Setahun tak ada laga, sepakbola Indonesia kembali riuh pada 21 Maret 2021. Meski hanya turnamen pra-musim jelang Liga-1 bertajuk Piala Menpora, namun tensinya tetap tinggi. Apalagi diikuti 17 klub elit tanah air (minus Persipura) yang selama ini mendominasi sepakbola nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setidaknya ada dua target yang dicanangkan setiap klub atau tim.Pertama, menjadikan turnamen yang digelar di 4 kota tanpa penonton ini sebagai ajang ujicoba pemain rekrutan baru, termasuk pemain asing, guna merancang kerangka dan komposisi tim yang ideal menjelang digulirnya kompetisi Liga-1 usai lebaran. Kedua, memberikan porsi jam bermain lebih banyak bagi para pemain muda lokal binaan mereka.
Untuk hal pertama tentu didasari bahwa kejayaan suatu klub dalam mengarungi roda kompetisi yang panjang dan melelahkan banyak ditentukan karena faktor kesiapan, baik teknis maupun non teknis. Yang kedua, sejumlah tim justru tampil mengejutkan dengan formasi pemain lokal berusia muda, yang selama ini hanya dikenal sebagai pemain pelapis alias cadangan.
Tim-tim bermuatan lokal seperti PSM (Persatuan Sepakbola Makassar), PSIS Semarang, Persebaya Surabaya, menyajikan permainan yang spartan, agresif dan pantang menyerah. Faktanya, mereka lolos dari babak penyisihan grup Piala Menpora 2021 dengan rekor tanpa kekalahan bahkan menaklukkan tim-tim yang notabene bertabur bintang dan dihuni pemain asing alias impor. Jagat media sosial mendadak diramaikan dengan jargon:local pride!
Fenomena ini tentu mengejutkan disatu sisi, sekaligus memberi pelajaran berharga betapa pemain muda bisa ‘bertaji’ asalkan diberi kesempatan bermain lebih banyak. Kemenangan tim-tim berjuluk local pride itu menjadi semacam alarm bagi tim-tim elit lain bahwa regenerasi suatu keniscayaan.
Bicara local pride, sedikit berbeda bagi PSM Makassar. Karena disitu melekat etos siri’ na pacce (berani tarung demi harga diri,red). Daya juang anak-anak Bugis Makassar itu oleh G.H.van Soest digambarkan sebagai representasi jiwa kepahlawanan Nusantara.
Epos kepahlawanannya tertuang dalam I La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dalam bentuk sajak bersuku lima,ditulis dalam antara abad 13-15, dengan ketebalan lebih dari 6000 halaman yang menjadikannya karya sastra terbesar di dunia.
Tentu, pola dasar karakter Bugis Makassar seperti itu tak seperti kode genetik yang bisa otomatis diturunkan. Pandangan dunia dan etos ‘siri’-nya perlu direaktualisasi dan direorientasi. Semangatnya tak sekadar berani berkelahi, tapi juga tegar pertahankan prinsip yang luhur. Daya juangnya bukan sekadar menyerang-menerjang, tapi juga punya arah yang sifatnya membangun dan menumbuhkan.
Epos kejuangan Bugis Makassar perlu terus menjaga keseimbangan antara keberanian patriotisme “reaktif-defensif” ala Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin dengan ketajaman visi patriotisme “positif-progresif” ala Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang.
Refleksi Kritis
Betapapun publik tercengang dengan spirit local pride yang mewarnai turnamen Piala Menpora 2021, namun tak cukup hanya sekadar pujian. “Tapi harus diingat dalam sebuah pertandingan sepakbola, kesabaran adalah kunci kemenangan,” ujar legenda hidup sepakbola Makassar, Syamsuddin Umar, mengingatkan.
Mantan pemain PSM Makassar yang sukses meniti karir sebagai pelatih dan pernah dikirim PSSI berguru ilmu sepakbola di Brazil bersama Rusdy Bahalwan (legenda sepakbola Surabaya) ini menguraikan, banyak ‘young player’ suatu tim yang kerap bernafsu ingin cepat “cetak gol” karena tergoda selebrasi dan yel-yel pujian. Memang semua orang ingin menang. Namun ketidaksabaran itu awal kekalahan yang justru merugikan tim.
Belajar kisah ‘kesabaran’ dari Pak Syam, begitu ia biasa dipanggil, biasanya dalam setiap turnamen atau kompetisi, terdengar nyaring kemunculan sosok pemain muda. Bahkan disebut ‘rising star’. Tapi sayangnya, dalam perjalanan waktu, beberapa diantaranya perlahan meredup dan tak terdengar lagi kabarnya bak ditelan bumi.
Karena itu, tidak salah bila Pak Syam kemudian memberi otokritik. Dimana salahsatu faktor yang menyebabkan banyak pemain muda Sulawesi Selatan dan daerah lainnya yang “berguguran” alias layu sebelum berkembang, karena karakter tidak sabaran. Serba instan, cepat puas diri karena pujian.
Penampilan PSM Makassar kali ini seolah menjadi satu tesis bahwa ada jalan lain dengan mengakumulasi kekuatan local pride yang terbukti jadi hidden power yang siap meledak. Caranya lebih simpel, juga modal lebih murah ketimbang ‘jor-joran’ belanja pemain asing yang selain sifatnya sementara juga tak ada jaminan mendongkrak prestasi.
Maka, Piala Menpora 2021 ini akan menjadi drama lanjutan tentang sebuah tarung dan kontestasi dengan aroma local pride. Apakah akan ada kejutan terbaru dari PSM Makassar dengan local pride-nya? *** (Alumni Unhas dan Penggemar Sepakbola)