ikut bergabung

In Memoriam Roel Sanre: Jangan Bilang dari Saya


Opini

In Memoriam Roel Sanre: Jangan Bilang dari Saya

(Catatan In Memorian Safrullah “Roel’ Sanre)

BANYAK tahu, tapi tak ingin ditahu. Itulah keunikan yang saya tangkap dari seorang pria bernama Andi Safrullah Sanre. Orang-orang biasa memanggilnya ‘Roel Sanre’ atau ‘Kak Roel’ bagi yang lebih muda.

Pertama kali saya bertemu saat ia bertandang ke kantor redaksi suratkabar kampus ‘Identitas’ Universitas Hasanuddin (Unhas) di kampus Tamalanrea, Makassar. Orangnya cepat akrab. Siapa saja di ruangan itu diajaknya diskusi ringan, membincangkan topik headline media saat itu.

Hubungan saya dengan Kak Roel kian akrab karena rekan satu angkatan saya di jurusan komunikasi FISIP Unhas, belakangan menjadi istrinya.

“Man… kau kenal si ini, si itu? (sambil menyebut nama,red) lalu apa hubungannya dengan si dia, kenapa bisa, gimana ceritanya?,” tanyanya dari balik handphone.

Instingnya sebagai mantan jurnalis investigasi masih terasa getarannya. Itulah kalimat yang seringkali saya dengar darinya.

Termasuk saat Kak Roel menceritakan telah membeli tanah kaplingan tak jauh dari pantai Galesong. Sudah masuk kabupaten Takalar.

“Saya pakai uang tabungan dari beberapa tahun dikumpul honor menulis, narasumber, juri lomba dan lain-lain. Bisa jadi warisan buat anak-anak. Bukan ji dari hasil korupsi…hehe,” ujarnya tersenyum sekaligus cepat mengklarifikasi.

Namun anehnya di setiap akhir obrolan kerapkali ia menitip pesan: Jangan bilang dari saya!

Hal unik serupa juga kembali saya rasakan saat Kak Roel menceritakan masa lalunya. Ia lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 Oktober 1954 dan tumbuh dewasa sebagai aktivis di Bandung, Jawa Barat.

Baca Juga :   Kamtibmas di Era 5.0

Merantau ke Jawa setelah lulus dari SMA Negeri 2 Makassar pada 1974, Roel Sanre lantas melanjutkan kuliah di Fakultas Desain dan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada saat itu belum lama meletusnya Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari).

Ia menjadi saksi dan mendengar aksi ‘heroik’ sejumlah seniornya menjadi aktor dalam pergolakan mahasiswa yang menandai lahirnya istilah Aktivis 66.

Salah satu nama yang ia ingat ketika itu Rahman Tolleng. “Mungkin karena sama-sama anak seberang dari kampung (istilah bagi mahasiswa perantau dari Sulawesi Selatan). Maklum sebagai mahasiswa baru masa itu belum banyak senior yang dikenal,” kenang Roel saat ngobrol ringan, suatu sore, di kedai kopi milik warga Tionghoa, depan Stadion Mattoanging, kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasinya pun tak jauh dari rumahnya.

dibaca : 126

Laman: 1 2 3



Komentar Anda

Berita lainnya Opini

Populer Minggu ini

Arsip

To Top