MAKASSAR,UJUNGJARI.COM–Pertunjukan “Sangiang Serri dan Meongpalo Karellae” yang merupakan kolaborasi dari beragam unsur seni: teater, tari, musik, dan sastra serta tata rupa pentas menjadi pentas penutup di ajang Festival Seni Pertunjukan Kota Makassar. Festival berlangsung di Monumen Mandala, Sabtu (16/10) lalu.
.
Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Kota Makassar, Andi Irdan Pandita mengatakan Festival Seni Pertunjukan ini merupakan program Dinas Pariwisata Kota Makassar yang bertujuan untuk pemulihan ekonomi bagi pelaku ekonomi kreatif sesuai prokes covid-19 melalui media pertunjukan.
Festival ini melibatkan puluhan kelompok seni, baik di dalam kampus maupun di luar
kampus. Di dalam kampus, antara lain mahasiswa prodi Sendratasik dan prodi Seni Tari Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Makassar dan ISBI Sulsel.
Di luar kampus antara lain Teater Kita Makassar, Forum Sastra Kepulauan, Samsara, Sombala, Teater Kampus FSD UNM, Akareso, Sandek, Tangan Perkusi, Sanggar Mentari, Bongaya Arts, Ejaya Arts, Rahen Art Project, Tanayya Art, dan beberapa komunitas seni lainnya.
Untuk komunitas band antara lain menampilkan kelompok band Mesin Waktu Band, Home Band, Tikump Band, Play Art Band.
Sebagai puncak kegiatan, dipentaskan pertunjukan “Sangiang Serri dan Meongpalo
Karellae” yang merupakan kolaborasi antar kelompok kesenian. Asia Ramli Prapanca selaku dramaturg, penulis dan sutradara dari pertunjukan ini didukung kuat oleh asisten sutradara Alif Anggara, pimpinan produksi Taslim, penata lagu Arifin Manggau, penata music Ahmad, dan penata gerak Olif serta penata artistic Jaka dan Icank, penata grafis Rahman Labaranjang, penata lampu Sukma Sillanan, penata kostum Deva dan Rahen, serta penata rias Lilu.
Menurut Dr Asia Ramli, dosen prodi Sendratasik Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Makassar, pertunjukan ini merupakan representasi simbolik dari legenda Dewi Padi dalam miotologi “I La Galigo dalam kebudayaan Bugis yaitu Sangiang Serri dan Meongpalo Karellae.
Dikisahkan dari dunia atas, Batara Guru menurunkan puterinya Sangiang Serri ke Dunia Tengah menjadi pewaris keabadian, kebijaksanaan untuk menjaga keseimbangan alam. Ia ditemani oleh Meongpalo Karellae yang dipercayai sebagai penjaganya. Pada suatu masa, Sangiang Serri bersedih melihat Meongpalo Karellae disiksa oleh salah satu warga kampung karena masalah perut.
Selain itu, wabah dan ketidakadilan terjadi di mana-mana. Lalu, Sangiang Serri bersama Meongpalo Karellae meninggalkan kampung itu, dan tibalah di sebuah wilayah dan mendapat sambutan baik dari warga kampung. Di sanalah, Sangiang Serri dan Meongpalo Karellae hidup di tengah tanaman padi yang tumbuh subur dan berkembang biak secara teratur.
Menurut Asia Ramli, struktur dramatik pertunjukan ini diawali dengan beberapa kejadian. Pertama kejadian alam melalui cahaya, music, gerak dan nyanyian yang bersumber dari syair “Sangiang Serri” sebagai tanda “Sangiang Serri” telah tiba di Dunia Tengah dan ditemani Meongpalo Karellae”.
Kedua, kata Asia, kejadian di tengah hutan dengan segala kehidupan penghuninya. Ketiga, arak-arakan untuk menanam padi yang diiringi music, gerak dan nyanyian yang bersumber dari syair “Sangiang Serri” dan tarian bissu.
Keempat, pesta panen, saling bergotong royong melalui bentuk tari pedekko, tari pamancak, tari pattapi dan tari bakul. Kelima, chaos, teror dengan munculnya manusia-manusia topeng-topeng menyiksa Meongpalo Karellae, mengobrak abrik pesta panen, dan menyebarkan wabah. Tapi peserta pesta panen bersatu, berjuang, melawan dan melenyapkan pelaku teror tersebut.
Keenam, monolog kesaksian Meongpalo Karellae atas penderitaan yang dialaminya. Ketujuh, pesan budaya Sangiang Serri tentang sikap mappakiade, mengadabkan, menghargai dan menghormati padi, menjaga keseimbangan alam semesta raya. Adab tentang nilai-nilai kejujuran, keberanian, kecendekiaan, ketekunan, dan etos kerja yang tinggi. Musik dan lagu “Sangiang Serri” terus dimainkan dan dinyanyikan sampai pertunjukan selesai.