Penulis: Bambang Budiono (Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah)
KITA sering mendengar nasihat dokter untuk melakukan olah raga secara teratur. Kita juga telah memperoleh banyak pemahaman bahwa olah raga memiliki dampak positif terhadap tubuh. Para ahli bahkan menyetarakan bahwa olah raga yang tepat ibarat minum polipil, karena memiliki dampak penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi, penurunan kadar kolesterol jahat, dan juga mempermudah regulasi gula darah pada penderita diabetes melitus.
Namun demikian perlu dipahami bahwa olah raga ibarat pisau bermata dua, disatu sisi menyehatkan tubuh namun disisi lain juga bisa mencelakakan jika kita tak melakukan pengelolaan takaran olah raga dengan tepat.
Kita pasti pernah mendengar seseorang yang kolaps, jatuh pingsan, atau bahkan
meninggal dunia saat berolahraga. Tahun-tahun awal ketika olah raga lari banyak
diminati masyarakat, Jim Fixx meninggal saat berlari pada usia 52 pada tahun 1984,
tujuh tahun setelah penerbitan bukunya yang populer “The Complete Book of
Running.”
Hasil otopsi mengungkapkan adanya penyakit jantung koroner yang amat parah, sebagai penyebab kematian. Kemudian, pelari ultramaraton Micah True, pahlawan buku Christopher McDougall tahun 2009, “Born to Run,” meninggal saat lari maraton pada usia 58; saat otopsi, ditemukan jantungnya sangat membesar. Dan ada pelari maraton asli, Pheidippides Yunani kuno, yang dikatakan telah berlari Marathon sejauh 25 mil ke Athena, berteriak "Nike!" (“Kemenangan!”) lalu pingsan.
Pertanyaan yang sering mengusik pikiran adalah : Bisakah olahraga membunuhmu?
Untuk beberapa yang tidak beruntung, jawabannya adalah “ya”. Ada sedikit
kekhawatiran bahwa ketika seseorang berolahraga dengan cukup keras, maka terjadi
peningkatan denyut nadi dan laju pernapasan pada level tertentu memiliki risiko
kematian mendadak yang lebih tinggi. Lalu apakah hal itu kemudian mengkhawatirkan untuk para penggemar olah raga ketahanan seperti maraton, triatlon, balap sepeda, dan lain lain? Kebanyakan ahli akan mengatakan, Jelas tidak.
“Saya tidak berpikir ada bahaya di luar sana. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa atlet ketahanan memiliki hidup lebih pendek,” kata Paul D. Thompson, kepala
kardiologi di Rumah Sakit Hartford Connecticut, yang telah mempelajari efek dari
olahraga ekstrim. Menurut laporan, dari ribuan peserta lomba lari di Rhode Island tahun 1975 hingga 1980, hanya terjadi satu kasus kematian untuk setiap 792.000 jam
latihan. Dalam jaringan klub kesehatan yang memiliki 3 juta anggota, dilaporkan
adanya satu kematian untuk setiap 2,57 juta latihan.
Sebuah penelitian terhadap 10,9 juta peserta dalam maraton selama periode 10 tahun menemukan satu serangan jantung untuk setiap 200.000 peserta. (Sekitar seperempat dari korban dapat diselamatkan). Angka angka diatas boleh dibilang amat kecil untuk dikhawatirkan, dan meskipun peristiwa seperti itu sulit untuk diprediksi, seseorang dapat menjaganya dengan …. Latihan teratur. Kenapa bisa?
Orang yang “biasa tidak bergerak” memiliki kemungkinan 50 kali lebih besar untuk
meninggal selama olahraga berat dibandingkan dengan orang yang telah berolahraga
teratur seperti itu lebih dari lima kali seminggu. Bagaimanapun, bukti yang telah
banyak diketahui, adalah bahwa kebugaran fisik membawa umur panjang. Sebuah
penelitian terhadap 15.000 mantan atlet Olimpiade dari sembilan negara menemukan
bahwa mereka hidup, rata-rata tiga tahun lebih lama dari populasi umum. Dan 2.600
atlet elit Finlandia hidup enam tahun lebih lama daripada kelompok masyarakat yang
direkrut sebagai tentara, yang tentunya juga merupakan kelompok yang bugar.
Namun demikian, patut diwaspadai bahwa beberapa penelitian menunjukkan ada
hubungan antara olahraga dan kematian, dengan olahragawan yang paling ekstrim
berisiko lebih besar daripada yang intensitas ringan dan sedang. Fenomena ini disebut “kurva berbentuk J”.
Namun, dalam kebanyakan penelitian, trennya tidak signifikan secara statistik. Penelitian lain menemukan bahwa beberapa pelari maraton terdeteksi adanya peningkatan kadar enzim jantung, yang merupakan indikasi adanya kerusakan sel otot jantung, setelah lomba. Beberapa penelitian juga menunjukkan insiden kelainan irama jantung berupa fibrilasi atrium yang lebih tinggi pada atlet ketahanan dibandingkan dengan olahragawan yang kurang ekstrem.
Temuan ini membingungkan peneliti. “Sampai kami memiliki bukti yang lebih kuat bahwa ini adalah hal yang berbahaya, kami tidak dapat memberitahu orang untuk berhenti melakukan olahraga intensitas tinggi,” kata Erin D. Michos, seorang ahli jantung di Universitas Johns Hopkins.
Apa yang terjadi ketika kita melakukan olah raga intensitas tinggi? Yang pertama,
kebutuhan suplai oksigen ke seluruh organ, terutama otot jantung akan meningkat. Ketika pembuluh koroner, yang bertugas menyalurkan aliran darah ke sel-sel otot jantung tak ada penyempitan, maka pada umumnya peningkatan tersebut tak akan menimbulkan masalah serius.
Baru akan terjadi masalah jika suplainya terganggu ketika ada penyempitan signifikan yang menimbulkan gangguan suplai dan ‘demand’, yang pada derajat berat bisa terjadi serangan jantung. Namun, masalah yang serius tak hanya dihadapi oleh orang yang memiliki penyakit jantung koroner. Ketika seseorang melakukan olah raga beban di gym, tak jarang mengeluhkan bahwa otot terasa pegal dan seperti terbakar.
Ini bisa menjadi tanda bahwa otot akan menjadi semakin kuat. Tetapi secara ekstrem, hal itu merupakan sinyal tubuh yang memberi tahu bahwa tubuh sedang dalam bahaya. Seorang remaja Texas didiagnosis dengan ‘rhabdomyolysis’ setelah melakukan olah raga beban relatif berat, kondisi yang berpotensi mengancam jiwa, dan sempat dirawat di rumah sakit.
Apa itu rhabdomyolisis? Jika otot bekerja terlalu berat, akan menimbulkan kerusakan
pada jaringan otot, dan bisa dikenali dengan adanya keluhan nyeri otot, kram, kaku,
dan lemah. Kerusakan jaringan otot dapat menyebabkan pelepasan protein
(myoglobin) ke dalam darah. Kadar mioglobin yang tinggi dapat menimbulkan
kerusakan ginjal.
Pemeriksaan darah dan urin dapat mengukur produk pemecahan otot, terutama jika seseorang mengatakan bahwa mereka baru saja menyelesaikan latihan fisik yang berat. Apa pengobatannya? Salah satu aspek terpenting adalah pemberian cairan atau hidrasi. Tubuh perlu mengeluarkan mioglobin sesegera mungkin dari dalam tubuh. Dalam kasus yang parah, mungkin perlu menggunakan mesin dialisis untuk membantu kerja ginjal.
Olahraga ringan merupakan cara yang aman dan sehat. Olah raga berat diketahui
dapat melepas radikal bebas secara berlebihan dalam tubuh. Hal ini dapat dibuktikan
dengan peningkatan kadar peroksidasi lipid, oksidasi glutathione, dan kerusakan
protein oksidatif. Telah diketahui dengan baik bahwa aktivitas enzim sitosol dalam
plasma darah meningkat setelah latihan yang melelahkan. Ini semua merupakan
penanda adanya kerusakan sel otot. Derajat stres oksidatif dan kerusakan otot tidak
tergantung pada intensitas absolut latihan tetapi pada derajat kelelahan orang yang
melakukan latihan. Pengobatan dengan antioksidan seperti vitamin C atau E
melindungi sebagian terhadap kerusakan akibat radikal bebas dalam latihan.
Enzim xanthine oxidase terlibat dalam pembentukan radikal bebas dalam latihan pada
manusia dan penghambatan enzim ini dengan pemberian allopurinol mengurangi stres
oksidatif dan kerusakan otot yang terkait dengan latihan yang melelahkan. Pengetahuan tentang mekanisme pembentukan radikal bebas dalam latihan amat
penting karena akan berguna untuk mencegah stres oksidatif dan kerusakan yang
terkait dengan aktivitas fisik yang berlebihan.
Artikel ini tidak ingin mengatakan bahwa kita harus berhenti berolahraga intensitas
tinggi. Secara umum, olahraga adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan kita. Namun perlu dilakukan dengan takaran yang bijak.
Perlu ‘mendengarkan’ tubuh kita, dengan tidak memaksa diri dan memperlambat aktivitas olah raga saat tubuh memberi sinyal adanya bahaya berupa pegal otot, kram, dan rasa panas. Jika tubuh tetap terhidrasi dengan baik sebelum, selama, dan setelah berolahraga, pada umumnya akan baik-baik saja. Jika merasa ada yang tidak beres, jangan segan untuk menghentikan aktivitas fisik dan segera konsultasi kepada dokter.
Takaran aktivitas olah raga setiap orang tentu berbeda berdasar kebugaran fisik, usia, dan ada tidaknya penyakit penyerta. Melakukan pemilihan takaran dengan bijak secara individual akan jadi penyelamat. Sebaliknya kelebihan takaran bisa jadi petaka.