ERUPSI Semeru mengguncang Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Awan panas Merapi membakar rumah penduduk, ternak, dan kebun rakyat yang berada dekat letusan. Korban tewas akibat awan panas mencapai 34 orang lebih. Korban yang hilang alias belum ditemukan dan korban terluka mencapai ratusan orang.
Erupsi Merapi, Sabtu (4/12/022) itu, menambah jumlah bencana alam di tengah pandemi. Sebelumnya, di musim hujan ini, bencana banjir, banjir bandang, longsor, dan badai telah menerjang berbagai wilayah di Indonesia. Bencana-bencana tersebut tidak hanya menelan korban manusia. Tapi juga merusak infrastrukur ekonomi, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan bencana alam menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan ekonomi, baik secara nasional maupun regional. Erupsi gunung Semeru, misalnya akan mengganggu perekonomian, tidak hanya di Kabupaten Lumajang, Probolinggo, dan sekitarnya, tapi juga di Jawa Timur.
Debu erupsi yang beterbangan di atmosfir mengganggu pernafasan, penerbangan, dan kebersihan. Semuanya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, keberadaan gunung aktif tersebut, niscaya menjadi faktor pertimbangan untuk investor tertentu yang akan menanam uangnya di wilayah tadi.
Menkeu memberikan contoh bagaimana bencana alam seperti tsunami di Aceh (26/12/04/ dan gempa besar di Yogja (27/5/06) berpengaruh signifikan terhadap perekonomian negara. Antara lain hilangnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di daerah bencana.
Gempa dan tsunami di Aceh yang menewaskan 170 ribu orang, misalnya, kata Menkeu, menyebabkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) hilang 3 persen. Nilainya mencapai sekitar 30 milyar USD. Sedangkan cost of disaster-nya mencapai 4.5 milyar USD. Ini jumlah yang sangat besar. Daerah tak akan mampu mengatasinya.
Sementara gempa bumi Yogya yang menewaskan 3000 orang menyebabkan hilangnya 30 persen PDRB provinsi daerah istimewa tersebut. Ini pun jumlah yang amat besar mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Daerah Istimewa Yogyakarta hanya berkisar 100-an trilyun rupiah.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan intensitas bencana alam yang tinggi. Setiap kali bencana terjadi, pilar-pilar ekonomi di daerah akan lumpuh. Seperti pengangguran tinggi, investasi terhenti, pendapatan daerah berkurang, dan muncul kantong-kantong pengungsi.
Di kantong pengungsi ini rawan bencana sosial seperti kemiskinan, putus sekolah, dan kriminalitas. Melihat kondisi demikian, maka menjadi penting bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem pemulihan ekonomi daerah pascabencana alam.
Bencana hidrometeorologis (bencana terkait parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan badai) dan bencana seismologis (bencana terkait parameter-parameter tekanan dan pergeseran lempengan kulit bumi seperti erupsi gunung api dan gempa tektonik) sulit dicegah kedatangannya di Indonesia.
Hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah Indonesia berada di jalur cincin api (ring of fire). Kedua kategori bencana itu — hidrometeorologis dan seismologis — saling bertautan dan resiprokal di nusantara.
Ring of fire (cincin api) adalah zona — di mana terdapat banyak aktivitas seismik — yang terdiri dari busur vulkanik dan palung di dasar laut. Panjang cincin api ini lebih dari 40.000 km — membentang dari barat daya Amerika Selatan (di bagian timur) hingga ke sebelah tenggara benua Australia (di sebelah barat). Pada zona cincin api inilah banyak terjadi gempa dan letusan gunung berapi. Sekitar 90% gempa bumi dan letusan gunung api terjadi di sepanjang ring of fire tadi. Kondisi geomorfologis tersebut menjadikan Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana alam.
Itulah sebabnya, jelas Sri Mulyani, dalam mendesain APBN, pemerintah selalu memasukkan potensi risiko bencana di atas. Antara lain dengan mendesain program pembangunan yang tetap resilient — mempunyai daya tahan tinggi terhadap pengaruh bencana alam. Pemerintah, lanjut Bu Sri, tiap tahun selalu memberikan alokasi dana untuk penguatan kapasitas sarana dan prasarana dalam menangani bencana; pemulihan dana daerah bencana; lalu penataan lingkungan dan ruang serta penguatan kelembagaan daerah yang terkait bencana.
Tapi, betulkah daerah terkena bencana akan “nelangsa” secara ekonomi karena akan terjadi penyusutan investasi, kelangkaan SDM berkualitas, dan berkurangnya SDA?
Arito Ono, pakar ekonomi Jepang dari Mizuho Research Institute, dalam artikelnya di jurnal World Economic Forum, Februari 2015, menulis bahwa tidak semua daerah terkena bencana akan mengalami kemunduran ekonomi. Ono memperlihatkan perkembangan ekonomi Kobe, sebuah kota industri besar di Jepang, yang diguncang gempa bumi dahsyat, 1995 lalu. Gempa berkekuatan 7,5 skala Richter itu menewaskan 6.433 orang dan menghancurkan 45 ribu rumah dan bangunan.
Tapi apa yang terjadi pascabencana? Wilayah Kobe, tulis Ono, makin makmur. Industrinya makin efesien. Perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar Kobe juga makin berkembang.
Fenomena ini, menurut Ono, adalah berkat adanya “creative destruction” (CD). CD terjadi akibat pemulihan ekonomi Kobe yang membutuhkan suplai bahan konstruksi dan konsumsi dari daerah sekitarnya. Dampaknya, ekonomi wilayah tetangga Kobe berkembang.
Di pihak lain, pembangunan kembali Kobe dilakukan secara efisien, berteknologi tinggi, dan dikerjakan oleh SDM berkualitas. Dampaknya, setelah Kobe pulih, industri dan ekonomi berkembang. Jauh lebih baik ketimbang Kobe sebelum gempa bumi. Kondisi itulah yang oleh Ono disebut creative destruction.
Ono tidak menampik fenomena CD tidak terjadi di Srilanka yang mengalami bencana serupa. Tapi setidaknya, kasus Kobe bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk mendesain pemulihan daerah pasca bencana dengan creative destruction. Seperti pemulihan ekonomi pasca bencana banjir di Sulawesi Barat dan Kalimantan Timu. Kemudian erupsi Merapi dan banjir bandang di Lombok.
Untuk membuat desain creative destruction tersebut, ada tiga hal yang dibutuhkan pemerintah. Pertama, dalam pemulihan pascabencana, hendaknya pemerintah memilih produk dalam negeri — terutama dari industri terdekat daerah bencana — untuk pemulihan infrastruktur daerah terdampak.
Kedua, momen itu hendaknya digunakan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas SDM setempat sehingga lebih baik dari sebelumnya.
Dan ketiga, semua pihak hendaknya bersatu dan bersinergi dalam memulihkan ekonomi daerah terdampak, sekaligus mencegah munculnya bencana sosial pascabencana.
Akhirnya, last but not least, dalam setiap bencana, kita sebagai manusia beriman, hendaknya selalu berpikir positif. Mengutip sufi Maulana Jalaludin Rumi, di setiap bencana selalu ada rakhmat. Ambillah rahmat itu, niscaya kehidupan kita akan lebih baik dan bahagia.
Penulis: Amir Uskara Ketua Fraksi PPP DPR RI