Catatan Rusman Madjulekka
LAMA tak terdengar. Ia hanya muncul dalam beberapa peristiwa. Lebih sering terlihat di platform media sosial dengan konten ringan dan kuliner. “Ayo, makan ki enak tawwa ‘jalangkote’-nya,” ajak Pak Acho, begitu biasa kami menyapanya, sembari menunjuk kudapan pastel khas Makassar, suatu sore di kedai bilangan kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta. Sebelum virus corona menyerang. Ia juga kerap berolahraga di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bertemu tanpa sengaja, tanpa janjian saat itu menjadi surprise bagi saya. Itu pertemuan pertama kali saya dengan pria bernama lengkap Ilham Arief Sirajuddin (IAS) itu semenjak dirinya tak lagi menjadi Walikota Makassar. Tak ada yang berubah. Masih seperti dulu. Ia menyapa ramah dan terlihat humble seperti sebelumnya yang saya kenal. Sesekali terselip candaan atau joke ringan yang diikuti gestur ala anak Makassar.
“Wah…pantas tidak pernah saya liat ko di Makassar. Rupanya sudah jadi anak Jakarta tawwa,” canda IAS membuka obrolan ringan sore itu. “Jadi, kapan balik ke Makassar?” lanjutnya.
“Iye,nanti kalo kita (anda,red) sudah jadi Gubernur,” jawabku spontan coba mencairkan suasana. IAS hanya tersenyum. Begitu pula seorang anggota DPRD Sulsel, Selle KS Dalle,yang berada disampingnya, raut wajahnya memerah seperti menahan tawa.
***
Pekan lalu, saya dikirimi foto peristiwa dan beberapa link berita media oleh kawan yang mantan jurnalis koran nasional, dari Makassar. Isinya gambar deklarasi sejumlah ketua DPC Partai Demokrat se Sulsel yang mengusung IAS sebagai kandidat ketua jelang Musda provinsi partai besutan SBY itu di Sulsel. Bahkan sebuah berita menuliskan dengan tajuk: Selangkah lagi IAS memimpin PD untuk meneropong kontestasi Pilgub Sulawesi Selatan 2024…!
Aco politisi jauh dari kerangka karbit. Sebaliknya, politisi yang merangkai karirnya dari satu jenjang struktural organisasi ke lainnya. Merangkak, naik dan terus naik.
Aco boleh dikata salah satu politisi Sulsel yang berhasil menciptakan lompatan eksponensial dalam kariernya. Menjadi anggota DPRD Sulsel di usia 34 tahun, lalu merebut kursi wali kota Makassar di usia 38 tahun. Sungguh belia!
Nyaris saja Aco mencatat sejarah gubernur termuda Sulsel di usia 48 tahun. Capaian 42 persen suara masyarakat Sulsel di pilgub 2014, tidak cukup mewujudkan itu melawan inkumben SYL ketika itu.
Kemampuan Aco melompati satu generasi di atasnya juga tergambar saat menjadi wali kota periode pertama. Beberapa tokoh menyebutnya anak ingusan.
Prof Idrus Paturusi ketika itu sempat menyebut Aco dengan “anak kecil jadi wali kota bisa buat apa?”. Tapi semua itu dijawab dengan karya. Lalu menang mutlak di periode keduanya (2009).
Lalu, ketika ada yang membelah struktur arus politik menjadi dua generasi; yang saatnya menjadi aktor dalam parpol dan saatnya menjadi pengayom bagi para aktor politik itu, maka sesungguhnya Aco berada di dua generasi itu.
Karena lompatan karier politiknya, Aco masih sangat layak menjadi aktor dalam parpol di usia 56 tahun. Seperti Ni’matullah (65thn), Taufan Pawe (65thn), Rusdi Masse (48thn), Irwan Aras (46thn).
Karena lompatan itu pula, secara kualitatif Aco berada di level generasi pengayom parpol. Patahan karier selama 5 tahun karena tersandung kasus hukum, tidak mengurangi kediiterimaan di dua level arus politik ini. Nurmal Idrus, Pengamat Politik, menyimpulkan itu terjadi karena persepsi publik Sulsel menempatkan Aco sebagai orang terzalimi di kasus itu.
Lalu, khusus terkait rivalitas di internal Demokrat, mendorong Aco mengurungkan niatnya merebut kembali kursi ketua Demokrat dengan menempatkannya sebagai tokoh yang sudah lewat eranya, beraroma upaya menutupi kekurangan kepemimpinan yang sedang berjalan! Berniat menjegal Aco Rebound!
Saya pribadi melihat dinamika Aco Rebound sebagai momentum politik. Pasalnya, momentum politik tidak diciptakan, ia tercipta. Ketika momentum itu sejangkauan tangan dan anda tidak meraihnya,maka orang lain akan mengambilnya.
Bicara politik bagaimana pun adalah soal persepsi dan popularitas. Dan citra atau image seseorang terbentuk bukan juga karena diciptakan, apalagi dipaksakan. Dengan kata lain, seseorang tidak perlu sekolah politik ke negeri ‘Paman Sam’ untuk menjadi presiden, cukup menjadi eksportir mebel untuk meraihnya. Popularitas dan momentum dalam politik selalu berbanding sejajar. Keduanya benda unik dan misterius, tanpa perbatasan.
Kita juga harus maklum, sistem politik di negeri ini perlu kendaraan untuk sebuah “dejavu” yang bukan perkara mudah untuk dirangkai ulang. ***
Jakarta, 18 Oktober 2021
(penulis alumni komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin, writer freelance).