,” kata Arif.
Selain Arif Zulkifli, workshop yang dipandu oleh Majelis Etik AJI Batam, Muhammad Nur tersebut juga diisi oleh Aulia Rizal, Direktur LBH Pers Padang.